Ancaman Kencing Manis
Hasbullah Thabrany ;
Chair, Center for Health
Economics and Policy Studies Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 07 April
2016
Hari ini, 7 April
2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingati Hari Kesehatan Dunia
dengan mengangkat topik kencing manis (diabetes melitus). Tahun lalu, terdapat 415 juta penderita
diabetes melitus (DM) di dunia. Tahun 2040, jumlah penderita DM di dunia
diperkirakan meningkat menjadi 642 juta orang. Di Indonesia, diperkirakan 10
juta orang menderita DM, dan jumlahnya akan naik jadi 16 juta orang pada
2040.
Kebanyakan mereka
adalah penduduk yang tinggal di kota. Ada dua jenis DM, yaitu tipe I yang
sejak kecil tubuh tidak cukup memproduksi hormon insulin dan tipe II yang
memproduksi insulin, tetapi tidak cukup efektif mengendalikan gula darah.
Sekitar 90 persen penderita DM adalah tipe II karena faktor risiko kegemukan
dan tubuh kurang gerak.
Mengapa WHO peduli DM?
penyakit DM merupakan penyakit yang tidak mudah dikenali penduduk. Gejala
awal hampir tidak bisa dikenali. Separuh penderita DM tidak terdiagnosis
karena tidak ada gejala sehingga tak mendorong orang untuk mencari
pengobatan. Tidak sedikit penderita DM diketahui setelah serangan jantung
atau gagal ginjal. Sekitar separuh penderita DM berkomplikasi gangguan saraf
sampai lumpuh, sekitar 50 persen penderita DM berkomplikasi serangan jantung,
dan sampai 20 persen berakhir dengan gagal ginjal. Sekali menderita DM,
seseorang harus diet atau berobat selama sisa hidupnya.
Penyakit perilaku
Penyakit DM adalah
penyakit perilaku buruk penduduk. Kehidupan modern yang menyediakan berbagai
kemudahan hidup memicu peningkatan DM. Ketersediaan makanan cepat saji tinggi
lemak meningkatkan selera makan dan meningkatkan kegemukan/obesitas. Makanan
rendah serat, serta kurang sayuran dan buah-buahan menambah mudahnya terjadi
obesitas. Konsumsi makanan dan minuman manis yang semakin tersedia memudahkan
generasi muda menderita obesitas dan DM. Ketersediaan alat transportasi
membuat semakin banyak penduduk malas berjalan kaki. Sepeda motor, mobil, dan
ojek mengurangi gerak penduduk. Tidaklah mengherankan jika prevalensi
penyakit DM meningkat dari 1,7 persen penduduk tahun 1985 menjadi 6,9 persen
tahun 2013.
Yang mengkhawatirkan
adalah hanya seperempat penderita DM di Indonesia yang terdiagnosis tahun
2013. Hal itu akibat rendahnya akses layanan dan jaminan kesehatan kala itu.
Penyakit DM umumnya tidak disadari penduduk yang sedang memasuki gerbang
kesejahteraan. Pemerintah pun belum mampu menyediakan upaya promotif-preventif
yang berujung pada perlambatan pertumbuhan penyakit kronis ini.
Sebagian penduduk
beruntung mendapatkan pesan komersial sekaligus edukatif dari produsen
makanan sehat yang mengambil peluang pasar. Iklan mereka sekaligus juga
berpeluang meningkatkan kesadaran dan perubahan perilaku akan bahaya DM. Tren
pola hidup urban di pusat-pusat kebugaran juga membantu sebagian penduduk
menambah aktivitas fisik. Namun, tidak semua penduduk menyadari, mampu
membeli, dan mampu mengubah perilaku mereka.
Pemahaman utuh dan
pembangkitan kesadaran perubahan perilaku membutuhkan bimbingan praktis
terus-menerus dari tenaga kesehatan. Di negara maju, dengan tingkat
pendidikan dan kesadaran publik jauh lebih baik, banyak perusahaan
menyediakan fasilitas yang mendorong aktivitas fisik di tempat kerja.
Sebaliknya, tersedianya jaminan kesehatan tanpa upaya preventif perorangan
dapat memicu morale hazard, perilaku yang kurang peduli pada pola hidup
sehat.
Perubahan perilaku
diperlukan juga bagi mereka yang telah terkena DM. Penyakit DM bukanlah vonis
mati. Disiplin diet, olahraga, dan terapi merupakan cara paling ampuh untuk
mencegah komplikasi DM. Masalahnya, kebanyakan pasien berpikiran pendek
(short sighted). Sebagian besar pasien DM tidak merasakan proses perburukan
penyakit karena lambatnya proses penyakit.
Banyak penderita DM
juga tertipu dengan nafsu makan yang besar, yang diduga sebagai keadaan
sehat-padahal hal itu dapat merupakan suatu kegagalan kendali penyakitnya.
Pencegahan sekunder bagi penderita DM dan obat tersedia. Jaminan kesehatan
kini juga tersedia bagi kebanyakan mereka yang menderita DM. Pemerintah,
pengusaha, BPJS Kesehatan, dan para ahli harus terus mengingatkan publik akan
bahaya laten DM ke depan.
Kerugian ekonomis
Suatu penyakit tidak
saja menimbulkan risiko fisik dan mental. Penyakit DM menimbulkan kerugian
ekonomis yang besar yang timbul dari biaya berobat, kehilangan hari
produktif, sampai kematian dini dengan meninggalkan anak yatim sebelum usia
kerja. Perkiraan WHO menghasilkan perkiraan kerugian ekonomis untuk biaya
pengobatan mencapai Rp 8.700 triliun di seluruh dunia pada 2015. Jumlah itu
belum termasuk kehilangan hari produktif.
Pekerja yang menderita
DM kerap bolos atau izin kerja karena komplikasi gangguan saraf sampai
kebutaan dan amputasi, serangan jantung, dan harus cuci darah. Diperkirakan,
tahun 2030, dunia kehilangan Rp 470.000 triliun dari penyakit DM, termasuk
kerugian ekonomis akibat produktivitas yang hilang.
Di Indonesia,
perhitungan menyeluruh kerugian ekonomis akibat DM belum dihitung karena
masih terbatasnya data yang tersedia. Yang jelas, klaim JKN yang masuk ke
BPJS Kesehatan tahun 2015 menunjukkan lebih dari Rp 5 triliun untuk
pengobatan penyakit jantung dan cuci darah. Kedua penyakit itu merupakan
komplikasi yang umum terjadi dari DM.
Biaya pengobatan DM
saja, berupa obat-obat rutin, biaya konsultasi dokter, dan biaya perawatan
yang menderita komplikasi diperkirakan Rp 4 juta per orang per tahun. Jika DM
telah berkomplikasi gagal ginjal, sekitar Rp 200 juta dana JKN per pasien
tersedot untuk cuci darah. Kini terdapat lebih dari 20.000 orang peserta JKN
yang rutin cuci darah dengan klaim tahun 2015 lebih dari Rp 2 triliun. Secara
kasar, penyakit DM dapat menimbulkan kerugian ekonomis di Indonesia sampai Rp
30 triliun per tahun.
Para penderita DM
harus menyadari, ketersediaan jaminan terapi DM dan terapi komplikasi DM
sangat mahal. Penyakit DM dapat menyedot dana JKN lebih dari Rp 1 miliar per
pasien. Namun, jaminan kesehatan tidak menjamin rasa sakit, transportasi, kehilangan
waktu produktif, dan berbagai masalah bagi anggota keluarga yang
ditinggalkan. Maka, meskipun imbal hasil, return on investment, upaya
pencegahan komplikasi DM belum diketahui, mencegah terjadinya komplikasi
dengan disiplin diet dan terapi merupakan pilihan terbaik buat pasien. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar