Membaca Pikiran Politik Jokowi
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 02 April
2016
Isu perombakan (reshuffle)
kabinet berembus lagi, tetapi Presiden Joko Widodo bergeming. Memang unik,
karena semua orang ingin ikut campur mengurusi reshuffle. Partai politik merasa paling mengerti, bahkan parpol
yang bukan pendukung pemerintah sekalipun. Padahal berulang kali Presiden
Jokowi menegaskan, reshuffle
kabinet adalah hak prerogatif presiden. Tetapi, namanya parpol, suka sekali
mendorong-dorong atau memancing-mancing. Sebaliknya, Presiden Jokowi sudah
pasang kuda-kuda: tidak bisa ditekan-tekan, didikte-dikte, atau
didesak-desak.
Sikap tegas Jokowi makin kelihatan di banding tahun 2014 saat
mulai masuk Istana. Pasca Pilpres 2014, di tengah ingar bingar euforia
kemenangan pasangan Jokowi-Kalla, ada rumor bernada subversif. Skenarionya
pemerintahan Jokowi-Kalla tidak bertahan lama. Pemerintahan akan jatuh atau
persisnya dijatuhkan dalam waktu dua tahun. Namun, baru menjelang 1,5 tahun,
bukannya tanda-tanda kejatuhan yang terjadi, Jokowi justru mengacaukan
"skenario" itu. Bahkan, lawan-lawan politiknya yang garang, satu
per satu rontok.
Tidak sedikit politisi, yang pernah berhubungan dengan Jokowi,
mengakui bahwa Jokowi memang tangguh, ulet, sulit ditaklukkan (dipengaruhi).
Ibaratnya, petarung dari Solo itu menaklukkan kerasnya panggung politik
nasional, justru tidak dengan kekerasan atau penggunaan kekuasaan.
Kini, hampir tak terdengar lagi galaknya Koalisi Merah Putih
(KMP), yang berlawanan dengan pendukung pemerintah, Koalisi Indonesia Hebat
(KIH). Bahkan KIH sudah berubah menjadi Kerja Sama Partai Politik Pendukung
Pemerintah (KP3). Di seberang lain, satu per satu parpol di KMP terlepas,
merapat ke pemerintah. PAN sudah bergabung dengan pemerintah sejak September
2015. PAN tinggal menunggu jatah kursi saja jika terjadi perombakan kabinet.
PKS juga sudah bersilaturahim pada Presiden Jokowi. Partai
Golkar yang sepanjang 2015 ribut terus, juga telah merapat ke Istana. Bahkan,
pemerintah aktif membangun rekonsiliasi di antara dua kubu (Aburizal Bakrie
dan Agung Laksono) tersebut. PPP yang juga berkonflik sudah pergi pula ke
Istana. Meskipun para petinggi KMP bertemu pada Kamis (31/3) malam lalu,
pertentangan KMP versus KIH pun sudah tidak relevan lagi. Sudah meleleh, lalu
mencair.
Bagaimana membaca perubahan politik tersebut? Pertama, Jokowi
boleh dikata dapat memecah kekuatan KMP yang awalnya begitu merepotkan Jokowi
dan partai koalisi pendukungnya. Bayangkan posisi strategis di DPR dikuasai
KMP. KIH dapat sisa-sisanya. Waktu itu sampai muncul sindiran nyinyir
"salam dua jari" menjadi "salam gigit jari". Kedua, ini
jadi persoalan kemudian, bahwa pendukung pemerintah menjadi gemuk. Bisa
kurang sehat dan tidak lincah.
Ketiga, dengan begitu, kekuasaan politik Jokowi makin menguat
karena gangguan oposisi berkurang drastis. Keempat, ini tak kalah pentingnya,
sebagai pesan untuk PDI-P bahwa Jokowi makin banyak kawan, bukan cuma PDI-P
dan koalisinya. Masa awal-awal menjadi presiden, kentara sekali Jokowi diperlakukan
sebagai "petugas partai". Saat dicalonkan menjadi presiden, Jokowi
memang cuma kader. Ia bukan petinggi partai, apalagi ketua umum. Dan, di
PDI-P genealoginya jelas ada trah biologis Soekarno, bukan cuma ideologis.
Dengan posisi bukan tokoh puncak partai, Jokowi kelihatan agak
sulit pada masa awal-awal pindah ke Istana. Dosen saya di Universitas
Indonesia yang ahli sosiologi politik, Profesor Iwan Gardono Sujatmiko, kerap
mengingatkan bahwa seorang pemimpin (presiden) tidak cukup dengan faktor
figur dan leadership saja. Ia mesti
memiliki basis kekuasaan (power base)
yang cukup kuat. Tanpa basis kekuasaan yang kuat, ia akan mudah terayun-ayun
seperti bandul.
Situasi kini telah berubah. Mungkin cerita Jokowi tanpa kuasa yang cukup mulai sama-samar menghilang. Kalau
mengikuti Moises Naim (The End of
Power, 2013), ilmuwan dari Carnegie
Endowment for International Peace, kekuasaan Presiden Jokowi telah mampu
mengarahkan, mengontrol, atau juga mencegah tindakan kelompok atau pihak
lain.
Jokowi memang tidak seflamboyan Soekarno atau sedingin Soeharto,
tetapi Jokowi justru mampu membawa keluar dari jebakan bahwa pemimpin
nasional adalah tokoh pusat dan suka pencitraan. Ia menjadi antitesis tipikal
pemimpin nasional selama ini. Dengan gayanya sendiri, Jokowi bisa mengikuti
irama politik nasional dan perlahan justru bisa mengubahnya. Saat situasi
panas, ia tak harus menuangkan bensin. Sewaktu menteri-menterinya ribut,
sampai batas-batas tertentu kegaduhan kabinet itu dibiarkan. Namun pada satu
titik, ia bisa mengunci mulut para menterinya. Namun, publik pun akhirnya
tahu siapa-siapa menteri yang suka ribut. Jadi, kalau reshuffle, gampang memilahnya. Dan, bisa kapan saja. Sebab,
kendali presiden sudah lebih kuat.
Alhasil tidak sampai dua tahun, Jokowi telah mengubah peta
politik di negeri ini. Tampaknya makin kuat, apalagi kinerjanya yang tiada
henti. Wakil Presiden Jusuf Kalla saja yang di zaman Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dulu kerap dijuluki the real
president, kini sulit menandingi kegesitan Jokowi. Kira-kira begitulah
pembacaan politik yang samar-samar dibaca dari luar Istana. Jika saja
pembacaan pikiran politik ini kurang tepat, mohon dimaafkan, ya, Pak
Presiden.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar