Tindakan Sah Penghentian Reklamasi
Asep Warlan Yusuf ;
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Parahyangan Bandung
|
KORAN SINDO, 19 April
2016
Keputusan pemerintah
melalui menteri kelautan dan perikanan (KKP) dengan rekomendasi DPR, kembali
dinyatakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pernyataan menghentikan pembangunan
reklamasi Teluk Jakarta untuk sementara waktu dinilai sudah tepat, benar, aspiratif,
dan sah menurut hukum. Mengapa demikian? Karena ada beberapa pertimbangan
hukum yang menjadi dasar pengambilan keputusan tersebut, antara lain dari
aspek pemerintahan, lingkungan hidup, kelautan, dan tata ruang.
Pertama, berdasarkan
Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 27/2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dinyatakan bahwa penyelenggaraan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dilaksanakan menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan,
dan kekhususan sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam ketentuan
penyelenggaraan pemerintahan DKI, selain dilaksanakan berdasarkan asas-asas
otonomi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang sama dengan daerah otonom
lain, juga dilaksanakan penyelenggaraan berdasarkan kekhususan sebagai ibu
kota RI tentunya banyak hal yang melibatkan pemerintah pusat. Rencana
kebijakan dan program reklamasi Teluk Jakarta merupakan hal strategis yang
berdampak pada kepentingan nasional tidak cukup diselenggarakan Pemda DKI,
sehingga harus melibatkan pemerintah pusat.
Pemda DKI tidak/tanpa
adanya komunikasi, koordinasi, dan sinergi secara administrasi, teknis,
maupun yuridis atas kebijakan dalam penyelenggaraan reklamasi Teluk Jakarta
dengan pemerintah pusat, maka produk hukum dari penyelenggaraan itu adalah
cacat hukum dan harus dibatalkan. Kedua, dari aspek lingkungan hidup, dengan
merujuk pada UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH), maka reklamasi Teluk Jakarta belum memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam UU. Sebut saja belum dilakukan kajian lingkungan hidup
strategis (KLHS).
Di dalam Pasal 15 ayat
(1) UU PPLH dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat
KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi
dasar dan terintegrasi dalam pembangunan wilayah atau kebijakan, rencana,
atau program. Dari ketentuan itu, jelas reklamasi Teluk Jakarta wajib dibuat
KLHS untuk memastikan aspek lingkungan hidup telah menjadi dasar dan
terintegrasi di dalamnya.
Kata ”memastikan”
dalam ketentuan ini adalah adanya dokumen hukum hasil penilaian dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan, yang menyatakan daya dukung dan daya tampung lingkungan
tidak terlampaui. Apabila terlampaui maka wajib diperbaiki atau tidak
diperbolehkan lagi.
Selain dokumen hasil
penilaian KLHS, kegiatan reklamasi Teluk Jakarta juga perlu dilakukan
analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terpadu karena berada dalam satu
kesatuan ekosistem dan lintas instansional, sehingga amdalnya tidak dapat
dipecah-pecah per kegiatan reklamasi, hanya untuk menjadikan kewenangan amdal
berada di Gubernur DKI.
Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kementerian Kelautan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor
301/2016 untuk melakukan kajian dan pengawasan pada reklamasi pantura yang
harus ditaati oleh Pemda DKI. Dengan demikian, baik kewajiban pembuatan KLHS
maupun amdal terpadu dalam rencana, kebijakan, dan program reklamasi Teluk
Jakarta merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Tanpa adanya KLHS dan
amdal terpadu dalam reklamasi Teluk Jakarta, maka dapat dikualifikasikan
sebagai pelanggaran terhadap UU PPLH dan PP Nomor 27/2012 tentang Izin
Lingkungan. Ketiga, aspek kelautan dan pesisir di dalam Pasal 16 (1) jo Pasal
50 ayat (1) UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dinyatakan bahwa setiap
orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan
pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap, wajib memiliki izin
lokasi.
Menteri berwenang
memberikan dan mencabut izin lokasi tersebut di wilayah perairan pesisir dan
pulau-pulau kecil lintas provinsi, kawasan strategis nasional, kawasan
strategis nasional tertentu, dan kawasan konservasi nasional. Ketentuan
terbaru dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut
menunjukkan pemanfaatan ruang pada kawasan perairan pesisir yang berada pada
kawasan strategis nasional seperti DKI, jelas mengharuskan adanya
keterlibatan dari KKP.
Perihal Pemprov DKI
tidak melibatkan KKP dalam melakukan reklamasi Teluk Jakarta, jelas tidak
sesuai atau bertentangan dengan UU Nomor 1/2014. Apabila pemprov DKI terus
melanjutkan kegiatan reklamasi Teluk Jakarta, menteri KKP berwenang mencabut
izin lokasi. Keempat, aspek tata ruang di dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor
26/2007 tentang Penataan Ruang (PR) dinyatakan bahwa negara menyelenggarakan
penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Yang dimaksud
kemakmuran rakyat dalam UU PR tersebut disebutkan ukurannya, yakni: a)
memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang merata; b) mendapatkan ruang yang
aman, nyaman, sehat, bersih, produktif, indah, dan berkelanjutan; c) bebas
dari bencana; d) keselarasan dan keserasian antardaerah; e) memperoleh nilai
tambah dari ruang; f) mengakui, menghormati, dan memenuhi hak setiap hak
setiap orang; dan g) memperoleh penggantian yang layak.
Penataan ruang harus
melalui dan oleh hukum, artinya dalam rangka penataan ruang ini berfungsi
terutama dalam hal jaminan pemerintahan dan pengayoman hukum. Dalam bidang
jaminan pemerintahan, berdasarkan asas kebebasan untuk mengungkapkan diri dan
asas kesempatan yang sama. Faktor keterbukaan dan peran serta adalah
faktorfaktor yang terutama mendukung upaya hukum dalam penataan ruang.
Berdasarkan Pasal 65
ayat 1 UU Nomor 26/2007 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang
dilaksanakan oleh pemerintah dan melibatkan peran masyarakat. Jelaslah
apabila penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian pemanfaatan ruang tanpa melibatkan masyarakat, harus
dikualifikasikan sebagai cacat prosedur, yang berarti cacat hukum. Dari
ketentuan tersebut jelas tidak diperbolehkan terjadi adanya sikap arogansi
pemilik modal yang terkesan menggampangkan dan melecehkan prosedur, yang
kerap dibarengi kolusi dengan penyelenggara pemerintahan.
Hal ini diduga kuat
terjadi karena dorongan keserakahan, ketamakan, dan kerakusan akan
pemanfaatan ruang, dengan mengabaikanhak-hakmasyarakat lainnya. Sebagaimana
juga telah dinyatakan oleh Menteri KKP Susi Pudjiastuti bahwa Gubernur DKI
Jakarta telah mengeluarkan izin reklamasi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
52/1995, yang mengabaikan rekomendasi Menteri KKP.
Padahal, saat itu
belum ada aturan terkait dengan reklamasi nasional. Aturan soal reklamasi
nasional, baru keluar pada 2007 melalui UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Perpres Nomor 122/2012 yang
mengatur kewenangan Kementerian KKP mengeluarkan izin terkait dengan kawasan
strategis nasional tertentu. Reklamasi juga dilakukan tanpa adanya perda
zonasi wilayah pesisir.
Dari uraian singkat di
atas, tindakan hukum pemerintah pusat menghentikan sementara reklamasi Teluk
Jakarta patut diapresiasi, karena sudah tepat, benar, aspiratif, dan sah
menurut hukum. Kita tidak menolak adanya reklamasi Teluk Jakarta untuk
kepentingan perluasan wilayah DKI, namun tentunya semua aspek hukum baik
proses maupun substansinya harus dijalankan secara konsisten.
Gubernur DKI Basuki
Tjahaja Purnama yang ngotot mengacu pada KeputusanPresidenNomor 52/1995
tentang Reklamasi Pantai Jakarta dan upaya pengesahan raperda tentang rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi DKI Jakarta dan raperda
tentang rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta, tampaknya
tidak relevan lagi dengan keadaan hukum yang baru, sehingga belum cukup kuat
menjadi rujukan hukum dalam reklamasi Teluk Jakarta.
Sebagaimana saran dari
pemerintah pusat, sebaiknya pihak Pemda DKI melakukan komunikasi, koordinasi,
dan bersinergi dengan pemerintah pusat dalam menjalankan reklamasi Teluk
Jakarta. Para pihak yakni pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat
duduk bersama untuk mengkaji dan meneliti secara komprehensif, kohesif, dan
konsisten. Karena untuk kebijakan yang strategis ini tidak sekadar mencapai
keabsahan (legalitas), tetapi juga legitimasi.
Reklamasi Teluk
Jakarta itu memiliki dimensi multidisiplin, multisektor, dan
multi-stakeholder yang tentunya harus ditempuh meski membutuhkan waktu,
biaya, dan energi. Namun demikian, diharapkan akan diperoleh kebaikan
bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar