Politik
Kenegaraan Menteri Agama
Mudjia Rahardjo ; Plt Rektor UIN Maliki Malang
|
KORAN
SINDO, 07
Juni 2017
Walaupun sejarah pembentukannya sarat pertimbangan
politik, untuk waktu cukup lama Kementerian Agama seakan tak memiliki arti
politik.
Memang, beberapa menteri agama sebelum era sekarang adalah
para politisi, teknokrat, birokrat, bahkan tentara. Tetapi, sesuai tantangan
zamannya, menteri-menteri agama sebelum era sekarang tak cukup mendapat
peluang untuk bertindak strategis bagi kehidupan politik nasional. Kini,
ketika Indonesia semakin demokratis, yang ditandai oleh kemerdekaan
berorganisasi dan menyampaikan pendapat, menteri agama pun harus bisa
berperan strategis sejalan dengan dinamika politik Indonesia.
Dua kekuatan besar saling bersaing dan bahkan bertikai,
membuat Kementerian Agama seperti bidang retak, antara fundamentalisme agama
dan sekularisme-agnostik, untuk tidak menyebut atheis. Bidang retak antara
mereka yang hendak memaksa Indonesia menjadi negara agama, dan mereka yang
hendak memaksa Indonesia menjadi negara lebih baik ”tanpa” agama. Kontestasi,
bahkan konflik, yang sejatinya multilateral telah disederhanakan begitu saja
antara mereka yang metafisika politiknya idealisme-religius dan yang
metafisika politiknya materialisme-sekuler.
Bahkan, lebih disederhanakan lagi menjadi kontestasi dan
konflik antara Islam dan bukan Islam. Saat, sesuai kapasitasnya, menteri
agama menempatkan konsensus bernegara dan berbangsa sebagai landasan
kebijakan, tindakan dan pernyataannya serta-merta ia menjadi sasaran tembak
kelompok pengusung negara Islam. Ambil contoh, saat Kementerian Agama
bermaksud memoderasimateri pelajaran sejarah Islam, serta-merta dituduh
menjalankan agenda Barat dan paranoid terhadap sistem khalifah.
Saat Menteri Agama menolak penggunaan kebebasan
berpendapat sebagai pembenar tindakan menyebar kebencian dan menistakan
agama, masih saja dikatakan tidak melakukan apaapa atas kasus yang dituduhkan
sebagai menghina Rasulullah. Sangat jelas, apabila kelompok pendamba khilafah
ini berhasil menyusupkan penganutnya dalam kementerian agama, niscaya akan
menggunakan instansi ini agar benar-benar menjadi ujung tombak penegak agama,
dalam arti pendirian negara khilafah.
Tak tanggung-tanggung, Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin, yang menanggapi isu kebangkitan komunisme sebagai sekedar
pembangkitan hantu untuk menakut-nakuti negara-bangsa Indonesia, malah
dituduh sebagai komunis, atau setidak-tidaknya memiliki paham politik seperti
komunis. Sekali lagi, saat Lukman bermaksud mencegah berbagai ujaran dan
ceramah yang menghasut dan menumbuhkan kebencian, disebut lagi sebagai telah
terintervensi oleh komunis.
Tekanan politik luar biasa yang dialami oleh menteri agama
sekarang bisa dikatakan sebagai yang terberat selama beberapa dasawarsa
terakhir. Masamasa tenteram jabatan menteri agama dan posisi Kementerian
Agama sebagaimana di masa lalu menjadi sekadar kenangan. Masa-masa tugas
rutin dan relatif lebih sederhana karena jumlah calon jamaah haji jauh di
atas kuota, karena jumlah universitas dan institut Islam tak sebanyak seperti
sekarang, karena jumlah publikasi pengusung radikalisme Islam tak sebanjir
sekarang, dan karena sinisme terhadap agama tak sehebat sekarang, sudah
berlalu.
Menteri agama sekarang seperti hidup dalam anomali luar
biasa. Betapa tidak? Fundamentalisme dan radikalisme Islam justru berkembang
di kampus-kampus yang nyaris tak bisa dijangkau oleh kebijakan Kementerian
Agama. Betapa tidak? Tuduhan sekularisme, atheisme dan komunisme justru
dialamatkan pada sejumlah kampus Islam yang notabene di bawah binaan menteri
agama. Nah, dalamkonteksitulah kita perlu melihat secara praktikempirik, apa
yang telah berhasil dilakukan oleh Kementerian atau menteri agama sekarang.
Bahwa menteri agama adalah pejabat politik, yang tentu
saja juga politisi, sangat tampak komitmen politik Lukman Saifuddin adalah
politik kenegarawanan. Walaupun tak bisa dimungkiri, dia berasal dari
masyarakat politik muslim, tidak membuat dia tertarik mundur ke dalam
perilaku politik golongan. Bahwa proses radikalisasi, baik ke arah kanan
(agama) maupun ke arah kiri (atheis), memang benar-benar sedang terjadi,
justru mempertegas posisi moderat aktif, dalam arti tidak hanya bersikap
moderat, tetapi juga menjalankan peran memoderasi dua kecenderungan tersebut
untuk kembali kepada Pancasila, kepada empat konsensus kebernegaraan
Indonesia.
Bahwa kecenderungan konflik antarkelompok umat beragama
sering timbul karena kontestasi politik, justru mempertegas peran menteri
agama sebagai perekat atau integrator nasional. Hanya saja, ada
kelompok-kelompok tertentu yang berusaha menarik-narik menteri agama menjadi
sekadar kepanjangan tangan dari kelompok tersebut. Bahwa dalam situasi tegang
karena setiap isu telah dipolitisasi menjadi isu agama, bahkan hingga
mendorong gerakan massa, semakin menegaskan kemampuan Lukman Hakim dalam
berkomunikasipolitik.
Gaya bicara yang stabil, pilihan kata yang penuh
pertimbangan, dan posisi moderat kenegarawanan menunjukkan kapasitas
diplomasi tingkat tinggi yang agak langka ditemukan pada kebanyakan politisi,
bahkan sesama menteri dalam kabinet sekarang. Terlepas dari apakah
mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung dari Menteri Agama Lukman,
sangat tampak bahwa komitmen terhadap NKRI justru disuarakan oleh perguruan
tinggi Islam yang berada di bawah Kementerian Agama. Selain itu, Menteri
Agama juga sedang memaksimalkan peran penyuluh agama untuk menjadi agen
perubahan dan melindungi pemahaman agama agar tetap moderat dan tidak
radikal.
Suara para penyuluh agama yang keberadaannya hingga level
desa dan tentu jumlahnya signifikan, perlu dioptimalkan untuk menyampaikan
pesan-pesan universal agama dengan tetap mempertahankan kearifan lokal.
Mereka bisa menyuarakan tentang perbedaan dan kebinekaan. Selanjutnya, saat
ini Menteri Agama juga sedang memaksimalkan peran pesantren dan madrasah
untuk melakukan transformasi pemikiran sehingga agama bisa sejalan dengan
modernisasi dan pembangunan. Kementerian Agama telah memberikan beasiswa bagi
santri untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri ternama baik di dalam
negeri maupun luar negeri.
Diharapkan dengan upayaupaya tersebut peran lembaga
pendidikan agama di bawah Kementerian Agama akan mampu meng-counter
pemahaman-pemahaman keagamaan yang cenderung melemahkan ikatan antara negara
dan agama, tapi sebaliknya agama dan negara harus saling memperkuat untuk
membumikan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Kesimpulannya, baik
Kementerian maupun menteri agama sekarang, secara real-politics,
bahkan mungkin di luar tugas pokok yang tersurat, telah melaksanakan peran sangat
strategis menteri agama dalam kehidupan politik dan demokrasi Indonesia. Luar
biasanya, Lukman Hakim Saifuddin juga sama sekali tidak canggung dengan peran
yang sangat politik demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar