Negosiasi Sandera dan Ulama
Ahmad Suaedy ;
Anggota Ombudsman Republik Indonesia;
Wakil Ketua Lakpesdam PBNU
|
KOMPAS, 01 April
2016
Kekerasan dengan berbagai rupa di Mindanao, Filipina selatan,
seperti penyanderaan, penculikan, dan bentrokan senjata, bukan saja nyaris
tidak ada hentinya, susul-menyusul dalam rentang waktu yang sangat lama,
melainkan juga bagai benang kusut yang sulit dicari ujung pangkalnya.
Rangkaian kekerasan itu memiliki akar sejarah yang sangat dalam yang
melibatkan banyak pihak, mulai dari penjajah Spanyol dan Amerika Serikat
hingga pertengahan abad ke-20, masa pasca kemerdekaan di era pemerintahan
Filipina, dan kemudian berlanjut dengan munculnya berbagai kelompok
nasionalisme bangsa Moro yang menuntut merdeka atau otonomi.
Situasi tersebut menyebabkan tidak mudah pula untuk memahami
setiap aksiden kekerasan, penyanderaan, maupun penculikan yang terjadi di
Filipina bagian selatan yang mayoritas berpenduduk Muslim itu. Kali ini
penyanderaan menimpa 10 warga negara Indonesia yang merupakan anak buah kapal
dari kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12. Penyanderaan dilakukan
kelompok yang oleh media disebut sebagai kelompok Abu Sayyaf, di wilayah
Perairan Sulu, Kepulauan Mindanao. Penyanderaan itu memang harus segera dihentikan
dan sandera harus segera dibebaskan dengan segala cara yang sah menurut
hukum.
Namun, seyogianya peristiwa penyanderaan itu sendiri tidak
serta-merta diasosiakan atau dikaitkan langsung dengan hal di luar peristiwa
itu sendiri, seperti terorisme, keterkaitan dengan Negara Islam di Irak dan
Suriah (NIIS) serta negosiasi damai Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dengan
pemerintah pusat Filipina yang masih timbul tenggelam, kecuali ada pengakuan
langsung dari pihak penyandera bahwa mereka terkait dengan hal tersebut.
Abu Sayyaf
Kelompok yang kini dikenal dengan nama kelompok Abu Sayyaf
semula adalah kelompok idealis dari pasukan bersenjata Front Pembebasan
Nasional Moro (MNLF) di awal-awal perjuangan bangsa Moro di tahun 1980-an
yang dipimpin oleh komandan yang bernama Abu Sayyaf. Mereka bersikukuh untuk
mempertahankan tuntutan merdeka dan menolak langkah Profesor Nur Misuari—Guru
Besar di Fakultas Studi Islam The
University of The Philippines yang kemudian menjadi pemimpin besar
MNLF—untuk bernegosiasi damai dengan pemerintah pusat Filipina dengan pilihan
otonomi.
Negosiasi damai MNLF itu sendiri melahirkan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) di mana Pemerintah
Indonesia memiliki andil besar di dalamnya. ARMM adalah suatu pemberian
wilayah otonomi yang terbatas bagi daerah yang mayoritas Muslim di Kepulauan
Mindanao, di mana Nur Misuari terpilih menjadi gubernur pertama ketika itu.
Di samping melahirkan Abu Sayyaf, negosiasi itu juga melahirkan
kelompok baru yang menamakan diri sebagai MILF. MILF bahkan lebih besar dari
kelompok Abu Sayyaf, konon lebih dari separuh pengikut MNLF berpindah ke
MILF, termasuk sebagian angkatan bersenjatanya yang menolak bergabung dengan
tentara negara Filipina, sebagai konsekuensi dari perjanjian damai.
Namun, berbeda dengan kelompok Abu Sayyaf yang murni angkatan
bersenjata, MILF lebih berupa organisasi yang bersifat campuran. MILF yang
dipimpin Hasyim Salamat—alumni Al-Azhar Mesir yang sebelumnya adalah deputi
Nur Misuari di MNLF—juga menolak hasil negosiasi MNLF pimpinan Nur Misuari
tersebut, dengan bertahan pada tuntutan merdeka. Dalam realitas politik, MILF
kemudian menjadi oposisi lewat cara separatis terhadap ARMM yang merupakan
hasil perjanjian MNLF dengan Pemerintah Filipina.
Sebagai konsekuensi dari menolak pilihan damai, kelompok Abu
Sayyaf kemudian menjadi kelompok desersi yang memisahkan diri dari pasukan
yang dibawa Nur Misuari untuk bergabung dengan militer Filipina di bawah
perjanjian damai tersebut. Semula kelompok Abu Sayyaf menjalankan misinya
dengan murni dan moral yang tinggi melawan tentara Filipina maupun ARMM
dengan tetap berteguh pada tuntutan merdeka. Namun, ketika mereka kehabisan logistik,
pasukannya pun satu per satu memisahkan diri, terpecah-pecah, dan mencari
jalan sendiri-sendiri. Sebagian mereka mengambil jalan perampokan dan
penculikan untuk mempertahankan hidup.
Kelompok Abu Sayyaf kemudian juga tidak terorganisasi secara struktural.
Ia lebih merupakan aksi sendiri-sendiri dan kelompok-kelompok kecil yang
mungkin satu sama lain tidak saling terkoordinasi. Bahkan, penculikan dan
penyanderaan itu menyerupai apa yang dalam kehidupan interpreneurship disebut
sebagai multi-level marketing
(MLM). Seseorang mungkin bertindak sendiri melakukan penculikan terhadap
seseorang, tetapi sandera itu kemudian dijual kepada orang lain yang lebih
memiliki kekuatan tawar dengan pihak tertentu dengan harga yang lebih tinggi.
Begitu seterusnya, sampai kepada orang atau pihak yang bahkan bisa
bernegosiasi dengan kedutaan atau perwakilan negara tertentu, sesuai dengan
asal dan kebangsaan orang yang diculik, dengan tuntutan harga lebih tinggi.
Pada akhirnya, Abu Sayyaf seperti menjadi penyebutan kelompok
yang melakukan aksi penculikan dan penyanderaan, meskipun sebenarnya aksi itu
tidak dilakukan oleh kelompok mereka. Karena itu, tuntutan penculik sering
kali bersifat eksklusif, misalnya dengan tuntutan jumlah uang tertentu, dan
tidak mencerminkan keterkaitan dengan tuntutan kelompok lain, apalagi dengan
gerakan global, seperti NIIS dan terorisme. Karena itu, peristiwa
penyanderaan ini sebaiknya terlebih dulu diidentifikasi secara detail dan
hati-hati. Boleh jadi, penyanderaan itu dilakukan oleh kelompok yang semata-mata
mencari uang dan perampokan biasa. Sekali lagi, kecuali mereka secara
eksplisit mengklaim sebagai bagian dari gerakan lain. Julukan Abu Sayyaf juga
sering dipakai secara serta-merta oleh orang luar atau pemerintah untuk
menunjuk orang atau sekelompok orang yang bertindak menyerupai cara mereka.
Struktur sosial
Meskipun Islam sangat awal masuk ke wilayah Mindanao, tetapi
Islam nyaris tidak mengubah struktur sosial masyarakat Mindanao awal.
Masyarakat Mindanao terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang dipimpin oleh
”raja kecil” yang disebut datu. Setiap datu menguasai kelompok masyarakat dan
wilayah tertentu dan boleh jadi berhadapan dengan kelompok yang dipimpin oleh
datu yang lain. Persaingan dan konflik kekerasan seperti hal yang biasa
ketika terjadi persaingan. Tradisi ini juga terjadi dalam perjuangan
kemerdekaan atau otonomi sekalipun.
Mindanao juga terdiri atas berbagai etnis. Namun, yang paling
besar adalah etnis Tausug yang merupakan etnis mayoritas di Kesultanan Sulu,
dan suku Magindanao yang merupakan mayoritas di Kesultanan Magindanao yang
berdomisili di pulau utama Mindanao. Polarisasi ini nantinya akan tecermin
pula pada perbedaan dua organisasi MNLF yang berbasis di Sulu dengan
mayoritas etnis Tausug dan MILF yang mayoritas etnis Magindanao dan berpusat
di Magindanao. Pemimpinnya juga dari etnis dan asal-usul yang berbeda. Jika
Nur Misuari berasal dari Tausug dan Sulu, Hasyim Salamat berasal dari suku
dan Kesultanan Magindanao.
Sesungguhnya, baik MNLF maupun MILF merupakan kelompok pembaharu
yang merupakan kritik keras terhadap feodalisme dalam sistem datu. Akan
tetapi, ketika keduanya berhadapan dengan kekuasaan pusat Filipina dan
berhadapan satu sama lain, keduanya kembali ke legitimasi kesukuan dan
kesultanan mereka. Jika MNLF kembali kepada legitimasi Kesultanan Sulu dan
etnis Tausug, MILF mencari legitimasi dari Kesultanan Magindanao dan suku
Magindanao.
Pada Oktober 2014, terjadi perjanjian damai antara Pemerintah
Filipina dengan MILF untuk menggantikan ARMM yang merupakan hasil perjanjian
damai dengan MNLF. Namun, lagi-lagi perjanjian tersebut terkendala oleh sikap
Kongres Filipina yang mempersoalkan landasan konstitusi dalam perjanjian
tersebut.
Macetnya perjanjian damai antara MILF dan pemerintah pusat
Filipina tersebut membuka dua luka yang menjadi salah satu sebab penting bagi
berlanjutnya kekerasan kini. Luka pertama adalah di pihak MNLF karena
perjanjian dengan MILF tersebut serta-merta menghapus ARMM yang merupakan
hasil perjanjian dengan MNLF. Luka kedua adalah batalnya perjanjian dengan
MILF itu sendiri, yang telah terjadi untuk kesekian kalinya.
Tradisi
Terlepas dari macetnya pembicaraan damai (peace talk) antara MILF dan pemerintah pusat Filipina, masyarakat
Kepulauan Mindanao, khususnya wilayah yang hingga kini penduduknya mayoritas
Muslim, seperti Pulau Sulu, Basilan, Tawi-Tawi, dan Magindanao, memiliki
tradisi Islam yang sangat kuat betapapun keseharian mereka dituding terlibat
dalam kelompok penculik dan perampok. Mereka memiliki penghormatan terhadap
kepemimpinan agama yang sangat kuat ketimbang kepada pemerintah, khususnya
pemerintah pusat Filipina. Karena itu, penting dipertimbangkan untuk
melibatkan pemimpin agama dalam kemungkinan negosiasi dengan para penyandera
itu.
Ulama Indonesia juga memiliki kedudukan tersendiri di sebagian
masyarakat Mindanao Muslim secara umum, khususnya dari organisasi yang
menonjol, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan pesantren. Bukan tidak
mungkin mereka akan membuka diri jika negosiasi itu melibatkan kalangan mereka.
Lebih dari itu Pemerintah Indonesia perlu ambil bagian sekali
lagi dalam perdamaian Mindanao di tengah-tengah kemacetan dan ancaman
kekerasan yang kian tinggi sebagaimana yang pernah dilakukan Pemerintah
Indonesia di tahun 1980-an dan 1990-an. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar