Kezaliman Penguasa dan Utilitarianisme
Ahmad Sahidah ; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu
dan Demokrasi (Perludem)
|
KORAN SINDO, 20 April
2016
Setelah penggusuran penghuni bantaran sungai Kampung Pulo,
Jakarta, kita juga pernah dikejutkan dengan peresmian waduk Jatigede,
Sumedang, di mana proyek raksasa ini menenggelamkan belasan desa.
Kedua peristiwa ini menyedot perhatian karena terkait dengan
Ahok dan Jokowi. Tak seperti di Jawa Barat, Jakarta bergolak akibat bentrokan
antara satuan keamanan dan warga yang menghuni di pinggiran sungai.
Keterlibatan tokoh lokal, Sandyawan Sumardi dan Habib Soleh, melawan penguasa
menambah marak api pertikaian.
Melihat kenyataan ini, sudah saatnya semua pihak memikirkan
kembali kehendak untuk maju dan kebahagiaan yang hendak dicapai. Namun
perlahan tapi pasti, kasus di atas meruap bersama peristiwa lain yang tak
kalah miris, dari bom Sarinah hingga tragedi pengusiran anggota Gabungan
Fajar Nusantara dari Mempawah, Kalimantan. Betapapun antara satu kasus dengan
kasus lain tak berhubungan, ada pertanyaan etik yang
bisa diajukan, apakah boleh mengorbankan segelintir
untuk kebahagiaan atau kepentingan orang banyak?
Pelaku bom bunuh diri akan dicopot kewarganegaraannya, anggota
Gafatar dibiarkan terusir dan penghuni Kampung Pulo diusir. Sekilas,
pengusiran segelintir korban untuk kenyamanan dan rasa aman khalayak benar
secara etika utilitarian. Betulkah?
Pertanyaan di atas
makin penting untuk dibahas ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) sempat mengumpat dengan mengatakan bahwa ia bisa membunuh
2.000 warga Kampung Pulo untuk menyelamatkan 10 juta warga Jakarta. Tak pelak, kata-kata kasar tersebut memantik kegusaran. Orang
ramai tidak lagi menyimak sikap Ahok, tetapi menohok kekasarannya yang
dianggap melampaui batas.
Tiba-tiba, kata ”membunuh” dianggap ucapan yang tak pantas
diungkap oleh pemimpin, betapa lema (kata) ini bisa bermakna kiasan. Padahal,
kita harus mafhum bahwa mantan Bupati Belitung ini dikenal suka menghamburkan
kata-kata kasar.
Etika
Secara filosofis, perbuatan baik itu dilihat dari niat (intention) dan akibat (consequence). Menurut Immanuel Kant,
filsuf Jerman, secara deontologis orang itu dianggap baik ketika melompat ke
sungai dengan niat untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, meskipun
akhirnya yang bersangkutan tidak bisa mengangkat korban karena ternyata tak
bisa berenang. Tak pelak, ide Kant ini dianggap tak sepenuhnya mutlak.
Karena, niat baik tak cukup jika pelaku menjadi korban dari kehendak mulia.
Sementara, John Stuart Mill sebagai tokoh utilitarianisme
melihat perbuatan itu baik, dilihat dari akibat yang ditimbulkan secara
sosial maupun politik. Sikap pragmatis ini tentu saja menjadi pilihan orang
ramai karena kebanyakan mereka bertindak atas dasar keinginan untuk
mendapatkan keuntungan. Lebih jauh, Mill dalam On Liberty menegaskan bahwa tindakan yang menyebabkan kebahagiaan
untuk sebagian besar orang adalah dibenarkan, meskipun pada gilirannya ada
segelintir yang dikorbankan. Di sini kebebasan individu dijamin dan negara
bisa mengekang apabila tindakan mereka membahayakan orang lain. Atas dasar
inilah apa yang dilakukan Ahok bisa dibenarkan secara utilitarian, yaitu
”mengusir” segelintir warga kampung Pulo untuk menyelamatkan jutaan warga
Jakarta dari bencana banjir.
Hanya, adalah sikap penguasa ini konsisten, mengingat ada kritik
bahwa kebanyakan korban adalah kaum Marhaen, seperti mereka yang melakukan
hal serupa luput dari tindakan keras tersebut disebabkan kedudukannya yang
kuat. Hanya, pernyataan ”membunuh” tak elok diungkapkan mengingat kata ini
betapapun mempunyai makna konotatif akan menimbulkan prasangka bahwa orang
nomor satu itu kejam.
Proses mediasi yang dilakukan sebelum pembongkaran dan
penyediaan rumah susun bagi warga yang diusir pun tidak bermakna karena
ditelan sentimen dan citra kepongahan sang penguasa.
Pada waktu yang sama, kaum Marhaen tidak bisa seenaknya
menggunakan lahan publik untuk tempat tinggal, apalagi mengklaim tanah yang
bermasalah. Siapa pun pelaku kesalahan wajib diingatkan dan bisa dibui jika
berdegil. Meja hijau adalah tempat terakhir untuk menegakkan keadilan.
Lalu, bagaimana dengan kasus-kasus lain seperti perusahaan Merah
Putih di Rembang yang akan mengeksploitasi kawasan subur itu untuk mengeruk
bahan baku semen? Di sini kesenangan bukan hanya tentang kecipratan
keuntungan yang diraup warga sekitar berupa peluang pekerjaan dan ekonomi
lokal, namun kerusakan jangka panjang yang menjadikan lingkungan tak ubahnya
tanah mati.
Tentu saja drama penggusuran rumah warga di Luar Batang,
Jakarta, begitu memilukan. Dengan mengerahkan ribuan aparat dari pelbagai
kesatuan, penguasa menggunakan kekerasan atas nama penertiban, yang sejatinya
mencerminkan kegagalan pemerintah berkomunikasi dengan warganya.
Tokoh utilitarianisme yang lain, Jeremy Bentham, mengulas
kesenangan sebagai penanda kebenaran etik. Tetapi, pada waktu yang sama ia
mengajukan kalkulus hedonistik untuk mengukur adakah manfaat yang didapatkan
dari penambangan berlaku jangka panjang atau pendek?
Adakah kesenangan itu sesaat, untuk keuntungan sesaat investor
atau masyarakat umum?
Dengan menjawab pertanyaan ini, sejatinya keputusan untuk
membenarkan investasi bukan melulu otoritas pemerintah, tetapi juga kaum
sarjana yang mampu melihat kebutuhan lebih luas masyarakat, yaitu pembangunan
berkelanjutan.
Keterlibatan
Di sini sudah selayaknya ada komite etik yang melibatkan
pelbagai disiplin ilmu, sehingga tak ada lagi pemaksaan pembangunan untuk
memenuhi dahaga orang yang ingin segera mengambil keuntungan dengan
mengeksploitasi alam.
Lazimnya sebuah pengembangan lahan, apalagi menjadi sumber air
dan subur, akan mematikan mata pencarian dan kehidupan. Jika eksploitasi itu
dibiarkan, maka akhir dari penghisapan ini adalah bumi yang tak produktif. Pada
gilirannya, ia akan menjadi bencana kemanusiaan yang jauh lebih besar, orang-orang
akan berbondong-bondong ke kota untuk bekerja karena tanah kampung halamannya
majal (tumpul), tidak bisa memberikan hasil. Dengan mengajukan alat ukur
tersebut, adakah sebuah tindakan mendatangkan kebahagiaan untuk sebagian besar
orang?
Sejatinya semua pihak tahu dan sadar bahwa pembangunan akhirnya
akan berhadapan dengan cuibono,
siapa yang mendapatkan keuntungan.
Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak untuk menilai sebuah
proyek niscaya, agar tujuan akhir dari kegiatan ekonomi itu tidak merusak
lingkungan dan memberikan peluang pekerjaan kepada warga tempat aktivitas
berlangsung.
Kerusakan alam sekitar Freeport jelas bukti nyata bahwa penguasa
yang mengeluarkan izin tak bisa sepenuhnya mengontrol keadaan. Dan malangnya,
warga lokal tak mendapatkan apa-apa dari megaproyek tersebut. Kemudian,
bagaimana dengan isu reklamasi pantai yang sedang memantik kontroversi?
Penambakan pantai untuk pembangunan jelas akan merusak
konservasi laut, dan pada gilirannya akan mengurangi ruang nelayan untuk
mencari nafkah. Di sini jelas pemerintah yang mempunyai kuasa tidak lagi bisa
menjadikan hukum formal sebagai alasan, karena izin telah dikantongi oleh
pengembang. Apalagi dengan justifikasi analisis dampak lingkungan, yang
kadang dimanipulasi. Semestinya, alam tidak bisa dikorbankan atas nama
pembangunan dan kerakusan segelintir orang yang ingin meraup keuntungan dari
penjualan rumah mewah tepi pantai.
Oleh karena itu, kewenangan (bukan kesewenang-wenangan) penguasa
mesti didukung agar hukum bisa ditegakkan. Karena, ia adalah amanat yang
diberikan oleh warga dalam alam demokrasi. Namun bila kezaliman lebih
menonjol karena persekongkolan dengan pengusaha, maka rakyat bisa menggunakan
kekuasaan yang ada pada dirinya sebagai pemilik sah negara ini untuk menolak
secara prosedural. Seperti pengajuan aksi kelompok (class action) ke pengadilan. Bila tindakan ini tak berhasil,
kezaliman perlu dirobohkan dengan aksi turun ke jalan dan dunia maya
(aktivisme digital).
Bagaimanapun di era keterbukaan, kezaliman itu tak bisa
disembunyikan. Sudah saatnya rakyat berusaha kuat untuk menghentikannya agar
penguasa tunduk pada kepentingan murni khalayak luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar