Menjadi
Manusia
Ida Bagus ;
Bekerja sebagai Pengawas
Sekolah Dasar
|
KORAN
JAKARTA, 02 Agustus 2014
Bangsa Indonesia sebentar lagi, pada 17 Agustus, memperingati
Hari Kemerdekaan. Usia Indonesia sudah mencapai 69 tahun, sebuah masa yang
lumayan tua untuk ukuran manusia. Pertanyaannya, benarkah manusia Indonesia
sudah merdeka di saat negaranya merdeka selama hampir tujuh puluh tahun?
Peringatan hari kemerdekaan menjadi saat yang tepat untuk
merenungkan apakah manusia Indonesia sudah merdeka, dalam artian terbebas
dari kebodohan, kemiskinan, dan rasa takut. Bebas dari kebodohan telah lama
diupayakan. Semoga saja semakin banyak rakyat menikmati pendidikan. Namun,
pendidikan macam apa yang mereka nikmati? Sekolah yang baik semakin mahal,
dan dari waktu ke waktu tambah menjauh dari jangkauan orang tua, sehingga
tidak mampu memasukkan anak ke lembaga pendidikan formal yang bermutu.
Kelemahan orang tua Indonesia hanya mampu menyekolah anak di
lembaga pendidikan yang pas-pasan mutunya. Padahal orang tua yang baik
seharusnya menyekolahkan anak ke tempat yang paling berkualitas. Jadi,
seharusnya orang tua menyekolahkan berdasarkan kemauan (ke tempat terbaik),
bukan berlandaskan kemampuan (karena tidak ada uang). Itulah problem utama
kebanyakan orang tua: hanya mampu menyekolahkan anak di tempat yang
terjangkau kantongnya.
Bahkan sekolah gratis pun bukan lantas membebaskan beban orang
tua karena masih banyak biaya “tetek bengek” sepanjang tahun. Untuk ini pun
banyak orang tua yang tidak mampu, kembang kempis, dan menyerah. Dengan kata
lain, tidak hanya dibutuhkan sekolah gratis untuk membebaskan manusia
Indonesia dari kebodohan, tetapi juga perlu meningkatkan penghasilan orang
tua agar mampu membiayai keperluan “ini itu” di luar biaya sekolah yang sudah
digratiskan pemerintah.
Namun, sampai kini, kondisi sekolah masih banyak yang
memprihatinkan. Tak mengherankan kalau di dunia maya muncul “gugatan” dengan
munculnya “Sekolah Layak Indonesia.” Ini sebenarnya sebuah ajakan
menyampaikan kondisi sekolah yang tidak layak. Tujuannya tentu, dengan
diunggah, akan mendapat respons pemerintah untuk segera diperbaiki. Benar
saja, tak berapa lama, begitu banyak bermunculan gambar sekolah yang reyot
dan sungguh-sungguh tidak layak pakai.
Kemerdekaan selanjutnya adalah tema yang dekat dengan problem
bebas dari kemiskinan. Dua hal ini bagaikan sekeping mata uang. Di satu sisi
ada kemiskinan, di bagian lain terdapat kebodohan. Kemiskinan, walau tidak
mutlak, bisa bersumber dari kebodohan. Pendeknya, memerdekakan kebodohan
harus simultan dengan pemberantasan kemiskinan. Proyek mengatasi kemiskinan
harus sejalan dan satu paket dengan penghapusan kebodohan.
Inilah problem berat Pemerintah Indonesia dari rezim ke rezim.
Pemerintah berganti rezim, jumlah orang miskin tidak banyak berkurang.
Demikian juga dengan program pendidikan demi mengeliminasi kebodohan. Padahal
menurut tokoh pendidikan yang lahir di Brasil, Paulo Freire, hanya melalui
pendidikan, orang dapat dibebaskan dari kebodohan dan kemiskinan. Itulah yang
dimaksud dengan pendidikan yang membebaskan.
Yang tak kalah dalam refleksi manusia merdeka adalah bebas dari
rasa takut. Sebab secara dasariah, pertama-tama, merdeka bisa bermakna bebas
dari rasa takut. Jadi, dalam arti tertentu, inilah dasar dari segala
kebebasan. Dalam situasi ketakutan, manusia sulit melakukan sesuatu. Dengan
kata lain, hanya dalam rasa aman seseorang bisa bertindak dan berpikir
tenang. Rasa takut membuat pikiran tumpul dan tidak produktif.
Paling Hakiki
Oleh karena itu, sebelum membebaskan yang lain, beri dulu bangsa
ini merdeka dari rasa takut. Saat ini, rasanya masih banyak warga yang
mengalami ketakutan. Masih ada yang belum bebas dari rasa takut menjalankan
hak yang paling hakiki, melaksanakan aktivitas religius sesuai dengan
pahamnya. Inilah kemerdekaan asasiah yang belum terpenuhi untuk sebagian
warga. Dengan bahasa lain, masih ada bangsa yang sudah merdeka lama tapi
tetap berada dalam “ketidakmerdekaan” batiniah.
Jaminan yuridis memang ada dalam undang-undang dasar bahwa
setiap orang bebas melaksanakan aktivias religius. Dalam arti sesungguhnya,
inilah hak asasiah yang paling hakiki. Kurang apa lagi penjelasannya kalau
sudah merupakan “hak asasiah yang hakiki”. Ini berarti, tidak ada yang lebih
asasi atau lebih hakiki dari kebebasan melaksanakan paham religius seseorang,
apa pun bentuk keyakinannya.
Gangguan melaksanakan hak asasi yang paling hakiki–sangat
disayangkan–kadang datang dari sesama yang mengaku kaum beragama juga. Lebih
disayangkan lagi, sering kali negara tidak banyak mencegah atau bertindak
sehingga orang lain “bebas” menghalangi, mengintimidasi, sampai berbuat
kekerasan terhadap sesama yang akan melaksanakan hak hakikinya: aktivitas
religius. Kondisi seperti ini masih sering terjadi. Andai situasi demikian
tidak dapat diselesaikan, sebagian bangsa ada yang akan terus merasa takut.
Itulah sebagian yang harus diselesaikan bangsa demi mencapai
manusia merdeka. Peringatan kemerdekaan kali ini, kalau disimak, bisa menjadi
momen mencairkan segala bentuk “ketidakmerdekaan” dari rasa takut. Sebab
bangsa Indonesia baru saja merayakan Idul Fitri, momen untuk saling memaafkan
dan minta maaf. Karena itu, Lebaran yang penuh maaf, dilanjutkan peringatan
kemerdekaan, sungguh saat yang indah bagi mencapai manusia Indonesia yang
merdeka lahir batin.
Manusia yang mencapai kemerdekaan lahir batin sangat mendasar
bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan kondisi seperti itu, hidup menjadi sangat
bergairah. Dampak ikutannya, produktivitas menjadi lebih tinggi. Mari
bebaskan bangsa ini dari keterkungkungan ketakutan mulai dari merefleksikan
diri: apakah sikap, perilaku, dan hidup kita berperan bagi semakin merdekanya
manusia, atau justru sebaliknya, sikap dan perilaku kita menambah orang
semakin hidup dalam ketakutan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar