Radikalitas
ISIS
Hasyim Muzadi ; Mantan Ketua Umum PBNU
|
REPUBLIKA,
24 Agustus 2014
Paling kurang, semenjak dua dekade terakhir,
Indonesia telah menjadi pasar bebas masuknya beragam mazhab pemikiran
keagamaan. Dalam praksisnya, mazhab yang datang bergelombang bersama
terbitnya fajar reformasi memberi pesan serius bahwa telah terjadi perubahan
cara pandang beberapa anak bangsa dalam mempraktikkan pemahaman agamanya.
Cara pandang inilah yang belakangan membuat keretakan di tengah-tengah umat.
Sebenarnya, dalam kaitan perbedaan cara
pandang, bangsa kita memiliki sejarah panjang.Bahkan, perbedaan cara pandang
sudah berhamburan sejak pertama negara akan di bentuk.
Kalau tidak karena rahmat Allah SWT, sudah
barang pasti bangsa kita akan langsung terberai pada langkah pertama para
founding fathers duduk di meja perundingan. Beragam agama, suku, bahasa, adat
istiadat, bisa menyatu dalam kesadaran "bhinneka tunggal ika".
Kini, dalam beberapa hari terakhir, kehi dupan
keberagamaan kita kembali terusik dengan munculnya gerakan politik baru
berskala transnasional. ISIS namanya. Ia adalah Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS). Menjadi momok paling menakutkan di dua negara yang hingga kini
terkoyak karena perang saudara di kawasan Timur Tengah, Irak dan Suriah.
Secara distansial, ia ada jauh di sana, tetapi karena dibumbui tema
keagamaan, gaungnya menembus jauh hingga tengah-tengah umat Islam Indonesia.
Kita di dalam negeri belum tahu pasti kemana
arah angin akan membawa ISIS. Tetapi, keberadaannya benar-benar telah membuat
kita waswas. Gerakannya yang mudah mengafirkan orang atau kelompok yang tidak
sepaham, mereka sebagai tak firi.
Gerakan ini telah membuat kita traumatis.
Beberapa tahun silam, aksi bom bunuh diri, pe ledakan gereja, peluluhlantakan
kafe dan klub malam merupa kan harga yang harus kita bayar karena tidak
bersikap tegas terhadap gerakan radikal berbumbu agama ini.
Sebagai Rais Syuriah PBNU, penulis menyerukan
umat Islam, khususnya kaum Nahdliyin, tak perlu ikut mendukung ISIS dan
jangan membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sangat penting disadari
bahwa kemunculan dan keberadaan ISIS merupakan fenomena masyarakat Islam di
Timur Tengah.
Karena perbedaan budaya dan cara pandang,
paham ini tidak sama dan tidak pernah sama dengan kondisi Indonesia. Dalam
kaitan ini maka pening katan kewaspadaan adalah mutlak.
ISIS dan beragam paham yang sejenis sejak
musim reformasi telah menjelma menjadi embrioembrio kekuatan garis radikal,
baik melalui gerakan massa, gerakan yang masuk sistem keindonesiaan, maupun
yang menempuh cara teror. Apabila embrio radikalitas ini diolah dengan bumbu
isu ISIS atau perpecahan pascapilpres, pasti akan meningkatkan kadar
kekerasan dalam gerakan trans nasional yang membahayakan keselamatan kaum
muslimin Indonesia dan sekaligus keutuhan NKRI.
Gerakan pendukung Negara Islam Irak dan Suriah
(ISIS) ini tumbuh di Indonesia karena banyak kelompok seide yang telah lama
berdiri. Seperti, paham gerakan khilafah (pemerintahan Islam). Kita melihat,
pemerintah terlalu longgar dan pengawasannya lemah.
Tentu saja, gerakan pendukung ISIS sangat
berbahaya karena ideologinya tak mengakui kedaulatan sebuah negara. ISIS
muncul karena ada kelompok dengan pemikiran yang seide membentuk khilafah.
Kelompok tersebut merakit kekuatan dengan
gerakan massa dan teror. Jika dibiarkan, akan mengakibatkan pergolakan.
Gerakan mereka merupakan gerakan transnasional yang menggejala di seluruh
dunia.
Untuk menangkalnya, dibutuhkan kerja sama
antara Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Agama (Kemenag), dan
Kementerian Luar Negeri (Ke menlu).
Sedangkan, selama ini lembaga negara cenderung
ber gerak sendiri tanpa koordinasi yang jelas.Selain itu, lembaga negara
harus bergerak ekstra keras. BIN, misalnya, tak hanya mela kukan usaha
pengawasan dengan pola kerja intelijen, tapi juga harus memotret dan me
mahami ideologi dan pola pikir mereka.
Dengan demikian, bisa dilakukan upaya
pencegahan agar ideologi tersebut tak memengaruhi umat Islam yang lain.Selain
itu, Kemenlu harus proaktif mengawasi setiap warga negara yang belajar ke
luar negeri, baik ke Timur Tengah, Eropa, maupun Amerika Serikat (AS).
Tujuannya agar mereka tak membawa ideologi
yang bertentangan dengan NKRI. Selain itu, Kemenlu harus melakukan diplomasi
untuk turut mencegah konflik di Timur Tengah. Sebab, saat ini diplomasi tak
berjalan optimal alias mandek.
Tentu semua berharap agar gerakan Islam
radikal dikendalikan supaya tak berkembang terlalu jauh. Selanjutnya, Ke menag
harus membangun Islam yang moderat serta mencegah gerakan dan jaringan Islam
radikal.Semua pihak harus menangkal gerakan dukungan kepada ISIS. Caranya
dengan memperkuat jam'iyyah (organisasi)
pada tataran masyarakat bawah (grass root). Tentu saja mereka tak
perlu dimusuhi, tetapi harus dijauhi. Sebab, jika terjadi bentrok, mereka
akan membawa teman dari negara lain untuk membuat konflik di Indonesia.
Bagi kita umat Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah, cara paling
tepat, yakni dengan melakukan strategi yang Islami dan Indonesiawi ketimbang
mengaku "kelompok paling
Islam" namun menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan
pribadi (kelompok) yang ujung-ujungnya justru merusak Islam. Padahal, yang
demikian tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah.
Menghalalkan segala cara, bukanlah ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Memang, yang
pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu kelompok Khawarij. Gerakan ini
berprinsip; boleh merusak apa saja yang bertentangan dengan kemauannya.
Sekarang ini, ajaran tersebut menjelma dalam
berbagai bentuk gerakan perusakan dengan segala manifestasinya. Jika karena
itu, terjadi bentrok antarkelompok kaum Muslimin. Maka, saat itulah kekuatan
asing akan masuk dan merusak Islam dan Indonesia. Wallahu a''lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar