Si
Oknum
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 2
Juni 2012
Ikut berbelasungkawa atas tewasnya tiga
penonton pertandingan Liga Super Indonesia (ISL), Persija Jakarta versus Persib
Bandung, di Gelora Bung Karno, Minggu (27/5). Ini ironi karena kita sempat
ditakut-takuti konser Lady Gaga di GBK yang batal karena dikhawatirkan tak akan
aman.
Lebih ironis lagi ”pembunuhan” terjadi pada
hari libur, saat crowd control lebih
mudah dikelola. Dan, insiden terjadi di wilayah protokol tak jauh dari markas
kepolisian daerah (polda).
Polda sedang menyidik siapa pengeroyoknya.
Persija menyiapkan dana santunan untuk keluarga korban. Fan club kedua klub tentu menyesali. Para pemain Persija dan Persib
prihatin dan berharap ini kejadian yang terakhir kali.
Namun, belum jelas sikap penyelenggara ISL
yang dianggap ilegal oleh PSSI. Dan, juga apa sebenarnya sikap PSSI sendiri?
Beberapa bulan lalu jatuh seorang korban
tewas terkait dengan pertandingan Liga Primer Indonesia (IPL) di Semarang. Jika
penyidikan kurang tuntas, kekerasan kompetisi ISL atau IPL tak mustahil bisa
terjadi lagi.
”Tragedi
Heysel” di Belgia tahun 1985 dipicu keganasan berandal Inggris sehingga 39
korban suporter Juventus (Italia) tewas. Inggris melarang klub ikut kompetisi
Eropa sehingga para berandal tak bisa menonton ke luar negeri.
Mungkinkah kesadaran seperti itu ditiru
pemerintah kita? Rasanya agak mustahil karena kompetisi ISL dan IPL merupakan
bisnis besar dan hiburan bagi rakyat kecil.
Masih berharap aparat menciduk siapa yang
bertanggung jawab atas peristiwa di GBK, 27 Mei lalu? Masih berharap ada yang
sukarela mengaku bertanggung jawab atas insiden itu?
Rasanya tidak. Ya, tanggung jawab, kata yang
nyaris tak bermakna lagi di negeri ini.
Benar sekali keluhan Wapres Boediono belum
lama ini bahwa kekerasan telanjur membudaya di negeri ini. Mengapa kita masih
mudah ”amok”?
Keliru jika dikatakan kita sudah selama 14
tahun menjalani era ”reformasi”. Justru sebaliknya, akibat kekerasan, kita
menjalani era ”deformasi” karena semua hal praktis sudah ”tak berbentuk lagi”.
Apa kita masih menerapkan konstitusi? Basis
pemberian grasi saja melenceng jauh karena dihadiahkan kepada ”ratu ganja”
Schapelle Corby.
Tak banyak yang bisa diharapkan dari
penegakan hukum, apalagi pembasmian aneka skandal korupsi, mulai dari Hambalang
sampai Century. Deformasi merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara ini.
Penyebab deformasi adalah karena negara,
sebagai satu-satunya otoritas kekuasaan, terdegradasi. Posisinya berada jauh di
bawah kendali pemimpin, pejabat, politisi, partai, dan kelompok yang tak kenal
tanggung jawab sosial, jabatan, ataupun pribadi.
Mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan
pernah bicara tentang mereka yang tak kenal tanggung jawab. ”Mereka mirip bayi.
Nafsu makan mereka besar, semua makanan dan minuman ditelan. Namun, setiap bayi
belum bisa mengontrol diri saat buang hajat.”
Mereka selalu selamat dari setiap jenis
pelanggaran, mulai dari korupsi sampai pelat nomor palsu ketua umum atau TNI.
Mereka selalu dapat kekebalan hukum, mulai dari pengemplangan pajak sampai
penyiksaan wartawan di Padang.
Ya, mereka pandai bersiasat karena selalu
punya alibi. Kalau kepepet, mereka masih memiliki senjata pamungkas yang siap
membantu yang bernama si oknum.
Sejak era Orde Baru sampai kini kita sering
didongengi tentang si ”oknum” sampai tidur pulas dan mimpi warna-warni. Inilah
orang yang sering menjadi bulan-bulanan, yang bisa didapat gratis atau meminta
gaji.
Semua kesalahan, mulai dari gembong
pemberontakan sampai penyebab kerusuhan, bisa ditumpahkan kepada si oknum ini.
Selama puluhan tahun si oknum tak pernah stop dituding pembuat gara-gara,
didakwa, dijadikan tersangka, atau dibui.
Si oknum orang bodoh, mati rasa, kehilangan
logika, dan tak punya nurani. Ini membuat dia kadang berubah wujud menjadi
kambing hitam, organisasi tanpa bentuk (OTB), atau setan gundul yang disalahi
atau digebuki.
Walau sudah bolak-balik diinterogasi dan
dijebloskan ke bui, si oknum selalu ada tersedia. Si oknum selamat dan awet
bertahan lama, dari masa lalu sampai masa kini.
Sampai kini aparat suka marah, kalap, dan
menyerbu siapa saja yang ”menyerang nama baik korps kami”. Namun, kalau ada
anggota korpsnya yang bersalah, ia langsung berubah jadi oknum yang siap di....
Siapa gerangan si oknum? Harimurti Kridalaksana,
ahli bahasa dari Universitas Indonesia, pernah mengatakan, perubahan selera,
pergantian wawasan, kesalahpahaman, dan perkembangan sosial politik penyebab
perubahan bahasa.
Perubahan yang sering terjadi adalah perubahan makna. ”Salah satu di antaranya penyempitan makna,
misalnya oknum. Tak banyak orang ingat bahwa kata itu punya makna netral, yaitu
’orang, pribadi’. Namun, orang lebih banyak menggunakannya dengan makna pribadi
yang harus dipisahkan dari lingkungan pekerjaannya karena tingkah lakunya
memalukan lingkungan. Jadi, sifatnya sempit dan negatif,” katanya.
Itu mungkin sebabnya kita keranjingan memakai
kata sifat ”mafia” belakangan ini. Ketimbang menyidik siapa yang bertanggung
jawab, lebih baik menuding oknum yang bisa disamar-samar. Dan, stok oknum itu
masih banyak sekali. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar