Entry
Point Pengentasan Kemiskinan
Ali Khomsan ; Guru
Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
KORAN
SINDO, 30 Oktober 2014
Kriteria miskin yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS)
(pendapatan sekitar Rp300.000 per kapita per bulan) didasarkan pada besarnya
rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan minimum pangan dan
nonpangan.
Kriteria BPS inilah yang dipakai untuk dijadikan tolok ukur
penetapan jumlah penduduk miskin. Baru-baru ini dirilis data orang miskin di
Indonesia yang jumlahnya sekitar 28 juta atau 11,25 persen penduduk.
Ironisnya, target raskin (beras untuk orang miskin) adalah 80 juta penduduk
miskin. Jadi, yang benar jumlah orang miskin 28 juta atau 80 juta? Apabila
digunakan standar Bank Dunia yang menetapkan batas miskin adalah penghasilan
setara USD2 per kapita per hari, maka jumlah orang miskin di negeri kita
niscaya melebihi 100 juta orang. Inilah PR untuk pemerintahan baru Jokowi-JK.
Secara filosofis, seseorang dikatakan miskin bila “keadaannya”
menyebabkan dia tidak mampu berdiri sederajat dengan lingkungan masyarakat
sekitarnya. Dengan demikian, kemiskinan mempunyai rentang dimensi dan
kerelatifan yang lebar. Namun demikian, sebenarnya bukan kemiskinan relatif
yang perlu dipersoalkan, melainkan kemiskinan absolut yang dapat membuat
seseorang tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses segala kebutuhan pokok
hidupnya.
Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia yang rendah sehingga
peluang produksi menjadi kecil. Kalau toh terjadi kegiatan produksi, hal itu
dilakukan dengan efisiensi yang rendah sehingga hasilnya tidak optimal. Dalam
lingkup pertanian, sumber daya yang memengaruhi munculnya kemiskinan adalah
rendahnya pemilikan lahan, kualitas lahan, dan iklim.
Sensus Pertanian terakhir baru-baru ini mengungkapkan bahwa
jumlah rumah tangga pertanian turun 5,04 juta dari 31,17 juta (2003) menjadi
26,13 juta (2013). Jadi dalam satu dekade, terjadi kemerosotan jumlah petani
cukup signifikan yang dapat berdampak pada aspek ketersediaan pangan di
negeri ini.
Dunia pertanian yang semakin tidak diminati, tidak terlepas dari
politik kurang berpihaknya negara untuk menyejahterakan para petaninya. Petani
kita dibiarkan bertarung dengan produk-produk impor yang padat subsidi.
Petani gurem kita berhadapan langsung dengan petani konglomerat dari negara
lain yang memiliki lahan ratusan hektar.
Sektor pertanian dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan
kesejahteraan. Populasi petani kita lebih banyak didominasi oleh petani gurem
dengan pemilikan lahan sangat sempit. Sekitar 14,5 juta rumah tangga petani
memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Persentase penduduk miskin terbesar hampir
di seluruh kabupaten/ provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor
pertanian. Pertanian menjadi tidak menarik bagi generasi muda karena bertani
berarti mengungkung diri dalam kemiskinan.
Hanya, orang-orang tua dan lanjut usia yang masih mau menggeluti
bidang yang nyaris tidak menguntungkan ini. Sementara orang-orang muda lebih
suka menjadi buruh industri dengan gaji setara UMR. Inilah dilema negara
kita. Upaya untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia harus dibarengi
terlebih dahulu dengan memahami kemiskinan secara holistis (menyeluruh). Kita
harus mengetahui tentang sulitnya orang miskin mengakses pangan berkualitas,
kita perlu memahami rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin, dan
demikian pula kita perlu paham kendala akses pendidikan serta kendala daya
beli.
Pemahaman mengenai karakteristik orang miskin dapat merupakan
entry point (pintu masuk) untuk memecahkan masalah kemiskinan. Kemiskinan
adalah fenomena yang kompleks. Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata:
Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku telah
membunuhnya. Riwayat ini saja sudah bisa menunjukkan bahwa kemiskinan
merupakan hal yang sulit untuk digambarkan sehingga juga sulit untuk diatasi.
Dalam penanggulangan kemiskinan diperlukan penanaman nilai-nilai moral yang
dapat meningkatkan rasa tanggung jawab sosial. Bila tanggung jawab ini
dipikul bersama oleh masyarakat, semua pihak mempunyai kewajiban yang sama
untuk mengatasi kemiskinan.
Untuk mengatasi kemiskinan diperlukan intervensi-intervensi
dengan memanfaatkan segala jalur entry point. Faktor sebab- akibat kemiskinan
itu sendiri sudah merupakan lingkaran setan, sehingga diperlukan berbagai
pintu masuk untuk memutuskan rantai kemiskinan. Sebagai gambaran, salah satu
masalah gizi yang sampai saat ini masih diupayakan penanggulangannya adalah
kekurangan energi protein (KEP).
KEP adalah fenomena kemiskinan yaitu terbatasnya akses makanan
secara cukup baik kualitas maupun kuantitas, korbannya terutama adalah
anak-anak balita. Jadi, upaya perbaikan gizi yang dilakukan melalui pemberian
makanan tambahan untuk anak balita adalah wujud pengentasan kemiskinan
melalui entry point gizi masyarakat. Perbaikan layanan posyandu juga dapat
menjadi pintu masuk mengatasi dampak buruk kemiskinan.
Program revitalisasi posyandu yang kini sedang dilaksanakan oleh
Tim Penggerak PKK Pusat bekerja sama dengan PT Nestle Indonesia di 19
provinsi adalah upaya meningkatkan layanan posyandu. Posyandu versi
revitalisasi yang dikenal sebagai posyandu tumbuh-aktif tanggap (TAT)
kegiatannya tidak bertumpu pada penimbangan anak balita semata, tetapi juga
pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, dan pemantauan perkembangan (aktif
dan tanggap) anak balita.
Pendidikan diyakini sebagai faktor penentu kualitas sumber daya
manusia. Penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dimungkinkan karena peran
serta sektor pendidikan. Tanpa pendidikan hanya akan dihasilkan manusia-
manusia yang akan menjadi beban pembangunan bukan modal dasar pembangunan. Di
era globalisasi, manusia tanpa pendidikan akan semakin sulit memperoleh akses
pekerjaan. Saat ini pun sudah banyak dijumpai sarjana-sarjana yang kesulitan
mencari pekerjaan. Masa tunggu seorang sarjana sampai memperoleh pekerjaan
semakin lama.
Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan adalah komoditi yang akan
diperebutkan dengan semakin kompetitif. Tanpa pekerjaan maka seseorang akan
mudah jatuh ke dalam jurang kemiskinan, sehingga dia tidak mempunyai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya yang paling pokok yaitu makanan.
Ketahanan pangan individu maupun rumah tangga menjadi terancam dan akhirnya
termanifestasikan dalam bentuk gizi kurang maupun gizi buruk.
Orang-orang miskin juga akan mempunyai akses terbatas untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal, muncullah berbagai penyakit
yang menyebabkan tingginya angka morbiditas yang pada batas-batas tertentu
dapat menjadi penyebab mortalitas (kematian). Dampak kemiskinan yang
sedemikian luas tentunya menuntut upaya-upaya penanggulangan yang sifatnya
multiapproach.
Sinergi berbagai kementerian untuk pengentasan kemiskinan
memerlukan koordinasi yang baik. Diharapkan pemerintahan baru bisa merumuskan
kebijakan-kebijakan propoor yang lebih nyata dan dapat dirasakan masyarakat,
sehingga laju pengurangan penduduk miskin dapat dipercepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar