Kegalauan
Sekolah Swasta
Paulus Mujiran ; Pendidik; The
Dickstra Syndicate Semarang
|
KOMPAS,
04 Agustus 2014
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam
kunjungannya ke Jawa Timur, baru-baru ini, menegaskan larangan bagi sekolah
melakukan pungutan pendidikan dalam bentuk apa pun kepada siswa ataupun
orangtua/wali dalam proses penerimaan siswa baru 2014/2015.
Pernyataan Mendikbud ini menegaskan masih terdapat pungutan, terutama
di beberapa sekolah. Permendikbud No 60/2011 yang jadi dasar larangan
pungutan itu berlaku bagi sekolah negeri dan swasta yang menerima dana
bantuan operasional pendidikan (BOS). Alasan Nuh, dengan melarang pungutan,
pemerintah berkomitmen menyelenggarakan pendidikan gratis dan murah. Sekolah
tidak boleh menarik pungutan dalam bentuk apa pun kecuali sumbangan.
Namun, larangan menarik pungutan ini sama halnya dengan
mematikan sekolah swasta. Sekolah swasta menerima pukulan paling telak dengan
kebijakan tidak membolehkan pungutan itu.
Pungutan seragam dan buku lembar kerja siswa (LKS) boleh
dilakukan. Namun, pungutan untuk pembangunan gedung, administrasi
pendaftaran, masa orientasi, ekstra kurikuler, laboratorium, dan ujian
dilarang. Terhadap peraturan yang memberatkan ini, sekolah swasta merasa
diperlakukan tidak adil.
Ada beberapa alasan mengapa sekolah swasta semakin tertekan
akibat perlakuan tidak adil ini. Pertama, bagi sekolah swasta, pungutan
menjadi napas hidup utama. Sejak awal, sekolah swasta mengembangkan komitmen
dengan siswa dan orangtua/wali untuk bersama-sama menanggung biaya
pendidikan.
Hampir semua kegiatan sekolah swasta didanai dari pungutan,
mulai dari pembangunan/renovasi gedung sekolah, gaji guru, biaya perawatan
gedung, hingga sarana prasarana pembelajaran. Sementara dana BOS yang
rata-rata Rp 1 juta per siswa selama setahun tidak mencukupi untuk menutup
seluruh biaya operasional sekolah.
Sekolah swasta memiliki peran yang tidak dapat diabaikan begitu
saja dalam mencerdaskan anak-anak bangsa di Tanah Air. Keberadaan mereka
bahkan sudah ada sebelum kemerdekaan.
Pada masa lalu, sekolah swasta hadir menggantikan peran negara,
yakni ketika negara belum berhasil menghadirkan wajah pendidikan bagi
anak-anak bangsanya. Peran sekolah swasta ditegaskan oleh Keputusan Mahkamah
Konstitusi terhadap uji materi UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. MK menyatakan, ”Lembaga pendidikan berbasis masyarakat wajib
memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, serta sumber daya lain secara adil
dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.”
Kedua, Pasal 3 Permendikbud
No 60/2011 tegas menyatakan, sekolah dilarang memungut biaya investasi
dan biaya operasi dari peserta didik, orangtua, atau walinya. Pada Pasal 4
juga dinyatakan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat dilarang
melakukan pungutan kepada peserta didik dan orangtua/wali yang tidak mampu
secara ekonomi. Bahkan, Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan, sekolah swasta yang
menerima BOS tidak boleh memungut
biaya operasi. Masalahnya,
tidak semua sekolah punya sumber pendanaan mandiri sehingga di samping
menerima BOS harus memungut dari siswa dan orangtua/wali.
Terancam gulung tikar
Terhadap aturan itu, sekolah swasta mempunyai ”dosa turunan” dan
beban moral, kecuali pemerintah mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan
sekolah swasta. Semangat pemerintah yang suka melarang, mencerminkan rezim
tiran yang marjinal. Beberapa sekolah swasta elite pun mulai mengeluhkan
sulitnya mendapatkan murid karena para calon siswa berbondong-bondong ke
sekolah negeri. Sekolah negeri pun tak kurang akal, dengan menerima murid
sebanyak-banyaknya agar penerimaan dana BOS kian besar. Sebab, makin banyak
murid, berarti dana BOS makin besar.
Menjadi persoalan sebab masyarakat tahunya pendidikan jenjang SD
dan SMP adalah murah sehingga mereka tidak mengerti kalau di sekolah swasta
dipungut biaya. Di tahun ajaran baru seperti sekarang ini, sekolah swasta
benar-benar dihajar habis-habisan. Promosi dana BOS dan sekolah murah
menampar keberadaan sekolah-sekolah swasta.
Dampak dari perlakuan itu, banyak sekolah swasta gulung tikar
karena tidak mempunyai murid. Banyak siswa lebih suka masuk ke sekolah negeri
karena murah. Di sinilah kesulitan sekolah swasta. Jika melakukan pungutan
dianggap melanggar aturan, sementara jika tidak memungut nasib sekolahnya
kian buram. Begitu pun soal peluang guru mendapatkan sertifikat profesional
dan tunjangan profesi, ternyata lebih mudah di sekolah negeri.
Pemerintah pun seperti tidak peduli dengan membiarkan sekolah swasta
sekarat dan terkapar satu per satu. Genderang kematian sekolah swasta tengah
ditabuh. Kita mencemaskan komitmen negara yang makin abai dan lalai dalam
mendukung sekolah-sekolah swasta yang jasanya terbilang tidak kecil pada masa
lalu.
Sekolah swasta menantikan ”malaikat” yang mampu menjadi juru
selamat. Pemerintahan baru hasil Pilpres 2014 diharapkan lebih peduli dan
mengerti tangisan sekolah swasta. Harus dicatat, memarjinalkan sekolah swasta
berarti melupakan jasa mereka dalam mendidik di masa silam. Alasan pembenar
bahwa pendidikan merupakan urusan negara justru menutup peran serta
masyarakat. Kegalauan sekolah swasta harus dicarikan terobosan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar