Ketupat
Habis, Dosa-Dosa Habis
Mohamad Sobary ;
Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 31 Juli 2014
Apakah
yang kita kenang di akhir bulan suci Ramadan? Takbiran yang menggema di
masjid-masjid. Ini bukan sekedar “perayaan” atas kemenangan kita dalam
perjuangan yang menggelora, berat tapi menggembirakan, selama sebulan penuh
menjalani dengan sikap patuh, kewajiban berpuasa, kewajiban orang-orang
beriman.
Puasa
tugas hidup karena iman, demi iman, untuk iman. Dan ketika tugas berakhir,
kita menang, dengan sendirinya kita berbahagia. Takbiran pada malam Lebaran
juga merupakan “proklamasi”, kepada dunia bahwa, dengan rasa syukur pula,
sebagai orang-orang beriman, kita telah mencoba sekuat tenaga dengan rasa
tulus, untuk taat pada ajaran mulia yang kita tradisikan.
Tak
mengherankan pula bila apa yang telah menjadi tradisi itu melahirkan pula
“tradisi” lain: takbiran bukan hanya di masjid, tetapi di jalan-jalan pula,
sambil keliling kampung, keliling kecamatan, keliling kabupaten, keliling
provinsi, untuk meneriakkan rasa syukur itu. Lalu kita pun bicara pula
“syiar” Islam.
Rasa
syukur dan syiar bergabung menjadi satu, sehingga pada malam Lebaran kita
menaiki mobil dengan bak terbuka, keliling kota, dengan takbiran dan
bunyi-bunyi beduk bertalu-talu. “Allahu Akbar, Allahu Akbar”... “Dung, dung,
dung, dung ...” saling menimpali, saling melengkapi, begitu gemuruh, begitu
bising, tapi kita, yang masih berusia “bocah” tak merasa adanya kebisingan.
Orangorang
dewasa, yang merayakan kegembiraan pada malam Lebaran secara mendalam, yang
mengutamakan kegembiraan dalam suasana khusyuk di lubuk hatinya tak
memerlukan bunyi-bunyian. Tapi orangorang dewasa, kaum tua, dulu juga muda,
dulu pernah remaja. Dengan begitu, kegembiraan yang bising itu mereka terima
tanpa keluhan, tanpa celaan. Anak adalah anak.
Mereka
bising di masjid bukan demi kebisingan itu semata, tetapi semoga demi latihan
menghayati iman. Mereka bising di jalan-jalan, keliling kota, bukan untuk
pamer, bukan untuk hurahura, melainkan untuk ekspresi iman yang lebih luas.
Pendeknya, semoga itu juga demi kebaikan kita semua.
Mungkin
pelan-pelan patut diberitahukan bahwa takbiran dengan genderang dan beduk
dari masjid yang besar itu, yang diangkut di atas mobil dengan bak terbuka
dan dipukuli di sepanjang, jalan, ada yang tampak rentan bahaya, bisa
mengguling dan jatuh di atas aspal.
Apa
yang baik bagi mereka, dengan demikian mungkin hanya baik bagi mereka
sendiri. Ini, pelan-pelan, disosialisasikan pada mereka, agar gembira tak
berlebihan, sukuran tak usah bising, dan “proklamasi” atas kemenangan tak
usah diungkapkan dengan cara yang bisa menimbulkan risiko. Takbiran pada
malam Lebaran gambaran kemenangan hati, boleh juga disebut kemenangan jiwa,
yang tak usah diluapkan ke luar.
Kemenangan
jiwa sering tak lama. Beberapa saat yang lalu kita menang, secara tak terduga
sama sekali kita tergoda ambisi, atau nafsu, dan tiba-tiba, secara mendadak
kita terpeleset ke dalam kekalahan. Perjuangan hati, kemenangan di dalamnya,
sering hanya sesaat. Dan kita sering tak tahu bagaimana menjaganya. Orang
yang lebih bijak selalu tampil membawa solusi: menang ya menang, gembira ya
gembira, syukur ya syukur.
Tak
layak kita merayakannya dengan cara yang tak ada hubungannya dengan iman.
Kita diminta merayakan kemenangan dengan cara orangorang beriman. Sukuran
dengan cara orang beriman? Sukuran yang dalam, yang tunduk, dan tak usah
diramai- ramaikan, agar tak terasa adanya efek ria, pamer,yang bahkan bisa
merusak rasa syukur itu sendiri. Allahu Akbar itu biarlah menggema ke dalam
saja, ke lubuk hati, tempat di manacahaya ilahi, danimankita, bersemayam.
Boleh,
dengan sendirinya, digemakan ke luar. Itu namanya “syiar” Islam tadi. Tapi,
gema ke dalam tak boleh dilupakan. Ini gema yang rendah hati. Gema yang jauh
dari unsur ria, dan pamer: gema jiwa yang tunduk, yang tak perlu pujian,
karena dalam tunduk, dalam ketulusan, kita menyerahkan segala, tapi juga
menerima segalanya. Kita tahu bahwa dengan begitu Allahu Akbar tidak untuk
mengancam orang lain, tidak untuk menggemakan kemarahan yang meluap.
Allahu
Akbar itu penyerahan diri, tanda kita kecil, kecil sekali, seperti sekeping
debu di lautan padang pasir gurun Sahara. Kita bukan apa-apa. Dari bukan
apa-apa itu kita saling memaafkan, saling mendoakan. Dan di rumah-rumah kaum
muslimin dan muslimat yang bersyukur, tersedia ketupat. Kita telah
menggunakannya sebagai simbol makanan Lebaran. Kita sajikan ketupat untuk
semua saudara, handai tolan, sahabat-sahabat, dan kenalan. Kita makan ketupat
dalam suasana rukun dan damai.
Kita
memohon maaf, lahir dan batin, dengan tulus, bukan basa basi bukan sekedar
memenuhi tradisi, bukan pantas-pantasan. Ini bagian dari intinya inti Hari
Raya Idul Fitri. Kita mohon dan memberi maaf untuk kembali kembali ke
kehidupan suci, tanpa dosa, bagaikan bayi yang baru lahir. Betapa agung isi
ajaran itu. Dosa bisa hilang karena saling memaafkan dengan tulus. Kekotoran
jiwa bisa bersih kembali.
Dan
kita berkecenderungan bersih. Kita berubah menjadi semakin baik, semakin
tulus, dan bahwa hidup ini bukan untuk main-main. Kita sajikan ketupat dan
lauk-pauknya. Kita santap bersama dengan rasa syukur. Kita ikhlaskan semua
ketupat habis. Ketupat dibuat untuk dimakan, dan dihabiskan.
Dan
bersama habisnya ketupat itu, kita maaf memaafkan tadi, untuk membikin
kejernihan hati, untuk pemurnian hidup kita. Murni, kembalikepada fitrahnya,
kembali pada keadaan tanpa dosa, seperti saat diciptakan, lalu dilahirkan di
bumi. Ketupat kita sajikan dan habis, dosa-dosa kita pun lenyap, habis tanpa
sisa.
Kita
kembali ke fitri, fitrah, keaslian. Dan, satu lagi harapan: semoga kita
dipertemukan kembali dengan bulan suci Ramadan tahun depan, tahun berikutnya,
dan berikutnya lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar