Memahami Penyanderaan ABK
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional Universitas
Indonesia
|
KOMPAS, 21 April
2016
Dalam rentang
waktu satu bulan, dua kali kapal berbendera Indonesia mengalami pembajakan.
Sepuluh anak buah kapal warga negara Indonesia disandera kelompok yang diduga
berasal dari Abu Sayyaf.
Pada Jumat (15/4), empat WNI
dikabarkan kembali diculik dan enam lainnya berhasil bebas meski satu
tertembak. Belum diketahui siapa yang bertanggung jawab. Pembajakan juga
dilakukan terhadap kapal-kapal berbendera asing. Kapal berbendera Malaysia
pun dibajak. Meski tiga anak buah kapal (ABK) WNI dibebaskan, empat warga
negara Malaysia disandera. Warga negara yang telah terlebih dahulu disandera
berasal dari Kanada, Norwegia, dan Filipina sendiri.
Kompleksitas
Setiap peristiwa penyanderaan
atas WNI memiliki kompleksitas masing-masing. Meski pemerintah memiliki
ingatan institusi (institutional
memory) dalam upaya pembebasan para sandera, pengalaman yang satu
tidak bisa begitu saja diterapkan secara sama dalam upaya pembebasan para
sandera WNI kali ini.
Di sinilah dibutuhkan pemahaman
dari penyanderaan kali ini. Pertama, saat ini penyanderaan dilatarbelakangi
komponen masyarakat di Filipina, khususnya di Filipina Selatan, yang sedang berperang
dengan pemerintahan yang sah dari Filipina. Dalam konteks demikian
jalur laut yang dilewati oleh kapal yang dibajak adalah jalur laut
"medan perang".
Bukannya tak mungkin otoritas
Filipina tak menguasai wilayah itu, yang justru menguasai adalah kelompok
pemberontak. Ini berarti jaminan keamanan tak dapat diminta oleh pemerintah
negara lain dan diberikan oleh otoritas Filipina atas kapal- kapal yang
melewati jalur itu. Peristiwa yang mirip dengan latar belakang ini
adalah ketika Meutya Hafid, seorang reporter, dan Budiyanto, juru kamera yang
mendampinginya, disandera Mujahidin Irak pada 2005.
Kedua, peristiwa pembajakan
kali ini berbeda dengan pembajakan atas kapal NV Sinar Kudus pada 2011 di
Perairan Somalia. Ketika itu di Somalia tidak ada pemerintahan yang efektif,
di samping pembajakan saat itu semata bermotifkan ekonomi. Dalam
pembajakan kali ini di Filipina ada pemerintahan yang efektif. Karena itu,
Pemerintah Indonesia tidak dapat mengabaikan kewenangan Pemerintah Filipina
dalam upaya pembebasan para sandera WNI.
Ketiga, peristiwa pembebasan
sandera di pesawat udara Garuda di Thailand pada 1981 yang dikenal dengan
peristiwa Woyla juga tak dapat dijadikan rujukan yang sempurna. Dalam
peristiwa Woyla, Pemerintah Thailand mengizinkan militer Indonesia melakukan
operasi pembebasan. Sementara dalam pembebasan kali ini, meski kekuatan
militer Indonesia telah disiagakan untuk melakukan operasi pembebasan,
Pemerintah Filipina terbentur dengan Section 25 Peraturan Peralihan Konstitusi
mereka.
Dalam ketentuan itu Pemerintah
Filipina dilarang menempatkan kekuatan militer asing di wilayahnya. Ini
sebagai akibat trauma rakyat Filipina atas kehadiran pangkalan Amerika
Serikat yang dikenal dengan nama Clark dan Subic. Peristiwa
pembebasan seorang WNI pada 2005 di Filipina Selatan pun tidak dapat
dijadikan rujukan sempurna mengingat kali ini ada 14 WNI yang disandera dan
belum diketahui apakah para penyandera memiliki garis komando dengan satu
pemimpin.
Kompleksitas lain adalah
orang-orang yang disandera tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari
berbagai negara. Karena itu, tidak mungkin Pemerintah Indonesia meminta
otoritas Filipina untuk memberikan prioritas pembebasan atas warganya semata.
Kalaupun ada operasi militer yang dilancarkan oleh otoritas Filipina beberapa
waktu lalu, operasi ini bukan dalam rangka pembebasan para sandera semata.
Operasi militer dilakukan dengan tujuan utama untuk menumpas para
pemberontak.
Kompleksitas yang dihadapi oleh
pemerintah dalam melakukan pembebasan para sandera WNI kali ini menghendaki
empat hal dari keluarga dan publik Indonesia. Pertama, keluarga dan publik
harus menyerahkan segala sesuatunya kepada pemerintah dan percaya bahwa
pemerintah akan mengambil cara-cara terbaik agar para sandera WNI dibebaskan.
Ini telah dijanjikan oleh pemerintah.
Kedua, keluarga dan publik tak
seharusnya menekan pemerintah memenuhi deadline tertentu dalam proses pembebasan.
Jika ini dilakukan, pemerintah akan mendapat tekanan tak hanya dari
penyandera, tetapi juga dari keluarga dan publik. Bahkan, tekanan dari
keluarga dan publik sangat diharapkan oleh pembajak sehingga cara termudah
yaitu membayar uang tebusan akan dilakukan.
Ketiga, keluarga dan publik
tidak dapat menuntut transparansi pemerintah dalam upaya pembebasan. Kehausan
informasi yang direfleksikan oleh media dapat mengurangi dan memengaruhi
kelincahan pemerintah. Bisa jadi berbagai tindakan yang direncanakan oleh
pemerintah yang diberitakan oleh media dapat terpantau oleh para penyandera.
Terakhir, apa pun upaya pemerintah segala sesuatunya harus dijaga
kerahasiaannya. Para pejabat tidak perlu dan tidak seharusnya mengumbar apa
yang akan dilakukan. Satu hal yang tidak diinginkan adalah apabila pernyataan
pejabat di media terpantau oleh para penyandera dan dianggap sebagai pernyataan
bermusuhan. Bukannya tidak mungkin ini akan berdampak pada keselamatan para
sandera.
Kalah
Apa pun upaya pemerintah
dalam membebaskan para sandera, maka pemerintah tidak boleh terlihat atau
terkesan kalah dengan tuntutan para pembajak. Sekali pemerintah kalah
dengan tuntutan para pembajak, maka kapal-kapal berbendera Indonesia akan
menjadi sasaran empuk di masa mendatang.
Ide untuk melakukan
patroli bersama dengan Filipina untuk mencegah peristiwa pembajakan terjadi
tidak perlu dilakukan. Ini mengingat bagi Filipina pembajakan dan
penyanderaan tidak terjadi semata-mata karena alasan ekonomi. Kondisi ini
berbeda dengan para perompak yang beroperasi di Selat Malaka.
Ide patroli bersama sudah dapat
dipastikan akan ditolak oleh Filipina. Pemerintah Filipina akan menolak apa
pun kerja sama yang mengesankan ia tidak mampu untuk berperang melawan para
pemberontak. Kedaulatan untuk menegakkan panji- panji pemerintahan adalah
segalanya bagi suatu negara. Demikian pula ide yang dimunculkan agar
kapal-kapal berbendera Indonesia dikawal kapal perang Indonesia (KRI) tak
perlu dilakukan. Ada dua alasan untuk ini. Pertama, pembajakan terjadi bukan
di laut lepas, melainkan di laut teritorial Filipina. Ini berarti kapal
perang Indonesia tak mungkin melakukan pengawalan yang memasuki kedaulatan
negara lain.
Kedua, kalaupun KRI memiliki peran dan kemudian terlibat dalam
bentrok senjata, ini akan berakibat Indonesia terlibat dalam perang saudara
di Filipina.
Indonesia saat ini sedang tidak
berperang dengan para pemberontak Filipina dan kondisi ini harus terus
dijaga. Di masa mendatang, untuk mencegah kapal-kapal laut berbendera
Indonesia dibajak kembali, maka sudah waktunya pemerintah mengidentifikasi
dan memetakan di mana saja wilayah rawan di jalur laut ini. Pemerintah
dapat meminta perusahaan kapal dan para nakhoda agar menghindari wilayah ini.
Meski berarti biaya yang ditanggung akan lebih mahal, opsi ini lebih baik
daripada ABK WNI terus jadi korban penyanderaan. Ini akan menguras tenaga dan
biaya pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar