ISIS,
“Khilafah”, dan Indonesia
Azyumardi Azra ;
Guru Besar Sejarah;
Direktur SPS UIN Jakarta; 2014 Fukuoka Prize Laureate
|
KOMPAS,
05 Agustus 2014
ISLAMIC State of Iraq and Sham/Syria kini tidak hanya mengancam
eksistensi Irak dan Suriah, tetapi dalam batas tertentu mungkin juga
Indonesia.
Ini terlihat dari beredarnya video Islamic State of Iraq and Sham/Syria (ISIS) di Youtube pasca Idul
Fitri lalu di mana seorang Abu Muhammad al-Indonesi dengan berapi-api
memprovokasi warga Muslim Indonesia untuk menyertai ”jihad” ISIS di Levant
(Irak dan Suriah). Dikelilingi beberapa orang berwajah Indonesia bersenjata
lengkap, video itu jelas memperlihatkan keterlibatan sejumlah Muslim Indonesia
di medan perang ISIS.
Keterlibatan segelintir warga Indonesia dalam aksi pergolakan (insurgencies) di luar negeri bukan hal
baru. Menurut laporan berbagai sumber, ada 30-an atau 50-an warga Indonesia
yang turut dalam aksi kekerasan ISIS. Mereka agaknya semula bergabung dengan barisan perlawanan
bersenjata terhadap Presiden Bashar al-Assad di Suriah.
Preseden keterlibatan warga Indonesia dalam aksi bersenjata bisa
ditemukan sejak 1985-an dalam perang di Afganistan dan konflik di Pakistan.
Sejumlah warga Indonesia juga dilaporkan berlatih kemiliteran di Libya.
Kembali ke Tanah Air, di antara mereka ada yang melakukan kekerasan dan teror
yang marak sejak awal 2000-an. Modus, pola, dan dampak yang muncul dari
keterlibatan warga Indonesia terhadap kehidupan agama, sosial, dan politik di
Tanah Air bisa terlihat. Meski gagal merekrut warga Muslim Indonesia dalam
jumlah besar untuk mendukung aksi dan tujuan mereka, kelompok-kelompok ini
mendorong peningkatan intoleransi dan radikalisasi yang dengan cepat bisa
jadi terorisme di Tanah Air.
Instabilitas politik dan
ISIS
Bisa dipastikan, kemunculan ISIS terkait dengan ketidakstabilan
(instabilitas) politik dan keamanan di negara-negara Arab. Menurut sebuah
teori sosiologi politik, tatkala negara lemah—tidak mampu memelihara
stabilitas politik dan keamanan—saat itu pula aktor dan kelompok non-negara
menguat untuk menguasai wilayah yang vakum dari kekuasaan negara.
Dunia Arab atau Timur Tengah secara keseluruhan merupakan salah
satu wilayah regional paling tak stabil sejak Perang Dunia II usai. Sejak
masa itu sampai kini, wilayah ini hampir selalu jadi pusat pergolakan politik
dan kekerasan. Faktor utamanya konflik Palestina-Israel, pertarungan dan
kontestasi di antara negara Arab sendiri, serta konflik politik domestik di
banyak negara Arab antara rezim otoritarisme dan gerakan Islamis seperti
Ikhwanul Muslimin dan berbagai kelompok sempalannya serta kaum Salafi.
Puncak instabilitas Dunia Arab dewasa ini bermula dengan serbuan
Amerika Serikat dan sekutu ke Irak untuk menjatuhkan Presiden Saddam Hussein,
Maret 2003. Sejak saat itu Irak berubah dari salah satu negara terkuat di
Timteng menjadi wilayah paling tidak stabil yang membara dengan konflik
sektarianisme religio-politik. Mundurnya pasukan AS dan sekutu berikut
terbentuknya pemerintahan Irak (kini di bawah PM Nuri al-Maliki) membuat
kondisi Irak kian memburuk; memberi banyak ruang bagi kemunculan kekuatan
aktor non-negara yang umumnya kelompok radikal paramiliter.
Instabilitas Dunia Arab meningkat ketika transisi menuju
demokrasi yang secara signifikan bermula sejak awal 2011. Transisi demokrasi
tak hanya merontokkan negara-negara kuat di Dunia Arab seperti Mesir, Libya,
dan Suriah, tetapi juga gagal mewujudkan keseimbangan (equilibrium) baru yang
krusial untuk mewujudkan stabilitas politik, sosial, dan agama.
ISIS lahir dari instabilitas politik, sosial, dan agama. Ketika
gelombang demokrasi sampai ke Suriah, berkecambahlah berbagai kelompok
oposisi; sebagian murni gerakan ”pro demokrasi”, lebih banyak lagi kelompok
militan-radikal dengan semangat sektarianisme keagamaan bernyala-nyala.
Kelompok-kelompok terakhir awalnya mendapat bantuan dana dan persenjataan
dari Arab Saudi, Qatar, Uni Eropa, dan bahkan AS. Negara-negara ini kemudian
menghentikan bantuan karena ternyata kelompok paramiliter yang mereka bantu
sangat divisif dan sebagian berafiliasi dengan Al Qaeda. Hasilnya,
kelompok-kelompok paramiliter gagal menumbangkan rezim Assad yang ternyata
cukup tangguh karena juga dibantu paramiliter Hezbollah. Sejak awal 2013,
ISIS berhasil mengonsolidasikan berbagai kelompok radikal yang berkonflik
satu sama lain untuk mengalihkan target: menguasai wilayah Suriah bagian
timur dan Irak bagian barat yang tak bisa dikuasai efektif oleh pemerintah
Damaskus dan Baghdad.
”Khilafah” utopian
Menguasai wilayah-wilayah tersebut, ISIS mendeklarasikan entitas
politik baru yang mereka sebut sebagai khilafah. Menggunakan sentimen
sektarianisme Sunni versus Syiah dan khilafah sebagai entitas politik
pemersatu umat Islam sedunia, ISIS menyeru kaum Muslim sedunia—termasuk
Indonesia—untuk mendukung dan bergabung dengan mereka.
Seruan ISIS itu memiliki potensi mendapat sambutan dari kalangan
Muslim awam yang tak paham geopolitik Dunia Arab, khususnya Irak dan Suriah.
Atau orang-orang Muslim yang memegang idealisme utopian tentang kesatuan umat
Islam sedunia di bawah satu entitas politik tunggal khilafah tanpa memahami
konsep khilafah itu sendiri beserta implikasi dan konsekuensinya. Meski ada
potensi ISIS bisa merekrut segelintir Muslim dari berbagai penjuru dunia,
pada saat yang sama ISIS mengandung lebih banyak potensi mendapat perlawanan
dari mayoritas terbesar umat Islam. Hal ini terkait terutama dengan paham
keagamaannya yang bersifat ”ultra-puritan” yang bahkan jauh lebih ekstrem
daripada paham Wahabiyah.
Memegang paham keagamaan ”ultra-puritan”, ISIS menghancurkan
banyak masjid di wilayah yang mereka duduki, dengan alasan masjid-masjid itu
jadi ”tempat pemujaan” berbau musyrik yang bertentangan dengan akidah tauhid.
Dengan paham keagamaan ”ultra-puritan”, ISIS berniat menghancurkan Kabah di
Mekkah yang menurut mereka telah menjadi pusat pemujaan kemusyrikan.
Harus diakui masih ada kalangan umat Islam di berbagai penjuru
dunia yang mengimpikan khilafah. Bagi mereka, khilafah adalah satu-satunya
institusi atau entitas politik yang bisa mempersatukan umat Islam seluruh
dunia. Menurut mereka, hanya dengan khilafah, umat Islam sedunia dapat
mengatasi masalah semacam keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran, dan
berbagai bentuk kenestapaan lain. Karena itulah dari waktu ke waktu selalu
ada kelompok di kalangan umat Islam yang mengorientasikan cita gerakan mereka
untuk pembentukan khilafah. Di antara
mereka ada yang bergerak secara damai atau kekerasan seperti ISIS.
Padahal, konsep khilafah itu sendiri problematis dan utopian.
Terdapat banyak perbedaan konsep dan praksis khilafah di antara para pemikir
Muslim penggagasnya sejak dari Jamaluddin al-Afghani, ’Abdul Rahman
al-Kawakibi, Abu al-A’la al-Mawdudi, sampai Taqiuddin al-Nabhani.
Utopianisme khilafah juga terletak pada kenyataan bahwa kaum
Muslim di berbagai kawasan telah mengadopsi negara-bangsa berdasarkan
realitas bangsa dengan tradisi sosial, budaya, dan agama distingtif; wilayah
geografis; dan pengalaman historis berbeda. Karena itu, ”unifikasi” seluruh
wilayah Dunia Muslim di bawah kekuasaan politik tunggal merupakan angan-angan
belaka.
Khilafah jelas tak relevan dengan umat Islam Indonesia.
Ormas-ormas Islam Indonesia pernah membentuk Califat Comite seiring penghapusan ”khilafah” di Turki pada 1924
oleh kaum Turki Muda; mereka bermaksud membela dan menuntut agar ”khilafah”
di Turki dihidupkan kembali. Merespons gejala ini, ”the grand old man” Haji Agus Salim menyatakan komite itu beserta
khilafah tak relevan dengan Indonesia. Menurut dia, apa yang disebut
”khilafah” di Turki adalah kerajaan despotik dan korup yang tak perlu dibela
apalagi diikuti umat Islam Indonesia. Pasca Califat Comite, khilafah hampir sepenuhnya absen dalam wacana
pemikiran Islam Indonesia. Ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah
hampir tak pernah bicara tentang khilafah , sebaliknya menerima dan mengembangkan konsep dan praksis
negara-bangsa Indonesia.
Langkah respons
Meski konsep khilafah jelas tak relevan, berbagai pihak di
Indonesia perlu mencermati dan mewaspadai penyebaran ajaran dan rekrutmen
ISIS. Walau potensi keberhasilannya relatif kecil, gagasan dan praksis ISIS
dapat menimbulkan masalah serius dalam kehidupan politik, agama, dan sosial
di Tanah Air. Hampir bisa dipastikan, pendukung utama ISIS dengan
khilafah-nya adalah sejumlah orang atau kelompok kecil radikal yang selama
ini aktif di Indonesia. Mayoritas terbesar umat Islam Indonesia arus utama
yang umumnya tergabung di NU, Muhammadiyah dan banyak lagi di seantero
Nusantara jelas menolak ”khilafatisme” dan kekerasan.
Meski demikian, ormas-ormas ini perlu meningkatkan usaha
menyosialisasikan konsep dan praksis Islam rahmatan lil’alamin, jihad yang sebenarnya, dan komitmen pada
negara-bangsa Indonesia sebagai bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia.
Pada saat yang sama pihak keamanan dan aparat pemerintah lain mesti lebih
proaktif menangkal penyebaran dan tumbuhnya kelompok-kelompok pro ISIS. Polri
perlu meningkatkan pengawasan dan tindakan seperlunya terhadap kelompok yang
menurut data Polri memiliki rekam jejak praksis radikal. Tak kurang penting
pihak Kemlu, khususnya KBRI di kota-kota seperti Damaskus, Baghdad, Amman,
Doha, dan Istanbul, mesti meningkatkan usaha memantau lalu lintas WNI. Hal
ini antara lain bisa dilakukan lewat kerja sama dengan imigrasi negara-negara
terkait. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar