Pentingnya Keterbukaan Rencana Kota
Saratri Wilonoyudho ;
Guru Besar Universitas Negeri
Semarang;
Ketua Koalisi Kependudukan dan
Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah
|
JAWA POS, 18 April
2016
TERTANGKAPNYA anggota DPRD DKI Jakarta dalam kasus dugaan suap untuk
memengaruhi kebijakan zonasi reklamasi pantai makin menunjukkan bahwa tulisan
Jon Gower Davies (Budihardjo, 1989) yang berjudul The Oppression of Progress (1982) benar adanya. Tulisan tersebut
tentang perencanaan kota dan Davies memaparkannya dari kacamata kesejarahan.
Dalam kacamata Davies, pada awalnya badan-badan perencana kota merupakan pewaris alami para wiraswasta abad XIX. Badan-badan perencana resmi tersebut sangat sibuk dan bergairah menerjemahkan keinginan para pengembang untuk membuat perencanaan kota yang hanya berorintasi keuntungan ekonomi semata. Demikian juga kata Castells dan Harvey (1973) bahwa daerah perkotaan hanya dapat dipahami dalam konteks konflik kelas akibat beroperasinya sistem kapitalis. Bentuk perkotaan, persoalan perkotaan, ideologi pemerintah kota, dan seterusnya juga hanya dapat dipahami dalam dinamika kapitalisme. Singkatnya, perencanaan kota memang sarat dengan konflik kepentingan. Karena itu, McAuslan dalam The Ideology of Planning Law mengatakan bahwa mestinya dalam undang-undang perencanaan (kota) harus dimasukkan tiga ''ideologi'', yakni (1) UU perencanaan kota harus dapat melindungi kepentingan umum; (2) UU perencanaan kota harus dapat pula melindungi hak-hak pribadi; dan (3) UU perencanaan kota harus dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk ''melawan'' dua ideologi tersebut. Sinyalemen para pakar tersebut terbukti bahwa rencana kota umumnya hanya berhenti pada land use planning yang tidak realistis dan sering bias. Kapitalisme telah merasuk ke dalam cara pandang yang menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Termasuk dengan menggunakan berbagai kekerasan. Kehidupan di perkotaan kemudian tidak lain adalah kehidupan dalam hukum rimba. Karena itu, kota-kota besar umumnya menyimpan banyak konflik, kekerasan, dan kriminalitas. Dari titik ini, Hukum Darwin berlaku: siapa kuat dialah yang menang (survival of the fittest). Pembangunan sebuah kota akhirnya hanya berhenti pada tataran konsep komoditas, arena investasi demi investasi, termasuk harga diri manusia juga dijual. Karena itu, bangunan-bangunan yang diprioritaskan adalah bangunan komersial seperti hotel, mal, pasar, dan pabrik. Sebaliknya, ruang-ruang komunal tidak diperhatikan, bahkan malah dimusnahkan. Premanisme Menurut Suryadi Santoso (1983), sejarah kota-kota di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat kota tradisional prakolonial bukanlah sebuah komunitas urban yang utuh. Tapi, merupakan ''kerajaan kota'' atau ''negara kota'' dengan struktur sosial-politis bersifat feodal-agraris yang kental. Dari titik inilah dapat dipahami bahwa kota-kota di Indonesia tidak mengenal istilah ''ruang publik'' atau ''public space''. Sebab, setiap ruang yang ada selalu diperebutkan antarkelompok. Di sinilah muncul premanisme, baik yang kasar maupun yang berdasi. Tata ruang pada dasarnya berupa alokasi, letak luas, dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) pada suatu wilayah atau kota. Rencana tata ruang merupakan syarat yang diperlukan untuk (1) meminimalkan konflik antar kegiatan; (2) menjamin kebelanjutan kegiatan; (3) mendorong terjadinya efisiensi kegiatan yang lebih tinggi; dan (4) menjamin kepastian investasi kegiatan. Keterbukaan Namun, tuntutan di atas sulit terpenuhi karena persoalan utama kota-kota kita adalah rencana kota yang dibuat umumnya sangat tertutup. Berbeda dengan Singapura, misalnya. Di negeri mungil itu, rencana kota sudah dibuat detail sampai lima atau sepuluh tahun mendatang. Sistem informasi pertanahan yang dikembangkan juga sangat detail. Bisa diakses secara online sampai ke tingkat persil yang paling sempit, berikut sejarah kepemilikan tanah maupun harganya. Dengan demikian, calo tanah tidak akan berkutik karena siapa pun yang akan membeli tanah bisa mengecek di peta online tersebut secara akurat. Demikian pula, orang tidak bisa menyembunyikan harga ataupun sejarah kepemilikan tanah tersebut. Perkembangan dunia informasi teknologi yang semakin canggih mestinya dapat dimanfaatkan untuk menyimpan, menyeleksi, mengompilasi, serta mengolah data. Untuk selanjutnya dihasilkan gambar, peta, atau prediksi-prediksi yang mendekati tingkat keakuratan tertentu guna perencanaan pembangunan kota dan pengembangan wilayah. Dengan data yang terpadu dan dibangun dalam sebuah sistem informasi akurat, pembangunan-pembangunan fisik, penentuan kelayakan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, dapat diarahkan untuk tidak merusak alam maupun mengganggu kehidupan sosial ekonomi. Juga, mempersempit gerak para spekulan tanah dan mencegah penguasaan tanah yang tidak wajar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar