Hijrah dalam
Penegakan Hukum
Kuat Puji Prayitno ; Dosen
dan Ketua Pusat Studi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Unsoed
Purwokerto
|
SUARA
MERDEKA, 12 November 2013
TAK ada yang bisa menyangkal bahwa bangsa Indonesia
memiliki religiositas tinggi, dan pada posisi itu sewajarnya menjadikan momen
dan kaidah agama sebagai landasan spirit dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Tak terkecuali kehidupan berhukum pun harus bersemangat
religius karena itulah ciri hukum Indonesia, yuridis religius. Di pengadilan
misalnya, irah-irah ’’Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa” atau
’’Menegakkan Hukum dan Keadilan Berdasar Pancasila (antara lain berdasar sila
Ketuhanan Yang Maha Esa) juga menunjukkan bahwa politik hukum nasional adalah
yuridis religius.
Memaknai politik hukum yuridis religius secara sederhana
berarti memperhatikan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dalam menegakkan hukum,
selain tuntunan undang-undang formal. Jangan sampai terjadi orang hanya tahu
tuntunan undang-undang, regulasi, tanpa tahu tuntunan Tuhan dalam menegakkan
hukum. Penegakan hukum di Indonesia tidak melalui pendekatan sekuler tetapi
dengan penuh kesadaran guna mencari rida Allah.
Tuhan akan selalu ”hadir” dalam tiap momen penegakan
hukum. Salah satu tuntunan Tuhan yang relevan untuk membangun kinerja
penegakan hukum adalah momen bulan Muharam. Dari Abdullah bin Amar ra,
Rasulullah saw bersabda,’’Orang Islam sebenarnya adalah orang yang memelihara
orang-orang Islam lainnya dari gangguan lidah dan tangannya, dan orang yang
sebenarnya berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh
Allah”.
(HR Bukhari) Allah Swt melalui Rasul-Nya membuat ketentuan
berhijrah sebagai momen untuk perbaikan dari kondisi buruk ke kondisi yang
baik. Peristiwa hijrah memang dilakukan hanya sekali oleh Rasulullah saw dari
kota Makkah ke Madinah. Namun transformasi nilai-nilai hijrah terus
berlangsung hingga kini dan masa mendatang.
Tujuan hijrah adalah membangun peradaban yang lebih baik
dari sebelumnya atas izin Allah. Jadi, misi hijrah adalah membangun peradaban
manusia demi kemaslahatan. Setidak-tidaknya ada dua nilai hijrah yang relevan
diimplementasikan dalam penegakan hukum saat ini, yaitu man salima atau
”memelihara” dan ”meninggalkan apa yang dilarang Allah”. Inti kekuatan hijrah
ada pada membangun kekuatan personal karakter atau profesi disposition.
Domain ini sangat penting dan merupakan satu di antara
tiga domain penegakan hukum, yaitu domain profesi knowledge, profesi skill
dan profesi disposition. Menegakkan hukum tak cukup dengan hanya bermodal
pengetahuan hukum yang baik dan keterampilan menerapkan undang-undang.
Tanpa dukungan karakter personal yang baik bisa dipastikan
hukum tak akan bisa tegak dengan baik. Roscoe Pound pun mengatakan, ’’ ...the quality of Justice depends
more on the quality of the person who administer the law than on the content
of law they administer.’’
Pemegang Amanah
Mengurai nilai-nilai hijrah ke dalam penegakan hukum, kita
bisa menemukan minimal tiga format edukasi. Pertama; penegakan hukum yang
adil adalah sumber daya nonfisik bangsa yang perlu dipelihara.
Keruntuhan penegakan hukum yang adil akan berdampak pada
keruntuhan kepercayaan masyarakat, dan keterkoyakan peradaban bangsa. Itu pun
masih ditambah gangguan pembangunan dan kemunculan pelbagai persoalan sosial
lain. Semua itu menyiratkan bahwa tak ada artinya keberlimpahan sumber daya
alam tanpa keterpeliharaan sumber daya nonfisik yang satu itu.
Kedua; pemerintah dan aparat penegak hukum adalah pemegang
amanah untuk menegakkan hukum di negeri ini. Jadi sudah seharusnya mereka
memelihara kepercayaan itu dengan tidak menodai lewat perilaku hina dan
tercela.
Polisi, jaksa, hakim, advokat, dan petugas lembaga pemasyarakatan
pasti tahu perilaku hina dan tercela yang bisa merusak nama baik institusi.
Karena itu, peliharalah supaya tak hanyut dalam bah maksiat penegakan hukum.
Ketiga; berhijrah adalah meninggalkan larangan Allah, dan untuk itu kita bisa
menerapkan rumus A, B, dan C.
Penjabarannya adalah A(ambil yang baikbaik, belajar dan
meniru dari kebaikan), B (buang yang jelek, hal yang buruk harus kita
tinggalkan), dan C (ciptakan perubahan, terutama dalam diri supaya berubah
menjadi lebih baik). Sudah ada ikhtiar secara signifikan guna membangun hukum
(pidana) saat ini, yaitu dengan disahkannya ketentuan, undang-undang, dan
regulasi baru dalam banyak aspek, serta diselesaikannya RUU KUHP dan RUU
KUHAP. Orang pun disibukkan oleh perbaikan kelembagaan/institusi melalui
pelatihan dan koordinasi.
Namun perlu diingat bahwa semua itu baru sebatas legal substance dan legal structure.
Dalam sistem hukum masih ada legal
culture, antara lain hijrah atau berubah dari cara-cara buruk ke arah
cara yang baik dalam menegakkan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar