Tragedi
Tragis Investasi
Susidarto ; Praktisi
Perbankan dan Pemerhati Bisnis
SUMBER : SUARA
KARYA, 12 Juni 2012
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di balik terjadinya resesi
ekonomi Eropa (zona Euro) sekarang ini. Ternyata banyak orang kaya di negeri
ini, terutama yang berdiam di kota besar, terkikis kekayaannya dalam tempo
sekejap. Kejatuhan harga saham-saham global, termasuk harga saham di Bursa Efek
Indonesia (BEI), hingga kurang lebih 15 persen, mengakibatkan banyak investor
mengalami kerugian tidak kecil. Banyak investor kehilangan uang hingga
berbilang miliaran rupiah.
Fluktuasi nilai tukar rupiah yang jumpalitan tidak karuan, tak
urung juga membuat banyak investor mengalami kerugian. Banyak investor membenamkan
dan 'beternak' uang dalam produk terstruktur (derivative) yang sekarang ini sudah dilarang oleh Bank Indonesia
(BI). Otoritas perbankan ini mencium adanya unsur spekulasi (gambling) di dalamnya, dan akhirnya
melarang perbankan menjual produk terstruktur ini. Karena sifatnya yang
spekulatif, produk ini ternyata juga berpotensi membuat nilai tukar rupiah
menjadi semakin terpuruk.
Tragedi memilukan ini semakin lengkap, manakala banyak pula
investor yang kejeblos membenamkan dananya ke dalam investasi bodong ala
Koperasi Langit Biru (KLB), Tangerang, Banten. Tidak kurang Rp 6 triliun dana
milik investor sudah dibenamkan di sana dan berpotensi hilang begitu saja.
Maklum, sang ketua KLB, kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan para
pengurusnya sudah lempar handuk tanda menyerah. Di sini, kembali terjadi
tragedi yang memilukan terkait investasi. Raibnya uang 125.000 investor KLB,
seolah menambah panjang daftar kerugian yang diderita oleh para investor
Indonesia.
Hati-hati
Satu hal yang sering diabaikan oleh para investor, terlebih
investor pemula yang sudah mulai mencicipi 'legitnya' keuntungan berinvestasi
adalah semangat yang menggebu-gebu, tanpa melihat risiko yang melekat pada
sebuah produk investasi yang dibelinya. Hingar-bingar dan eforia kenaikan
indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI awal tahun hingga awal 2012, telah
meninabobokan para investor untuk semakin gencar bersemangat dalam berinvestasi
pada produk pasar modal. Juga, fluktuasi nilai tukar rupiah yang begitu tinggi,
menjadikan mereka banyak bermain valas dalam rangka mengembangbiakkan uangnya.
Namun, inilah awal malapetaka ketika semuanya itu merupakan hasil
dari upaya 'goreng-menggoreng' saham, dan hal ini pulalah merupakan harga yang
harus dibayar dari sebuah investasi. Sejak awal para investor harus menyadari
masalah ini. Bahwa dalam setiap bentuk investasi, selain mengandung aspek
benefit (keuntungan), juga mengandung unsur risiko di dalamnya. Semakin tinggi
return yang ditawarkan, maka semakin tinggi pula risiko yang melakat di
dalamnya. Semangat investor ini juga dipicu oleh budaya instans ingin cepat
kaya mendadak, dengan mengembangbiakkan uangnya di berbagai instrumen keuangan,
bukan di sektor riil (bisnis).
Sayangnya, euforia ini harus dibayar mahal. Kejatuhan harga-harga
saham, telah membuyarkan harapan dan impian para investor yang ingin meraup
keuntungan besar dalam tempo sekejap. Maunya sih untung, tapi ujung-ujungnya
justru buntung (merugi). Oleh sebab itu, langkah yang sebaiknya ditempuh oleh para
investor adalah langkah kehati-hatian (prudent).
Di tengah kemewahan tawaran berinvestasi belakangan ini, pihaknya harus jeli
dan akurat menganalisis, instrumen apa yang akan dipilih sebagai sarana
berinvestasi. Kalau perlu, pakailah penasihat keuangan (financial planner) yang sudah berpengalaman memberikan advis dan
nasihat berinvestasi bagi para investor.
Agar tingkat kepercayaan investor tidak luruh akibat berbagai
tragedi tragis berinvestasi, maka perlu dipikirkan adanya perlindungan
(asuransi) efek-efek, sehingga nasabah akan merasa aman. Minimal pokok
investasi yang telah dibenamkan tidak akan hilang sia-sia. Modal pokok investor
akan kembali karena sudah dijamin oleh perusahaan asuransi. Memang,
perhitungannya cukup rumit, mengingat adanya perubahan jumlah efek yang
diinvestasikan setiap saat. Namun, masalah ini seharusnya bisa dicarikan
formula perhitungannya, sehingga ke depan kepastian masalah ini bisa segera
diatasi.
Bentuk perlindungan kepada investor yang lain, mungkin tidak perlu
dilakukan dengan membentuk lembaga semacam LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ala
industri perbankan. LPS justru terkesan sebagai lembaga kuratif (pengobatan),
bukan lembaga preventif (mencegah terjadinya sebuah kasus). Yang ditunggu
justru serangkaian upaya dari otoritas bursa untuk mencegah terjadinya fraud
dan kejahatan pasar modal secara aktif. Untuk itu, pengawasan yang sangat ketat
(baik dari Bapepam-LK maupun BEI) secara periodik perlu dilakukan, agar
kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari. Kasus SPS tidak akan pernah
muncul apabila pengawasan terhadap para pemain pasar modal (utamanya broker/pialang) dilakukan secara ketat.
Selain itu, otoritas bursa dalam hal ini Bapepam-LK juga harus
membuka diri terhadap setiap permintaan informasi dan konfirmasi dari nasabah
tentang keberadaan pialang/broker
atau para manajer investasi serta produk yang dikeluarkannya. Kasus yang
menimpa nasabah (sekaligus investor pada surat berharga PT Antaboga Sekuritas)
Bank Century tidak akan pernah terjadi apabila para nasabah yang sekaligus para
investor itu sudah melakukan cek and recek ke pihak otoritas bursa perihal
manajer investasi dan produk yang dikeluarkannya, yang ternyata adalah pepesan
kosong (bodong).
Langkah-langkah di atas perlu dilakukan terutama untuk mencegah terjadinya
krisis kepercayaan para investor, yang sebelumnya sudah mulai bergairah untuk
berinvestasi di pasar modal. Jangan sampai para investor baru dan retail ini
menjadi kecewa, dan kapok untuk berinvestasi di pasar modal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar