Berkuasa dalam Ingatan
Boni Hargens ;
Direktur Lembaga Pemilih
Indonesia
|
KOMPAS, 07 April
2016
Orang selalu berpikir
bahwa berkuasa itu urusan waktu. Ada waktu berkuasa dan ada waktu tidak
berkuasa (lagi).
Barangkali ahli
psikologi perlu memikirkan ini: kekuasaan itu cenderung melekat dengan gambar
diri. Karena itu, setelah tak berkuasa, orang cenderung mengalami sindrom
pasca berkuasa: orang hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalu sehingga
sukar menerima kenyataan hidup hari ini.
Bagi yang bisa
mengendalikan kemelekatan dirinya dengan kekuasaan, gejala ini cenderung
teratasi. Namun, bagi yang kemelekatannya terlalu mutlak, sindrom ini
cenderung akut. Namun, banyak bekas pemimpin politik selalu merasa berkuasa
selama hayat di kandung badan.
"Ingatan
berkuasa" itu begitu kuat sehingga sulit baginya membedakan kapan
berkuasa dan kapan tak lagi berkuasa. Periodesasi kekuasaan dalam demokrasi
dibatasi supaya orang tidak melebur dengan kekuasaan dan menjadi mutlak.
Atribut kekuasaan harus dicopot dari seseorang setelah masanya berakhir
karena mesti ada sirkulasi dan regenerasi kekuasaan (Robert A Dahl, 1963).
Selain adanya
periodesasi dan sirkulasi kekuasaan, demokrasi juga menekankan pentingnya
deliberasi publik. Keterlibatan rakyat dalam keseluruhan proses politik
adalah roh dasar demokrasi. Rakyat adalah subyek kekuasaan yang menentukan
hidup-matinya demokrasi. Benarlah adagium klasik yang menyebut suara rakyat
adalah suara Tuhan. Pengalaman negara maju yang demokrasinya matang selalu merupakan
contoh penting.
Dalam pemilu negara
bagian di Jerman belum lama ini, partai sayap kanan, Alternative für
Deutschland (AfD), muncul sebagai bintang baru. AfD sendiri di pemilu federal
2013 gagal masuk Bundestag karena tak mencapai ambang batas elektoral yang 5
persen. Isu pengungsi yang menjadi
tema sentral di Eropa saat ini mendongkrak citra sayap kanan. Di Baden-Württemberg, AfD meraih 15 persen
suara, di Rheinland-Pfalz 12,6 persen, dan di Sachsen-Anhalt 24,2
persen. Militansi AfD menolak kebijakan
Angela Merkel yang menampung jutaan pengungsi menyedot dukungan segmen
pemilih konservatif yang resisten dengan hadirnya pengungsi Suriah,
Afganistan, Irak, Iran, dan Pakistan di Jerman.
Meski ditentang,
Merkel tetap konsisten. Sebagian rakyat Jerman justru mendukungnya dengan
alasan kemanusiaan. Seperti yang kami amati di beberapa tempat registrasi
pengungsi di Berlin, Maret 2016 lalu, jumlah pengungsi yang diangkut dari
luar Berlin terus bertambah. Merkel tak
gentar dengan keputusannya.
"Tour de Java"
Isu politik juga
meramaikan politik kita, tetapi sebatas meramaikan saja. Media sosial muncul
sebagai ruang demokrasi baru yang menjamin kemerdekaan tiap orang
berpendapat. Isu-isu politik muncul masih sebatas bola liar, belum determinan
memengaruhi dukungan/penolakan terhadap partai politik.
Dalam Tour de Java
yang diadakan 13 hari (11-24 Maret) Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono melontarkan bola panas. Politik infrastruktur Joko Widodo disindir
karena dinilai tak sesuai dengan konteks ekonomi yang tengah melesu. Ini isu
menarik kalau dilanjutkan dengan perdebatan paradigmatis soal mazhab ekonomi
Jokowian dan mazhab ekonomi Yudhoyonoan.
Sepuluh tahun
berkuasa, SBY tak melakukan gebrakan besar di dunia infrastruktur. Ada
pembangunan, seperti Hambalang, tetapi tersandung korupsi. Bagaimana mazhab
ekonomi SBY menjelaskan ini? Lalu, seperti apa mazhab Jokowian merespons
kritik SBY? Memang logika Jokowian sudah tergambar dalam Nawacita, yang salah
satu sasarannya adalah membangun infrastruktur dari daerah dalam semboyan
"membangun dari pinggiran". Namun, bagi yang tak membaca Nawacita,
perlu diberi penjelasan terus-menerus.
Itulah guna dialektika di ruang publik.
Sayang, perdebatan
macam ini tak muncul. Kehadiran Jokowi di Hambalang (18/3) malah dianggap
sebagian orang sindiran politik dan merusak Tour de Java. Celotehan SBY di media sosial juga
melampaui modus curhat. Sebagai oposisi, Partai Demokrat harus mengkritik.
Namun, kritik sebaiknya konseptual supaya ada efek edukatif bagi publik.
Kita bangga SBY masih
punya ingatan kekuasaan. SBY bukan saja bekas presiden; ia juga ketua umum
partai. Namun, kita senang ada memori berkuasa yang terus hidup. Itu baik
sebagai energi untuk melakukan kritik yang konstruktif terhadap pemerintah sekarang.
Dengan ingatan itu, SBY tahu apa yang sudah dan tak pernah dilakukannya.
Discovery tentang
pengalaman itu bisa jadi bahan kritik yang baik untuk Jokowi. Apa yang baik
dari SBY adalah warisan sejarah yang perlu dihargai dan apa yang
"lupa" dilakukan SBY, itulah yang diwujudkan Jokowi dengan Kabinet
Kerja-nya. Namun, ingatan kekuasaan itu harus dievaluasi supaya tak menjadi
"berkuasa dalam ingatan", terus berkuasa, padahal itu hanya dalam
ingatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar