Idul
Fitri Pembebas Kemiskinan
Mohammad Nuh ;
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
|
JAWA
POS, 30 Juli 2014
SETIAP
mengakhiri Ramadan dan memasuki Idul Fitri, kita selalu diingatkan apakah
kita sudah berzakat fitrah? Mengapa zakat fitrah yang hanya 2,7 kg makanan
pokok (beras, gandum, dan sejenisnya) itu menjadi begitu penting? Bahkan,
secara teologis, puasa Ramadan tanpa diikuti zakat fitrah, nilai Ramadannya
masih menggantung!
Satu
di antara sekian jawabannya adalah agar saudara-saudara kita yang miskin bisa
ikut berbahagia pada hari yang fitri ini karena salah satu kebutuhan dasarnya
(pangan) dapat dipenuhi melalui pembagian zakat fitrah. Memang, ajaran Islam
sangat sensitif dan memberikan perhatian yang sangat khusus terhadap
kemiskinan.
Salah
satu hikmah berpuasa adalah agar kita bisa ikut serta merasakan betapa
beratnya lapar dan dahaga itu. Meski, dengan keyakinan, begitu magrib tiba,
akan sirnalah lapar dan dahaga tersebut karena telah tersedia makanan-minuman
untuk berbuka. Namun, sungguh sangat berbeda puasa bagi orang miskin yang
belum memiliki kepastian ketersediaan makanan-minuman, kapan bisa
’’berbuka’’? Itu pun dialami sepanjang hari, minggu, bulan, dan tahun!
Sebagai
fenomena sosial, Alquran telah mengenalinya dan memberikan perhatian khusus
dengan menyebut kata fakir hingga 13 kali dan kata miskin 25 kali. Itu
berarti Alquran tidak hanya berbicara tentang kenantian (akhirat), tetapi
juga realitas kekinian (dunia). Bahkan, Sayyidina Ali menyampaikan:
Seandainya kefakiran adalah manusia, niscaya kubunuh dia.
Fakta Kemiskinan
Menurut
UNDP (2014), diperkirakan 1 di antara 5 orang berpendapatan kurang dari USD
1,25 (sekitar Rp 15.000) per hari. Dan 1,2 miliar penduduk dunia masih berada
dalam kemiskinan yang sangat ekstrem. Meskipun jumlah penduduk miskin
Indonesia terus menurun dari 36,1 juta atau 16,6 persen (2004) menjadi 28,28
juta atau 11,25 persen (BPS 2014), jumlah tersebut masih sangat besar.
Karena
itu, alangkah indahnya setiap diri kita memiliki program untuk memberantas
kemiskinan. Dengan demikian, saat kita ’’menghadap’’ Allah SWT, ada yang kita
’’laporkan’’. Kalau tidak, apa jawaban kita saat Allah bertanya: Berapa
banyak anak yatim dan orang miskin yang telah engkau bebaskan dan antarkan
menjadi orang-orang sukses? Na’udzubillah. Jangan sampai kita dikategorikan
pendusta agama karena tidak peduli terhadap anak yatim dan orang miskin (QS:
Al Ma’un: 1-3).
Munculnya
kemiskinan bukan karena tidak adanya sumber kemakmuran. Namun, sumber
kemakmuran tersebut lebih banyak dikuasai sekelompok tertentu. Akses orang
miskin terhadap sumber kemakmuran tersebut sangat rendah dan lemah.
Contohnya, The Richest 2014 melaporkan, harta 85 orang terkaya setara dengan
kekayaan milik setengah populasi di dunia. Dengan kata lain, 1 persen orang
terkaya di dunia menguasai harta yang sebanding dengan milik setengah
penduduk di muka bumi ini. Ada ketimpangan yang luar biasa.
Apa
Yang Harus Kita Lakukan?
Pertama,
memotivasi untuk menghargai kerja dan menumbuhkan etos kewirausahaan.
Rasulullah SAW mencela segala bentuk kemalasan dan penggangguran serta
apresiatif terhadap segala bentuk kreativitas yang meningkatkan nilai
ekonomis. Suatu saat, Nabi datang dari Tabuk. Beliau disambut Sa’d al-Anshari
dan disalami. ’’Mengapa tanganmu jadi kasar begini?’’ tanya Nabi.
’’Aku
bekerja dengan sekop, wahai Rasulullah, untuk menafkahi keluargaku,’’ jawab
Sa’d Al-Anshari.
Seraya
mencium tangan Sa’d, Nabi bersabda, ’’Inilah tangan yang tidak akan tersentuh
api neraka.’’ Bayangkan, betapa mulianya tangan yang kasar karena kerja
keras, sampai-sampai Rasulullah menciumnya.
Kedua,
membangun fasilitas publik untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi
perekonomian. Nabi Muhammad SAW membagikan tanah di Madinah kepada masyarakat
untuk lahan bertani, membangun perumahan, pemandian umum, pasar, memperluas
jaringan jalan, serta memperhatikan jasa pos.
Saat
pusat perdagangan di Madinah seperti Sûq Zabâlah di utara Madinah dan pasar
lainnya dikuasai pedagang Yahudi, Nabi berinisiatif membangun pasar sendiri
dengan nama Baqî’ al-Khail dengan sistem yang berbeda. Yaitu, tidak ada
penarikan retribusi dan dilarang adanya praktik-praktik ribawi serta
kezaliman dalam perdagangan. Dengan dibukanya pasar baru tersebut, banyak
pedagang kecil, para pendatang (muhajirin), dan kelompok miskin lainnya yang
ikut beraktivitas dalam bidang perdagangan itu.
Ketiga,
meningkatkan kemampuan teknis untuk memperoleh akses dan mengelola sumber
kemakmuran. Pendidikan merupakan sistem rekayasa sosial yang paling efektif
dalam membentuk pola pikir, meningkatkan kemampuan teknis, serta meningkatkan
kualitas perilaku sosial. Dengan pendidikan yang baik, mereka akan lebih
mudah mendapat akses terhadap sumber kemakmuran sekaligus mengelolanya dengan
baik. Karena itulah, akses ke dunia pendidikan harus terbuka secara luas,
khususnya bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Banyak
bukti empiris, mereka yang awalnya berasal dari keluarga miskin, berkat
pendidikan, bisa terbebas dari jerat kemiskinan, bahkan menjadi orang
berkecukupan. Dalam skala negara juga demikian. Banyak negara yang pendapatan
per kapitanya kurang dari USD 1.000, namun bisa naik 10 kali lipat dalam
kurun 1–2 dekade.
Program
Bidikmisi yang diluncurkan sejak empat tahun terakhir, dengan membebaskan
seluruh biaya kuliah dan bantuan biaya hidup bagi mereka yang berasal dari
keluarga miskin, dimaksudkan untuk memotong mata rantai kemiskinan.
Alhamdulillah,
hasilnya mulai tampak. Dengan demikian, dalam kurun 5–10 tahun mendatang,
insya Allah ratusan ribu keluarga miskin terbebas dari jerat kemiskinan.
Sekarang sudah 220.000-an anak yang kuliah di berbagai perguruan tinggi
dengan biaya Bidikmisi. Inilah salah satu contoh upaya secara sistematis,
terstruktur, dan berkelanjutan untuk memotong mata rantai kemiskinan melalui
pendidikan.
Keempat,
membangun solidaritas sosial yang bermuara pada kesalehan sosial. Rasulullah
telah mengingatkan, ’’Bukanlah seorang mukmin orang yang tidur kenyang,
sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar’’ (HR Bukhori). Kepada istrinya,
Nabi berpesan, ’’Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan
mereka supaya Allah pun akrab denganmu pada hari kiamat’’ (HR al-Hakim).
Kepada kita semua, beliau berwasiat, ’’Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci
surga adalah mencintai orang-orang miskin’’. Kita pun dianjurkan berdoa agar
Allah menanamkan rasa cinta untuk mencintai orang-orang miskin dan memohon
pertolongan Allah agar dikaruniai kekuatan untuk menolong mereka. Ingat, kata
yang digunakan adalah cinta, yang berarti menyatu secara emosi dan terbebas
dari transaksi untung rugi secara materi.
Dari Solusi Temporer ke Permanen
Semangat
Idul Fitri haruslah sepanjang tahun sehingga kebutuhan dasar kaum miskin bisa
terpenuhi sepanjang tahun pula dan secara permanen terbebas dari kemiskinan.
Pembagian zakat fitrah kepada para fakir miskin merupakan solusi temporer,
sedangkan solusi permanennya, insya Allah, bisa kita dapatkan dengan empat
hal tersebut.
Tugas
kita dan pemerintah mendatang adalah memastikan solusi permanen tersebut.
Bukankah salah satu tujuan negara ini adalah meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya? Dengan demikian, saat Allah bertanya tentang berapa banyak orang
miskin dan anak yatim yang telah kita antarkan menuju kesuksesan, kita sudah
memiliki bukti sebagai jawabannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar