Minggu, 24 Agustus 2014

Legawa

                                                                    Legawa

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 24 Agustus 2014

             

ROMO Imam punya mainan baru: gadget dengan perangkat BlackBerry Messenger. Dia meminta saya menghubungi untuk sekedar latihan. Setelah perangkat saya tersambung, saya pun menulis asal-asalan tanpa mikir: "Rahajeng Romo, salam buat Mas Prabowo."

Saya lupa apa yang saya tulis ketika Romo membalasnya: "Ah, jangan ngomongin Prabowo. Dia harus dikasihani. Dia sudah berjuang keras membesarkan partainya. Masyarakat pun menaruh harapan karena partainya nasionalis dan bisa jadi alternatif dari partai-partai nasionalis lainnya. Dia hanya salah cari dukungan ketika ingin menjadi presiden. Dia dijerumuskan oleh partai yang berasaskan agama. Dan semakin terjerumus ketika masuk pengacara yang memang sudah tabiatnya suka memanas-manasi demi numpang popularitas."

Waduh, Romo menulis pesan kok seperti menulis artikel, saya membatin. Saya merespons pendek dengan niat Romo mencontoh pesan saya: "Terus saran untuk Prabowo, apa?"

Setelah lama menunggu, datang balasan. Woo, tetap panjang: "Prabowo harus legawa menerima keputusan Mahkamah Konstitusi. Jika ia menuruti saran pengacara menggugat lewat PTUN dan Pengadilan Negeri, itu tak ada gunanya. Tak ada kaitan dengan sah-tidaknya presiden terpilih menurut konstitusi. Obyek gugatannya hanya ke Komisi Pemilihan Umum. 

Pengacara itu biasa menafsirkan hukum dengan tujuan memperpanjang perkara, itu kan ladang penghasilannya. Yang rugi Prabowo namanya semakin jelek. Semakin berlama-lama semakin terpuruk, dia dan partainya pun bisa ditinggal rakyat. Sekarang saja banyak yang menyesal memilih dia. Semua sudah selesai. Titik."

Karena Romo menulis "titik", saya maunya tak menjawab. Tapi, takut dikira pesannya tak sampai, saya pun menulis: "Baik, Romo, saya setuju." Eh, Romo membalas lagi, tetap panjang: "Prabowo harus mengucapkan selamat kepada Jokowi, itu etika seorang kesatria, meski siap berada di luar pemerintahan. Koalisi permanen tak usah dilanjutkan karena memang beda betul asas dan perjuangan partainya. Lebih baik konsolidasi partai, siapkan kader yang baik untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden yang serentak lima tahun lagi. Prabowo tak perlu maju. 

Jika kadernya berhasil lolos, apalagi memenangi presiden, dia yang dapat nama dan bisa jadi penentu kebijakan. Sapa rakyat dengan hati, bukan diajak turun ke jalan-jalan mengganggu pemerintahan. Aksi jalanan sudah kuno. Rakyat membutuhkan aksi bersama, ke desa menanam pohon, memperbaiki irigasi, membina pengusaha kecil, dan seterusnya. Sebagai mantan Ketua Kerukunan Tani dan Nelayan, Prabowo tahu itu."

Sekarang saya sudah tak berniat menjawab Romo Imam. Toh, dia sudah tahu cara menulis dan mengirimnya. Tak sangka, sejam kemudian masuk lagi pesannya. "Selamat untuk Jokowi dan Jusuf Kalla. Saya kira Jokowi akan pusing antara memilih menteri profesional dan menjaga suasana kebatinan para pimpinan partai koalisinya. Sekarang ini, siapa sih yang tak ingin jabatan? Biarkan Jokowi bekerja, mari kita dukung. Oya, SBY bagaimana? Katanya sering menulis di Twitter. Ajari dong Romo ngetuit."

Saya kaget. Bukan soal Jokowi, tapi yang terakhir itu. Langsung saya jawab: "Romo jangan ikut-ikutan ngetuit, bikin pesan BBM saja kepanjangan. Ngetuit itu terbatas kata-katanya. Salah menyingkat bisa muncul salah paham. Nanti Romo bisa dipanggil mas atau kamu, belum lagi ketemu kata-kata kasar, kan banyak yang nama jadi-jadian. Risiko besar kalau ulama seperti Romo punya akun Twitter, nanti di-bully." Saya tak tahu apakah Romo Imam paham apa yang saya maksudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar