Antisipasi Perlambatan Ekonomi
terhadap Pengangguran
Firmanzah ;
Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 18 April
2016
Tren perlambatan
ekonomi global dikhawatirkan akan menurunkan optimisme penciptaan lapangan
kerja dunia. Sebagai konsekuensinya, angka pengangguran berisiko meningkat
tajam. Tidak hanya negara maju, kekhawatiran ini juga dialami banyak negara
emerging dan berkembang, tak terkecuali Indonesia. Kenaikan angka
pengangguran akan memperparah kondisi ekonomi dengan munculnya dampak turunan
seperti menurunnya daya beli, terbatasnya ekspansi bisnis, dan menurunnya
pendapatan negara akibat melambatnya aktivitas perekonomian.
Tidak mengherankan
dalam situasi perlambatan ekonomi global, banyak lembaga internasional
seperti Bank Dunia, IMF, ILO dan OECD memberikan warning kepada setiap negara
agar lebih fokus dalam melakukan kebijakan baik moneter maupun fiskal agar mampu
mempertahankan penciptaan lapangan kerja di tengah perlambatan ekonomi. Bank
Dunia memangkas target pertumbuhan ekonomi dunia 2016 menjadi hanya 2,6% dari
target awal 3,3%.
IMF juga merevisi
target pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2% dari prakiraan awal yang
disusun pada Januari 2016. Di April 2016, IMF menargetkan ekonomi dunia bisa
tumbuh 3,2%, lebih rendah dari proyeksi semula yang ditetapkan sebesar 3,4%.
Revisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi dunia masih sangat terbuka ketika
belum ada tanda-tanda pemulihan ekonomi di China, Eropa, dan sejumlah kawasan
lain.
Landainya pertumbuhan
perdagangan, investasi, dan output manufaktur dunia juga mencerminkan
perekonomian dunia memasuki periode waktu yang disebut IMF sebagai too slow for too long. Bagi Indonesia,
kondisi perekonomian dunia langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada
kinerja perekonomian nasional. Realisasi pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) nasional di 2015 yang sebesar 4,79% jauh lebih rendah dari target
APBN-P 2015 yang sebesar 5,7%.
Kondisi ini berdampak
langsung pada sektor ketenagakerjaan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS)
dalam laporannya menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus
2015 sebesar 6,18%, meningkat dibandingkan dengan posisi TPT Februari 2015,
5,81%. Secara year on year TPT pada Agustus 2015 juga lebih tinggi
dibandingkan dengan Agustus 2014 yang berada di level 5,94%. Data BPS juga
menunjukkan, pada Agustus 2015, jumlah penduduk yang bekerja turun 6,0 juta
orang dari 120,8 juta di Februari 2015 menjadi 114,8 juta pada Agustus 2015.
Peningkatan tingkat
pengangguran terbuka sepanjang 2015 perlu menjadi perhatian serius pemerintah
agar di tahun 2016 kondisinya bisa menjadi lebih baik. Sementara itu, dalam
APBN 2016 ditetapkan target angka pengangguran sebesar 5,2-5,5%. Tingginya
target penurunan angka pengangguran nasional perlu menjadi fokus pemerintah
agar bisa tercapai mengingat tantangan untuk meningkatkan lapangan kerja di
tengah perlambatan perekonomian akan semakin tinggi.
Sementara
itubanyaklembagainternasional seperti Bank Dunia dan IMF juga merevisi turun
target pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2016. Misalnya, Bank Dunia
barubaru ini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2016 sebesar
5,1%. Adapun IMF memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,9% di
2016. Kedua prakiraan lembaga internasional itu di bawah target pertumbuhan
ekonomi di APBN 2016 yang dipatok sebesar 5,3%.
Prakiraan kedua
lembaga internasional tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah, khususnya
keterkaitannya pada kebijakan penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka
pengangguran nasional. Struktur ketenagakerjaan di Indonesia sangatlah unik.
Mereka yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar daripada dengan
sektor formal. BPS mencatat pada Agustus 2015 penduduk Indonesia yang bekerja
di sektor formal sebanyak 48,5 juta orang atau 42,24%.
Sementara itu, mereka
yang bekerja di sektor informal mencapai 66,3 juta orang atau 57,76%.
Besarnya tenaga kerja sektor informal, di satu sisi, membantu penyerapan
tenaga kerja, tetapi di sisi lain juga menciptakan sejumlah masalah. Pekerja
di sektor informal sangat rentan terhadap perlambatan ekonomi nasional
seperti mereka yang berstatus berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak
tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di
nonpertanian, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Mereka yang bekerja di
sektor informal sangat rentan tidak hanya pemutusan hubungan kerja (PHK),
tetapi juga proteksi pekerjaan bila dibandingkan dengan mereka yang bekerja
di sektor formal. Oleh karenanya, di tengah perlambatan perekonomian dunia
dan nasional, sektor ketenagakerjaan perlu menjadi fokus kebijakan nasional.
Kebijakan untuk memperluas lapangan usaha yang padat karya perlu menjadi
salah satu prioritas nasional.
Paket kebijakan yang
menyasar untuk memberikan insentif tidak hanya investasi pada industri padat
modal dan padat teknologi tetapi juga padat karya. Selain itu, kebijakan bagi
perlindungan industri padat karya yang telah beroperasi agar tidak tutup atau
merelokasi industri ke negara lain juga perlu menjadi salah satu fokus
kebijakan.
Kebijakan fiskal perlu
tidak hanya bagi calon investor baru yang akan masuk ke Indonesia, melainkan
juga proteksi investasi padat karya. Lebih dari itu, pengawasan di sektor ketenagakerjaan
di tengah upaya menarik investasi asing juga perlu ditingkatkan. Ini agar
serbuan tenaga kerja asing non-tenaga ahli dapat dicegah. Dengan demikian
investasi asing akan dapat membantu penyerapan tenaga kerja nasional secara
masif. Pemanfaatan dana desa untuk mendorong lapangan kerja di perdesaan juga
menjadi semakin penting.
Dalam hal ini,
koordinasi dan kerja sama lintas kementerian antara Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi, Kementerian Dalam negeri, dan Bappenas perlu duduk bersama
untuk mengaitkan penyaluran dana desa dengan target penyerapan dan penciptaan
lapangan kerja secara lebih terukur.
Target dana desa tidak
hanya terbatas pada penyalurannya saja, tetapi perlu ditambahkan berapa besar
kontribusinya pada penyerapan lapangan kerja. Selain itu, sektor
ketenagakerjaan juga perlu duduk bersama dengan Kementerian Perindustrian,
Kementrian Koperasi dan UKM, Kementerian Pariwisata dan sektor lainnya untuk
menyusun kebijakan terobosan agar angka penyediaan lapangan kerja berjalan
seiring dengan desain industrialisasi dan investasi nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar