Suksesi
Satu Selimut
Tandi Skober ; Budayawan dan Penasihat Indonesia Police Watch
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 16 Juni 2012
SEKALI
tempo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertutur bahwa ia beserta
keluarga tidak akan mencalonkan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. SBY
terlihat cerdas saat memberi aksen pada kata mencalonkan. Kenapa? Mencalonkan
bermakna lebih internal ketimbang kata di calonkan.
Dengan
begitu, tidak jelas, apakah akan menerima bila Ny Ani Yudhoyono dicalonkan
menjadi bakal calon Presiden 2014.
Yang
bisa dijelaskan politik dinasti pada titik terjauh selalu bermuara dari alur
nalar suksesi satu ranjang. Lagi pula, pilpres bukan soal demokrasi atau
monarki tapi soal hasrat anomali politik kekuasaan. Ihwal lain, SBY sebagai manusia
Jawa tahu betul bahwa istri itu garwa
wingking, suarga nunut neraka katut, dadi presiden mantuk-mantuk. Yang
bermakna istri itu terposisikan di belakang, dengan begitu ia akan mengikuti
langkah suami ke surga ataupun ke neraka. Dijadikan presiden pun sangat setuju.
Dalam
perspektif budaya kekuasaan Jawa, ihwal tersebut termaktub dalam frasa angrabeni iku kanthi suksesi. Ini kerap
dimaknai sebagai rotasi kepemilikan kekuasaan itu tidak lebih dari pertautan
suami-istri. Kepemilikan ini bersifat mobah
mosik, turun naik. Di sini, sang istri cuma menerima, ngrenggo lan nglakoni ketika sang suami luruskan telunjuk agar
menjadi wali kota, bupati, gubernur, hingga presiden.
Era Goro-Goro
Inilah
politisasi angrabeni iku kanthi suksesi.
Tidak aneh manakala dari Indramayu, Jawa Barat, Anna Shopana jadi bupati
Indramayu era 2010-2015 menggantikan sang suami Yance, yang sudah dua periode
duduk di kursi empuk itu.
Kenapa?
Frasa kearifan kuno itu memosisikan ranjang sebagai pusat kekuasaan. Mirip obat
nyamuk dengan memulai lingkaran terdalam yang merotasi hingga titik luar
terjauh. Hakikat politik ada di dalam pergumulan dalam selimut. Di luar itu,
rakyat, misalnya, lebih dimaknai sebagai angkot eksistensial legitimasi
kepentingan kekuasaan.
Dengan
begitu ada jarak yang tajam antara esensi kekuasaan dan realitas keseharian
rakyat. Auctoritas non veritas facit
legem seperti diungkap Hobbes (1588-1679) dalam Leviathan yang berarti
kekuasaan bukan kebenaran yang membuat hukum.
Tidak
mustahil, seusai angrabeni kanthi suksesi, sang suami duduk di sudut kamar
seraya berkipas nyaman. Tidak aneh manakala nafsu politisasi suksesi satu
selimut ini dinilai Winston Churchill, perdana menteri Inggris semasa Perang
Dunia II (1875-1965), sebagai pembusukan budaya. “Saat perang kita hanya terbunuh sekali. Tetapi dalam politik kekuasaan
kita dibuat mati berkali-kali,” tutur Churchill.
Frasa
angrabeni iku kanthi suksesi dulu di
era kerajaan dianggap hal yang biasa-biasa saja. Adalah aliran ritual kultural
yang selalu mendapat pembenaran sejarah. Ini disebabkan istri, anak, besan, dan
cucu adalah lingkaran antigon antiobat nyamuk kekuasaan.
“Ini hal lumrah kekuasaan menumpuk di istana,”
ungkap esais Sujiwo Tejo dalam sebuah diskusi ringan di Bandung. Jika raja tak
memiliki putra mahkota sebagai buah pernikahan raja dan permaisuri, orang
paling dekatlah yang berpeluang besar duduk di singgasana.
Kalau
tidak menantu, besan, ataupun paman, bisa jadi permaisuri sebagai pengganti
ketika raja sakit parah ataupun mangkat. Era Tarumanegara, selama 200 tahun
(400-600), cuma 12 kali mengalami suksesi. Bisa jadi sang pengganti adalah sang
istri, tidak mustahil dipersembahkan buat anak cucu.
Andai
tidak ada anak, menantu pun jadilah! Sebut saja Raja Tarumanegara Linggawarman
(666-669) tidak memiliki putra mahkota, melainkan dikaruniai dua putri, Manasih
dan Sobakancana. Itu sebabnya Tarusbawa, suami Manasih, dipersilakan menduduki
takhta kerajaan.
Demikian
juga suami Sobakancana bernama Dapuntahyang Sri Jayanasa tak sulit melenggang
masuk ke pusat pusar kekuasaan. Dari pusaran inilah kelak Dapuntahyang Sri
Jayanasa dinobatkan menjadi penguasa Kerajaan Sriwijaya.
Suksesi
seperti ini juga pernah diperagakan Presiden Soeharto. Pak Harto tidak
memosisikan sang istri sebagai penerus, tetapi memilih putra-putri tercinta
sebagai calon penguasa. Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut dinobatkan menjadi
menteri sosial. Bambang Tri dan Hutomo Mandala Putra menjadi politisi di
legislatif. Atmosfer politik kebudayaan dikondisikan dalam ruang gelap
berselimut biologis kekuasaan. Tidak jelas siapa akan menjadi apa. Tak pelak,
suksesi era Soeharto adalah era goro-goro!
Era pembusukan yang destruktif bagi pembangunan ideologi kebangsaan.
Di
sini hanya ada satu ideologi yang tersentralistik. Maklum di era itu pusat
kekuasaan disebut sebagai replika sentra jagat raya. Di dataran disartikulasi
ini, kedaulatan rakyat tentu saja hanyalah olok-olok belaka.
Toh,
para penguasa kerap berfatwa bahwa substansi demokrasi itu adalah kedaulatan
keajegan alam. Untung ada reformasi. Orde Baru ambruk dan politisasi angrabeni
iku kanthi suksesi pun sirna ditelan amarah massa.
Era
kini seperti setali tiga uang. Penunjukan putra SBY sebagai sekjen Partai
Demokrat dan kemudian menjadi menantu Menko Perekonomian Hatta Rajasa, seperti
mengulang cerita masa lalu. Terlebih Partai Amanat Nasional menggadang-gadang
Hatta menjadi kandidat presiden pada 2014.
Dalam
perspektif seperti ini, frasa angrabeni
iku kanthi laku selayaknya tidak dipolitisasi menjadi angrabeni iku kanthi suksesi. Benarlah apa yang dikatakan Joohan
Kim & Eun Joo Kim (2008:65) bahwa dalam politik yang serba instan, rakyat
cuma dilihat sebagai deret matriks statistik ekonomi.
Di
sini rakyat tidak lebih dari kumpulan massa yang menclok dan terpuruk di alur
proses komodifikasi politik pragmatis. Rakyat tidak dilihat sebagai pemilik
kedaulatan. Politik bertawaf pada panggung sandiwara sarat intrik yang cuma
bisa menonton deretan baliho di setiap pengkolan jalan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar