Islam
dan NKRI Harga Mati
Muriadi Arip ; Graduate School of Media and Governance Keio
University
|
REPUBLIKA,
21 Desember
2017
Pancasila dan NKRI harga
mati! Itulah slogan lama yang bergema dengan resonansi yang berbeda
akhir-akhir ini. Slogan ini konon pertama kali digaungkan oleh Pendiri Pondok
Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti di Klaten, almarhum KH Moeslim Rifa'i
Imampuro, atau akrab disapa alias Mbah Liem pada awal 1990-an. Slogan ini
menjadi slogan indoktrinasi bagi anggota militer, aparatur pemerintah, ormas
dan lain-lain.
Dilihat dari sudut pandang
pergulatan di pasar ideologi, paham Pancasila dan NKRI harga mati ini, dalam
hari-hari belakangan ini telah dinarasikan sedemikan rupa.Dalam kerangka
menjaga keutuhan bangsa dan menjaga kedamaian di tanah air tentunya hal
tersebut sah-sah saja.Tapi ada dua hal yang berbahaya dan bisa
kontraproduktif. Pertama, ketika Pancasila dan NKRI sebagai harga mati
dinarasikan sedemikian rupa seolah-olah Pancasila dan NKRI selaras atau sama
dengan faham sekulerisme, liberalisme, nasionalisme, dan pluralisme.
Kedua, bila Pancasila dan
NKRI harga mati tersebut dinarasikan atau ditafsirkan menjadi tidak selaras
atau bertentangan dengan ajaran Islam apalagi disertai dengan adanya upaya
meletakkan atau memaksakan kepada umat Islam, Pancasila dan NKRI sebagai
falsafah hidup yang lebih tinggi dari Islam dan sumber otentiknya yaitu
Alquran dan Hadis.
Untuk kasus pertama,
ketika kita dalami semangat dan hakikat perumusan dasar negara, jelas
sekulerisme, liberalisme, nasionalisme, internasionalisme, atau pluralisme
bahkan sosialisme sebagai konsep yang ada di dunia tidak dapat diterima
secara utuh didalam konsep pancasila dan NKRI. Bahwa ada sebagian dari
nilai-nilai dari setiap konsep tersebut yang dapat diterima atau diakomodir,
iya.
Ketika para pendiri bangsa
merumuskan dasar pendirian negara, semangat utama mereka adalah tidak
menjiplak konsep yang sudah ada di dunia atau negara lain tapi menggali
hikmat kebijaksanaan asli yang ada di Indonesia, dalam hal ini terutamanya
adalah ajaran Islam sebagai agama mayoritas serta agama dan budaya lain yang
hidup di Tanah Air.
Karena itu disebutkan
negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya tidak mungkin sekuler walau
tidak juga mengadopsi ajaran satu agama saja dan bukan pula gabungan ajaran
beberapa agama. Negara berdasar keadilan sosial, tidak mungkin
liberalis/kapitalis walau tidak juga sosialis komunis. Negara berdasar
Persatuan Indonesia, bukan nasionalisme atau internationalisme (usul Sukarno
pada sidang BPUPKI), karena persatuan Indonesia tidak bersifat nasionalisme
yang tertutup atau internasionalisme yang terbuka.
Persatuan Indonesia adalah
nasionalisme yang tidak bertentangan dan dapat menerima ukhuwah islamiyah
yang bersifat global international, dapat pula menerima hal yang hampir sama
lainnya, seperti jaringan gereja katolik/negara vatikan yang bersifat
transnasional. Negara berdasar kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan
pluralisme. Karena tidak sekedar pluralisme maka LGBT tidak bisa diterima
karena tidak sesuai dengan kemanusian yang beradab.
Selain itu, kemanusian
yang adil artinya tidak menyamakan segala sesuatu tapi menempatkan segala
sesuatu sesuai dengan kadarnya. Karena itu laki-laki dan perempuan tidak
harus diperlakukan sama tapi harus adil. Agama juga tidak semua sama tapi
harus diperlakukan dengan adil. Bhinneka Tunggal Ika juga tidak bisa
disetarakan dengan pluralisme yang dalam Bahasa Inggris artinya “a theory
that reality consists of two or more independent elements”. Masyarakat
Indonesia itu interdependent.
Untuk masalah yang kedua,
penarasian kembali slogan Pancasila dan NKRI harga mati awalnya mungkin
dimaksudkan sebagai counter-ideology untuk meradikalisasi gerakan jihad
transnasional yang dekade ini berkembang. Kemudian sasarannya tidak hanya
gerakan jihad transnasional tapi juga segala sesuatu khususnya yang berasal
dari Islam yang berbau transnasional.
Selanjutnya, seiring
dengan pergulatan kekuasaan di tanah air, narasi ini dipergunakan pula
sebagai counterpropaganda dalam menghadapi pihak-pihak yang kritis terhadap
rejim yang sedang berkuasa. Hingga akhirnya terjadilah kasus-kasus tersebut
di atas.
Yang mengkhawatirkan
adalah sebagian orang coba membuat narasi yang mengarah pada posisi yang
berlawanan dengan konsep ajaran Islam yang selama ini dipahami dari jaman ke
jaman. Sebagaimana dicontohkan di atas. Narasi yang dikembangkan seakan-akan
dipersiapkan menjadi filter untuk memilah pemahaman Islam. Bahkan sepertinya
ada upaya logika terbalik.
Yakni
mendefinisikankembali Islam sebagai sebuah ajaran agar sejalan dengan tafsir
Pancasila dan NKRI yang difahami segelintir orang. Momentum pengembangan
konsep Islam Nusantara yang digagas NU misalnya sangat riskan dimanfaatkan
segelintir kalangan dengan cara tersebut. Ide dasar pengembangan konsep Islam
Nusantara yang dibangun NU sejatinya merupakan hal yang bagus dan perlu
didukung sebagai upaya membangun pemahaman atau mendeskripsikan pengamalan
ajaran Islam di suatu wilayah (Nusantara) dalam konteks dinamika kontemporer.
Namun jangan sampai
momentum tersebut dipergunakan segelintir orang untukmembangun konsep
Islamnya sendiri, apalagidengan mengambil tafsir khazanah lain yang bukan
sumber otentik Islam itu sendiri. Khazanah tafsir Pancasila misalnya. Dengan
kata lain, membangun konsep Islam Nusantara semata-mata agar sesuai dengan
tafsir Pancasila yang mereka fahami, yang mungkin saja keliru.
Atau berupaya
menjadikannya sebagai tafsir Islam yang memonopoli tafsir Pancasila. Hal ini
berbahaya karena ujung-ujungnya akan menjadikan Pancasila sebagai alat untuk
menindas pemahaman lainnya. Pada akhirnya justru hal ini akan kontraproduktif
bagi pengembangan paham Pancasila dan NKRI itu sendiri.Disamping berpotensi
menjadi pemecah belah umat Islam hingga pada akhirnya berpotensi meruntuhkan
NKRI itu sendiri.
Padahal dilihat dari sisi
historisnya, Pancasila adalah hasil ijtihad para pendiri bangsa,(yang
sebagian besarnya adalah ulama dari berbagai aliran berbeda) dengan menafsirkan
ajaran Islam dan menterjemahkannya ke dalam terminologi yang dapat diterima
oleh pemeluk ajaran lainnya.
Adalah tidak mungkin
orang-orang sekelas Mohammad Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, KH
Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim bahkan Haji Sukarno berani merumuskan dasar
negara yang bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka tahu betul bagaimana
merumuskan dasar negara dengan cara mengambil jalan tengah bagi berbagai
aliran pemahaman dalam Islam serta jalan tengah antara umat Islam dengan penganut
kepercayaan lainnya. Lihat saja terminologi-terminologi yang dipakai dalam
dasar negara.
Secara epistomologis
sangat tidak bertentangan bahkan bersesuaian dengan pokok-pokok ajaran
Islammeskipun dilihat dari berbagai pemahaman.Lihatlah bagaimana mereka
merumuskan pendirian bangsa dengan berdasar kepada “Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Kalimat yang kemudian
diterjemahkan kembali dengan terminologi yang lebih sederhana dan lebih dapat
diterima oleh saudara sebangsa yang lain yaitu kalimat Ketuhanan Yang Maha
Esa yang merupakan terjemahan langsung dari kalimat Laa Ilaaha Illa Allah,
yang notabene pegangan pertama dan terutama bagi pemeluk Islam.
Karena itu jelas dan nyata
bahwa prinsip yang dipergunakan dalam perumusan dasar negara adalah tegaknya
ajaran Islam dengan menggunakan terminologi yang dapat diterima saudara
sebangsa berbeda keyakinan. Tegaknya ajaran Islam tanpa mengeksklusifkan
pemeluknya terhadap umat yang lain. Dengan bahasa lain, Pancasila dan NKRI
ini dirumuskan sedemikian rupa, bersumber dari ajaran Islam dengan
memperhatikan berbagai pemahaman, serta nilai-nilai agama dan budaya lainnya
yang hidup di Indonesia.
Yang jelas dirumuskanagar
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun disaat yang samajuga dapat
diterima oleh pemeluk ajaran lain. Karena itu Pancasila dan NKRI ini harus
ditafsirkan selaras dengan semangat tersebut. Adalah keliru dan sangat lucu
kalau kemudian kita melakukan hal yang sebaliknya.Menafsirkan Pancasila dan
NKRI hingga bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam atau malah
menafsirkan Islam agar sejalan dengan Pancasila dan NKRI. Apalagi Pancasila
dan NKRI itu sendiri terlebih dahulu ditafsir yang tidak sesuai dengan
hakikat asalnya.
Agama Islam itu bersifat
holistik universal. Sedangkan Pancasila dan NKRI bersifat politik
nasional.Sesuatu yang hanya bersifat politik tidak bisa mewadahi secara utuh
sesuatu yang bersifat holistik. Sesuatu yang memiliki ruang lingkup nasional
atau local tidak bisa pula mewadahi secara utuh sesuatu yang memiliki ruang
lingkup universal.
Hal yang perlu kita garis
bawahi adalah umat Islam menerima Pancasila dan NKRI sebagai harga mati
karena mereka percaya bahwa itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.Bahkan
mereka percaya itulah yang diajarkan Islam.Mereka percaya Pancasila itu
ajaran yang diridhoi Allah.
Karena itu jangan pernah
menjadikan Pancasila dan NKRI sesuatu yang bertentangan dengan pokok-pokok
ajaran Islam. Mereduksi tafsirnya dengan menelan bulat-bulat konsep
pluralisme misalnya. Apatah lagi menafsirkankannya sebagai sekulerisme dan
liberalisme. Lalu menjadikannya alat untuk mendemonisasi dan mempersekusi
tokoh dan umat Islam yang tidak sepemahaman dengan hal itu.
Adalah tidak tepat pula
memaksakan kepada umat Islam untuk menempatkan Pancasila dan NKRI lebih
tinggi dari ajaran Islam itu sendiri.Karena yang menjadi dasar umat Islam
mencintai Pancasila dan NKRI adalah ajaran agamanya.Karena itu orang tua
dahulu selalu menyebutkan berbaktilah kepada agama, bangsa, dan negara. Penyebutan
agama terlebih dahulu bukan tidak ada sebabnya.
Agamalah yang menjadi
dasar cinta bangsa dan cinta negara. Cinta agama menjadi landasan mencintai
bangsa dan negara. Cinta agama yang membuat orang sanggup mati membela bangsa
dan negara. Karena itu, amatlah berbahaya memisahkan atau membenturkan
ketiganya. Ketiganya harus tetap selaras.
Pengejawantahan
dasar-dasar negara kedalam peraturan perundangan juga semestinya menjaga
keselarasan tersebut. Begitupun juga dengan penyelenggaraan negara.Dengan
begitu barulah layak bagi umat Islam menjadikan Pancasila dan NKRI menjadi
harga mati. Umat Islam pasti akan sangat kritis apabila mereka menemukan
ketidakselarasan dari ketiga element penting tersebut. Karena itu artinya
mereka akan kehilangan dasar bagi harga mati mereka.
Siapa orangnya dikalangan
umat Islam yang mau mati membela sesuatu yang bertentangan dengan agamanya.
Membela sesuatu yang tidak diridhoi Allah SWT. Apalagi membela sesuatu yang
bathil dan dimurkai oleh-Nya.Sedangkan dalam keyakinan Pancasila dan NKRI
sejalan dengan agamanya saja, menjelang sakaratul maut, bagi seorang
muslimyang ingin dibisikkan di telinganya dan diucapkannyaterakhir kali
tetaplah kalimat tauhid, yaitu kalimat “Asyhaduan Laa Ilaaha Illa Allah wa
asyhaduanna Muhammadan Rasulullah”, bukan kalimat “Pancasila dan NKRI Harga
Mati!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar