Senyawa
ABG, Otonomi
Irfan Ridwan Maksum ;
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI;
Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
|
KOMPAS,
22 Agustus 2014
SALAH satu variabel penentu
kualitas ekonomi lokal adalah sinergi antara perguruan tinggi
(universitas/A), dunia bisnis (B) dan pemerintah daerah (G) yang membentuk
apa yang dinamakan triple-helix (Henry Etzkowitz: 2008). Fakta di
daerah-daerah, terdapat universitas besar di Indonesia, permasalahan sosial
justru besar belum mengacu standar internasional.
Senyawa ABG di atas belum
efektif di Indonesia. Perlu keseriusan semua pihak agar pembangunan lokal
dapat efektif yang pada akhirnya diharapkan berkonstribusi pada pembangunan
nasional.
”Triple helix”
Dalam konteks negara bangsa,
hubungan antardunia akademik, bisnis dan pemerintah, di tingkat lokal juga
ditentukan oleh bagaimana triple-helix nasional dikembangkan. Umumnya
triple-helixnasional yang belum tumbuh menimbulkan kesulitan pula di tingkat
lokal. Ketiga pemain di tingkat lokal akan sama-sama mengacu pada apa yang
terjadi di tingkat nasional.
Faktanya ditandai oleh hubungan
dua pihak (bilateral) yang masih kuat: industri-pemerintah,
industri-universitas, dan universitas-pemerintah tanpa koneksitas di antara
ketiganya yang amat sulit menjadi basis kebijakan inovasi bersama. Di tingkat
lokal pun demikian, faktanya masih kuat hubungan bilateral tadi.
Mengapa di Kota Bandung
persoalan kemacetan bukannya berkurang bahkan semakin menjadi-jadi, masalah
sampah semakin menumpuk, tata ruang semakin semrawut?
Di tingkat nasional pertanda
triple-helix belum kuat tampak sekali terlihat. Inovasi dengan dasar ilmu
pengetahuan masih sangat lemah. Kebijakan didorong oleh wisdom pengambil
keputusan semata, bahkan kepentingan sesaat lebih banyak muncul. Akibatnya,
daerah pun tidak merasa perlu untuk mendorong tiga elemen tersebut
bergandengan kuat.
Namun, secara teori, dengan
leadership yang kuat, ternyata mampu mendorong triple-helix terjadi.
Prasyarat dari munculnya triple-helix adalah masyarakat madani dan organisasi
non-profit yang menjembatani ketiga pihak.
Mengubah hubungan bilateral
menjadi trilateral terutama adalah dengan mendekatkan ketiga elemen sehingga
saling beririsan. Irisan tersebut diisi oleh mereka para agen pengubah dari
kelompok masyarakat madani (Etzkowits: 2008).
Itulah mengapa di sejumlah
negara maju, triple-helix lokal umumnya terjadi di daerah perkotaan yang
telah tumbuh masyarakat madani sehingga pakar perkotaan mengangkat istilah
”learn- ing-region” untuk menggambarkan triple-helix di daerah bercirikan
urban (Rutten dan Boekema: 2007).
Membangun kekuatan
Secara nasional, desentralisasi
memberi ruang besar dalam pengambilan keputusan bagi daerah. Di daerah, pengambilan
keputusan politik berada di tangan DPRD dan kepala daerah. Kepala daerah
menjalankan pemerintahan daerah.
Ruang yang memadai ini sering
kali faktanya diikat sana-sini oleh kebijakan pusat sehingga makin sempit.
Namun, di tengah kesempitan tersebut UU tetap menjamin adanya otonomi
meskipun gradasinya menurun. Ruang yang terbatas tersebut merupakan
kesempatan mendorong triple-helixlokal muncul untuk kepentingan inovasi
berbasis pengetahuan.
Ada beberapa rekomendasi kepada
pemda untuk membangun senyawa-ABG lokal. Pertama, mendorong kemampuan
entrepreneurship lokal dalam menggali potensi ekonomi dengan menggandeng
universitas.
Kedua, mengembangkan jaringan
dengan industri untuk menyiapkan laboratorium usaha di
universitas-universitas lokal yang ada. Ketiga, memberi insentif kepada
berbagai pihak untuk bekerja sama dalam pengembangan jaringan universitas
lokal dan industri.
Keempat, mengembangkan kerja
sama modal ventura agar mampu mendorong ekonomi lokal. Kelima, mengembangkan
basis pengetahuan-komprehensif. Keenam, membangun entitas akademik di
tengah-tengah dunia industri.
Inti dari keenam langkah itu
adalah membangun atmosfer pengetahuan, atmosfer konsensus di antara tiga
elemen, dan mengembangkan atmosfer inovasi.
Atmosfer pertama dilakukan
dengan memfokuskan kerja sama antar-aktor untuk memperbaiki kondisi lokal
dalam inovasi dengan berkonsentrasi pada penelitian dan pengembangan yang
terkait.
Atmosfer kedua dibangun forum
lintas tiga elemen dalam melakukan sharing ide dan strategi secara
timbal-balik, intensif, dan terus-menerus.
Atmosfer ketiga, berupaya
mewujudkan tujuan-tujuan yang diinginkan dari adanya ide dan strategi yang
disepakati bersama dan selalu dimonitor perkembangan, keluaran, dan
dampaknya.
Perjalanan untuk mewujudkan
langkah-langkah tersebut memang diakui membutuhkan leadershipyang kuat. Di
tingkat nasional, hasil pilpres yang akan dilantik Oktober nanti adalah
pemimpin kuat, dan juga di masing-masing daerah harus didapati orang-orang
yang serius.
Pada akhirnya, bangsa Indonesia
kembali berharap pada mekanisme pilkada untuk memperbaiki kondisi pembangunan
daerah dan nasional.
Pilkada harus ditujukan untuk
menghasilkan pemimpin berjiwa triple-helix. Pemimpin yang mengerti dunia
usaha dan berbasis pengetahuan.
Pilkada langsung yang mengandalkan
pilihan publik kini terdistorsi oleh politik uang sehingga menghasilkan
pemimpin yang greedy dan tidak membangun daerah.
Namun, pilkada tidak langsung
pun berpotensi sama jika tidak diperbaiki. Alangkah baiknya, meskipun sedikit
merepotkan proses pemilihannya, adalah pilkada tidak langsung tetapi harus
ditambahkan proses lanjutan dengan berorientasi pada merit-system. Orientasi
ini untuk mendorong kompetensi dan profesionalitas.
Untuk itu, masih ada tes
lanjutan setelah melalui proses pilkada secara politik, yakni pilkada
secaramerit. Hal ini lebih dapat diyakini mampu mendapatkan pemimpin
tripel-helix dalam mendorong kekuatan ekonomi lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar