PBB
Telah Kehilangan Raison D’Etre-nya
Hajriyanto Y Thohari ;
Wakil Ketua MPR RI
|
KORAN
SINDO, 02 Agustus 2014
Akhir
Juni 2014 yang lalu, tepatnya 21-24 Juni 2014, delegasi pimpinan MPR RI
berkunjung ke Palestina dalam sebuah kunjungan resmi alias ofisial.
Kami
memasuki negara yang sepenuhnya di bawah kekuasaan otoriter rezim
aneksasionis Israel itu melalui Kerajaan Yordania dengan harus melewati
boarder Alenbi, di bawah pengawasan ketat pemerintahan Israel. Kami baru bisa
lolos dari kantor emigrasi setelah mengalami pemeriksaan ketat emigrasi
Israel selama tiga jam lebih. Betapa aneh dan absurdnya memasuki sebuah
negara yang satu (Palestina) melalui pemeriksaan otoritas negara lain
(Israel) yang notabene musuhnya.
Betapa
tragisnya nasib sebuah negara yang tanpa sama sekali memiliki kedaulatan
secara kategoris in optima forma! Saking tidak berdaulatnya apa yang disebut
dengan Negara Palestina itu, sebagai sang tuan rumah tidak bisa dan tidak
boleh menjemput delegasi resmi Indonesia dalam kunjungan yang resmi pula ini!
Kami menginap di sebuah hotel di kota tua Yerusalem (nama lain Baitul Maqdis
atau Al- Quds), yang lokasinya sangat dekat dari al-haram Masjidilaqsha dan
Kubah Shahra’ (Dome of Rock) yang
sangat bersejarah itu.
Sengaja
kami menginap di sana dengan harapan dapat lebih mudah mengunjungi Masjidilaqsha,
masjid suci (Al-Haram Al-Syarif)
ketiga setelah Masjidilharam (di Mekkah al-Mukarramah) dan Masjid Nabawi (di
Madinah Al-Munawwarah), sehingga selalu berkesempatan untuk menunaikan salat
wajib lima waktu secara berjamaah di sana dengan mudah.
Saya
mengalami sendiri dan melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran informasi
selama ini bahwa seluruh akses dan pintu-pintu menuju Masjidilaqsha itu
dijaga dengan ketat oleh tentara Israel. Kami juga baru tahu saat itu bahwa
pada senyatanya hanyalah warga kota Yerusalem yang bisa berkunjung ke
Al-Aqsa.
Sementara
warga Palestina di luar Yerusalem seperti warga Ramallah, Jericho, Betlehem,
dan lain-lainnya, apalagi warga Jalur Gaza seperti Kanyounis yang memang
terisolasi secara mutlak itu, tidak boleh dan tidak bisa memasuki Yerusalem
tanpa izin pihak keamanan Israel bahkan sekadar untuk mengunjungi
Masjidilaqsha sekalipun.
Teknologi
isolasi dengan dinding telah membuat warga Palestina di setiap pemukiman
menjadi seperti dalam kamarkamar penjara raksasa, di mana dinding-dinding
tebal dan setinggi tujuh meter itu sebagai pemisah satu sama lain. Fakta
bahwa dinding itu panjangnya sudah mencapai 970 km adalah bukti warga
Palestina hidup dalam penjara Israel.
Semua Ingin Damai
Agenda
kami di Palestina adalah di samping mengadakan pertemuan bilateral dengan
Ketua dan Pimpinan Parlemen, Perdana Menteri, keduanya di Ramallah, dan ketua
Juru Runding Palestina Saeb Erakat di Jericho, juga melakukan kunjungan
kehormatan kepada Presiden Palestina Mahmud Abbas juga di Ramallah.
Adalah
sangat menarik bahwa dari serangkaian pertemuan-pertemuan tersebut kami
mendapatkan kesan dan kesimpulan akan besarnya semangat serta optimisme para
pemimpin Palestina untuk tercapainya perdamaian abadi dengan bangsa Yahudi,
Israel. Mereka menyatakan bahwa seluruh pemimpin Palestina dan dunia
internasional mendukung perdamaian Palestina-Israel.
Sambil
berseloroh Presiden Mahmud Abbas mengatakan hanya tiga orang saja yang tidak
menginginkan perdamaian, yaitu Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu,
menteri pertahanan Israel, dan menteri perumahan Israel. Maka sungguh saya
terkejut dan hampir tidak percaya ketika tidak lebih dari sepekan berselang
sepulang kami dari Palestina, terjadi serangan besar-besaran yang brutal
dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina di Gaza.
Bahkan,
serangan itu sedemikian brutalnya sampai membunuh lebih dari 1.115 warga
Palestina yang tidak berdaya, termasuk di dalamnya kaum perempuan dan
anak-anak. Sementara dunia internasional tidak berhasil sama sekali
menghentikan serangan Israel yang tidak seimbang itu. Alhasil, yang terjadi
sekarang ini bukanlah perang, melainkan serangan agresi sepihak.
Pasalnya,
perang ini bukan antara dua negara yang seimbang, melainkan ”perang” antara
sebuah negara yang berdaulat dan warga negara atau masyarakat dari sebuah
negara yang tidak memiliki tentara atau angkatan bersenjata. Memang benar ada
serangan-serangan roket dari Gaza, tetapi itu sifatnya sangat-sangat sporadis
dan insidental karena memang Jalur Gaza itu tanpa sumber daya dan luasnya
cuma sepanjang 40 km (sebanding jarak Jakarta-Bogor).
Sangat meyakinkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah kehilangan alasan kehadiran (raison d’etre)-nya jika benar-benar
tidak bisa menghentikan agresi dan kekejaman Israel terhadap Bangsa Palestina.
Kekejaman Israel telah melampaui ambang batas peradaban umat manusia abad
modern abad ke- 21. Pasalnya, apa yang dilakukan oleh Israel telah menjurus
pada pembantaian atau genosida terhadap eksistensi bangsa Palestina.
PBB bukan hanya
harus bisa menghentikan pembantaian tersebut, melainkan harus bisa membawa
Israel ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional atau International
Tribunal. Sudah sangat terlambat bagi PBB untuk segera mengirimkan pasukan
internasional di bawah payung PBB untuk menghentikan paksa pembantaian
kemanusiaan di Jalur Gaza, sebuah perkampungan mini yang sangat kecil itu.
Jika langkah-langkah
itu tidak bisa diambil dan dilakukan, sungguh PBB benar-benar telah
kehilangan raison d’etre atas
kehadirannya. PBB kehilangan sama sekali alasan kehadiran alias omnipresencenya.
Pasalnya, tindakan rezim pemerintahan Israel yang sudah memakan korban tewas
menembus angka ribuan warga Palestina, bahkan ratusan anakanak dan perempuan
yang tidak berdaya itu, sungguh telah mencoreng peradaban modern yang
bercirikan penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan manusia atau hak-hak
asasi manusia (HAM).
Saya
rasa peradaban modern yang ditulangpunggungi peradaban (bangsa-bangsa) Barat,
sekarang ini telah mengalami kebangkrutan yang luar biasa karena telah
membiarkan sebuah pembantaian terjadi di depan matanya dan di bawah restunya.
Negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, sebagai penguasa dunia
sekarang ini seharusnya malu hati menyaksikan kejahatan kemanusiaan itu
terjadi di depan hidungnya sendiri.
Padahal,
mereka nyata-nyata memiliki kekuatan untuk menghentikan Israel. Dan, PBB pada
hakikatnya adalah proyek negara-negara Barat pascaperadaban imperialisme yang
juga dilakukan oleh orang-orang Barat pula. Dalam konteks dan perspektif ini
maka Organisasi Nonblok dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) mutlak harus
mendesak PBB untuk segera menjatuhkan hukuman kepada Israel.
Jika tidak, saya
yakin OKI dan Nonblok juga bisa kehilangan argumen atas kehadiran dirinya di
dunia beradab sekarang ini. Nonblok yang dipimpin oleh Iran yang
selama ini dikenal keras kepada Barat, dan OKI yang dipimpin oleh Turki dan
Arab Saudi yang dikenal sangat-sangat dekat dengan negara-negara Barat,
terutama Amerika Serikat (AS) seharusnya bisa berbuat sesuatu serta malu hati
membiarkan kekejaman Israel atas bangsa Palestina yang tidak berdaya sekarang
ini.
Indonesia yang–benar
atau salah juga dikenal dekat dengan negara-negara Barat penguasa sejati
dunia sekarang ini, sudah waktunya untuk mengambil posisi aktif mendesak OKI
dan Nonblok untuk memberikan ultimatum kepada PBB untuk mengambil langkah apa
pun demi menghentikan secara kategoris pembantaian manusia di Gaza itu.
Langkah
Indonesia itu bukan hanya merupakan imperativum konstitusi UUD 1945,
melainkan juga pengejawantahan dari nilainilai Pancasila, terutama Sila Kedua
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Apa
pun alasannya, tindakan Israel yang sudah membunuh ratusan warga Palestina
itu bukan hanya melawan HAM, melainkan juga langsung menohok nilai-nilai
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar