”Tour de Droits” dan Etape Demokrasi
Lambang Trijono ;
Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS, 02 April
2016
Kritik Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dibalas dengan kritik
Hambalang, demikian publik menilai dua peristiwa terjadi hampir bersamaan
itu.
SBY melontarkan kritik terhadap pemerintah sekarang jangan hanya
membangun infrastruktur, tetapi juga memperhatikan kemiskinan yang dialami
warga masyarakat.
Sehari sesudah itu muncul berita Presiden Joko Widodo meninjau
bekas proyek Hambalang yang terbengkalai itu. Sontak interpretasi kalayak pun
muncul, hal itu dilakukan tidak lain merupakan kritik balasan Jokowi terhadap
pemerintahan SBY sebelumnya. Tour de Java dibalas dengan Tour de Hambalang,
demikian sindiran politik menggelitik dilontarkan publik.
Kontestasi kritik itu mendebarkan sekaligus menyehatkan kalau
kita bisa memetik pelajaran politik darinya. Kedua pemimpin itu di
belakangnya ada nama dua partai besar: Partai Demokrat dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Kalau boleh berharap sebaiknya kedua partai itu menjadi
garda terdepan politik di Indonesia di masa datang.
Kelanjutan dari perjalanan politik itu bisa dimulai dari
tanggapan SBY terhadap kritik simbolik yang dilakukan Jokowi. Dalam etape
berikutnya SBY mengatakan, kritik yang disampaikan itu merupakan hak Partai
Demokrat untuk menilai pemerintahan. Pandangan itu sepenuhnya bisa
dibenarkan. Terlebih apabila lebih menukik lagi ke dalam, berkaitan dengan
soal hak itu, lontaran disampaikan SBY terkait kemiskinan itu boleh dikata di
dalamnya memuat persoalan hak warga negara dalam pembangunan.
Namun, jangan lupa, kritik simbolik dilakukan Jokowi
sesungguhnya juga ada kaitannya dengan soal hak. Tinjauan Jokowi ke proyek
Hambalang itu mengingatkan kita adanya hak warga negara, terutama kalangan
muda, pencinta olahraga dan mereka yang ingin hidup sehat, yang suara dan
kepentingannya selama ini terabaikan.
Karena itulah, kita katakan perjalanan politik itu menyehatkan.
Bermula dari situ, kita bisa mengisi perjalanan politik kita ke depan dengan
lebih menyuarakan hak-hak warga negara dalam pembangunan. Meminjam bahasa
Perancis yang menyebut hak dengan droit,
Tour de Java SBY dan Tour de Hambalang Jokowi itu sebaiknya kita lanjutkan
dengan Tour de droits di etape berikutnya.
Demokrasi selanjutnya
Kita mulai Tour de droits itu dengan becermin pada apa yang
terjadi di Eropa yang membawa Eropa kini dalam kemajuan. Sejarah politik
Eropa menunjukkan pergerakan politik menuntut hak di kalangan warga mendorong
negara berubah menjadi lebih memperhatikan kesejahteraan warganya, atau
memunculkan negara kesejahteraan dalam berbagai bentuk.
Pertanyaan muncul: mengapa hal itu tidak atau belum terjadi di
kita? Mengapa demokratisasi ini tidak kunjung membawa penguatan hak warga
negara dan, dengan itu, menjadikan negara suatu negara kesejahteraan?
Persoalan ini membutuhkan interogasi pemikiran tersendiri
terhadap pandangan politik yang umum berlaku sekarang. Kecurigaan tertuju
pada tensi yang belum terpecahkan antara apakah kita sebaiknya menempatkan droits itu tetap pada subyek l’homme, atau hak asasi manusia apa
adanya, ataukah lebih menempatkannya pada subyek politik citoyen, atau menjadikannya sebagai hak-hak warga negara.
Pergerakan politik berbasis hak-hak asasi manusia selama ini
memang telah mengubah negara menjadi lebih demokratis. Namun, hasilnya tidak
seperti yang terjadi di Eropa di masa lalu. Sejalan dengan nilai universal
yang dianut, ia cenderung mengandalkan pada asumsi netralitas hukum,
mengodifikasi hak menjadi ketentuan hukum, dan menjadikan hukum internasional
sebagai motor penggerak mendemokratisasi negara.
Hasilnya, seperti kita rasakan sekarang, negara demokrasi baru
terbentuk sarat kodifikasi hukum dan cenderung legalistik dalam menjalankan
praktik kekuasaan. Kecenderungan ini bisa berbalik arah menimbulkan paradoks
politik-hukum yang justru membatasi hak dan kebebasan warga negara.
Pada level warga negara, kecenderungan kodifikasi hak pada hukum
dan depolitisasi menyertainya itu menjadikan warga negara semakin pasif
sebagai penerima hak dari negara. Karena negara sendiri cenderung legalistik,
akibatnya warganya kemudian menjadi sekadar penonton pasif dalam praktik
kebijakan atau menjadi peminta dan penuntut hak yang tak kunjung datang dari
negara.
Lain dengan pergerakan politik berbasis hak-hak asasi manusia
yang tak terlalu terikat pada satuan kepentingan bangsa dan negara,
pergerakan demokrasi berbasis hak-hak warga negara memberi prospek tersendiri
bagi terbentuknya subyek politik warga negara yang demokratis.
Bisakah kita dalam etape demokrasi berikutnya lebih
mengedepankan penggunaan hak-hak warga negara yang akan membuat negara lebih
memperhatikan kesejahteraan warganya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar