Antara
Islamofobia dan Rasisme
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara
Foundation
|
REPUBLIKA,
28 Desember
2017
Salah satu sesi saya di
Muktamar IMSA (Indonesian Muslim Society in America) tahun ini adalah
Islamofobia: realita atau mitos? Tentu bagi warga Muslim Amerika hal ini
menjadi sebuah topik yang sangat relevan, khususnya dalam konteks masa kini.
Islamofobia sesungguhnya
bukan hal yang baru di dunia dakwah. Justeru semua nabi dan rasul menghadapi
tantangan yang berat dalam tugas menyampaikan kebenaran kepada umatnya.
Bahkan alamiahnya semakin tinggi derajat nabi dan rasul itu semakin tinggi
pula tantangannya. Mereka bahkan mendapat gelar khusus sebagai “ulul azmi”
(mighty prophets).
Imajinasi
muslim di dunia barat
Sesungguhnya kesalah
pahaman dan ketakutan serta kebencian kepada Islam bukan hal baru di Amerika
dan di Barat. Kesalah pahaman (miskonsepsi) terhadap Islam sejak dulu. Bahkan
hal ini kerap kali terimajinasikan dalam ragam bentuk, termasuk gambar-gambar
di buku-buku studi sosial.
Di sebuah buku referensi
studi sosial pernah digambarkan orang-orang dari berbagai belahan dunia.
Salah satunya adalah orang Islam atau Muslim. Tapi yang ditampilkan sebagai
orang Islam adalah seseorang yang berjanggung panjang, bersorban, berdiri
disamping onta di padang pasir, dengan pedang terhunus.
Tentu menggambarkan Muslim
sebagai orang Arab bukan masalah. Karena memang banyak saudara-saudara kita
yang berbangsa Arab. Tapi kata “Arab” dalam persepsi sebagian di dunia barat
artinya kaku, tidak demokratis, tiada kebebasan, tidak menghormati wanita,
tidak toleran, terbelakang, dan selalu berperang.
Maka, dengan sendirinya
penggambaran Muslim sebagai Arab sekaligus berarti bahwa ajaran Islam adalah
ajaran yang kaku, tidak demokratis, tidak menghargai kebebasan, tidak
menghargai wanita, intoleran, terbelakang dan mengajarkan permusuhan dan
kekerasan (terorisme).
Imajinasi seperti ini
kemudian dalam sejarahnya mendapat justifikasi di dunia modern. Kita
diingatkan pada tahun 70-an dengan revolusi Iran, khususnya dengan peristiwa
penyanderaan diplomat Amerika di Teheran.
Imajinasi itu kemudian
seolah mendapat justifikasi dengan tumbuhnya kelompok-kelompok mujahidin
pascaperang Afghanistan, hingga terbentuknya kelompok Taliban di Afghanistan.
Setelah Taliban termarjinalkan atau setelah ada penjinakan, entah dengan apa
dan oleh siapa, tiba-tiba kemudian timbul sebuah pembenaran jika Islam adalah
terorisme dengan terbentuknya sebuah organisasi yang bernama Al-Qaidah itu.
Kata Al-Qaidah ini menjadi
sangat populer dengan peristiwa serangan terror ke Amerika pada tanggal 11
September 2001 lalu. Peristiwa 9/11 itu diproyeksikan oleh sebagian sebagai
kuburan Islam dan dakwah di Amerika. Ternyata rencana manusia tidak mampu
mengalahkan rencana Allah. Islam semakin populer dan bahkan semakin menjadi
agama yang diminati. Berbondong-bondong bangsa Amerika belajar, bahkan menerima Islam sebagai jalan hidup
mereka.
Suasana menjadi semakin kondusif
bagi perkembangan Islam di Amerika. Sehingga untuk pertama kalinya dalam
pidato pelantikan presiden Barack Obama, Islam disebut sebagai agama Amerika
bersama Yahudi dan Kristen.
Tiba-tiba saja
pascaterjadinya perang Irak, tanpa diketahui dari mana asal usulnya tiba-tiba
timbul kelompok terroris yang konon kabarnya jauh lebih kuat dari Al-Qaidah.
Dan dahsyatnya kelompok ini menamai dirinya sebagai Islamic State dengan misi
mendirikan khilafah internasional di Irak dan Suriah.
Kehadiran ISIS menggemparkan
dunia. Selain karena sangat sadis dan tidak manusiawi, juga karena kemampuan
mereka memanfaatkan alat teknologi modern untuk propaganda dan rekruitmen.
Kelompok ini diproyeksikan tidak mengekspor anggota. Tapi mengekspor ideologi
ke jantung-jantung yang mereka anggap sebagai musuh, termasuk Amerika dan
Eropa. Berbagai insiden, besar atau kecil, kemudian terjadi dan diakui
sebagai kejadian yang terinspirasi oleh ISIS.
Setelah ISIS mulai
memudar, khusus untuk Amerika, terjadi pergeseran kekuasaan dari mereka yang
“minority friendly” (bersahabat ke minoritas) termasuk Muslim ke mereka yang
cukup anti minoritas, termasuk Muslim. Artinya bukan lagi karena ada
pembenaran luar. Tapi memang karena karakter mereka yang cukup anti minoritas
dan Muslim.
Kebangkitan “White
Supremacy” (kelompok putih militan) sesungguhnya bukan karena hanya agama.
Atau yang paling substantif dari permasalahannya bukan karena agama. Tapi
permasalahan ras yang memang telah menjadi isu sosial turunan di Amerika.
Kita mengenal bahwa sejak
beberapa dekade terakhir terjadi perubahan demografis di Amerika dan Barat
secara umum. Kelompok “non white” yang selama ini dikategorikan sebagai
minoritas semakin bangkit, baik secara kuantitas (jumlah) maupun kwalitas
(pengembangan diri dan kelompok). Satu contoh terbesar adalah kemenangan
Barack Obama menjadi presiden pertama non white di Amerika Serikat.
Hal itu tentunya juga
didukung oleh gelombang imigran yang semakin membesar, khususnya dari
negara-negara konflik yang melibatkan Amerika dan negara-negara Barat
lainnya.
Hal-hal di atas, ditambah
lagi tingkat kelahiran di kalangan minoritas yang diperkirakan dua kali lipat
dari kalangan masyarakat putih menjadikan warga berkulit putih merasa
terancam. Perasaan terancam inilah yang membangkitkan semangat nasionalisme
di Barat.
Semangat nasionalisme kaum
putih inilah yang mengantar kepada kemenangan Donald Trump, kandidat yang
didukung setengah hati oleh partainya sendiri. Tapi karena pesan kampanye
yang anti minoritas itu, dengan slogan to make America great again,
menjadikan banyak warga putih Amarika mendukungnya.
Demikian pula kaum putih,
khususnya orang-orang tua di Inggris menekan diadakannya referendum untuk
keluar dari Uni Eropa (Brexit), karena dianggap lembek dalam menyikapi masalah
imigran. Inggris menjadi sangat khawatir jika imigran semakin bertambah maka
negara itu akan diambil alih oleh imigran (kelompok non white).
Dari sini kita pahami
bahwa Islamofobia yang terjadi di Amerika dan dunia barat saat ini telah
bergeser dari isu agama ke isu sosial. Di mana kaum mayoritas merasa terancam
oleh warga minoritas sehingga melakukan pembelaan atau penyelamatan bahkan
dengan cara-cara yang unkonstitusional, bahkan bertentangan dengan
nilai-nilai yang mereka banggakan dan promosikan di dunia ketiga.
Sehingga tidaklah salah
barangkali jika saya menahami bahwa Islamofobia saat ini merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari rasisme yang sedang meninggi di Amerika Serikat. Wallahu a’lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar