Semoga
SBY Tersinggung
Hartono Sri DD ; Hipnoterapis, Tinggal di Semarang
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 12 Juni 2012
AWAL membaca artikel Dr Mahmudi Asyari (SM,
31/05/12) berjudul ’’Pidato Kata-kata’’,
saya khawatir arah ulasannya hanya maido
(menyalahkan, mencela) Presiden SBY. Saya tergerak membuktikannya, dan mendapat
kesan bahwa kekhawatiran itu ternyata lebih buruk dari yang saya pikirkan.
Dia tidak sekadar menyampaikan tesis dan
membangun dengan argumentasi pendukung tapi juga memberikan rekomendasi atas
kebijakan yang semestinya diambil Presiden. Menanggapi pidato tentang
penghematan (BBM), ia memaparkan bukti bahwa kebijakan Presiden hanya berhenti
dalam bentuk tekstual keppres atau sejenisnya.
Bahkan pengalaman membuktikan bahwa kebijakan
itu berujung pada deret penyimpangan. Isu penghematan nasional menjadi
pemborosan nasional. Sebagai rakyat yang merasa memiliki (presiden), saya
tersinggung. Pertanyaannya, benarkah Presiden akan tersinggung? Selama ini ia
berkesan enteng menanggapi kritik. Seandainya tersinggung, seperti apa
bentuknya?
Saya mengajukan dua pertanyaan itu mengingat
budaya akademik yang menjadi landasan penulis sungguh sempurna. Lewat
artikelnya, dia melontarkan tesis, menyuguhkan bukti argumentatif, dan bahkan mengakhiri
tulisannya dengan sebuah rekomendasi kebijakan. Tulisan itu sungguh merupakan hortatory sempurna hingga tidak
menyisakan ruang bagi siapa pun untuk menyerang balik, dan menyebut artikelnya
sebagai tulisan kata-kata.
Saya malah berharap Presiden tersinggung,
harus menampik serangan itu dengan wujud cerdas ketersinggungan yang
menggambarkan persepsi Mahmudi Asyari hanya tulisan kata-kata.
Namun, supaya tidak lagi terjerembab pada
lubang kesalahan yang sering disinggahi, SBY harus menyomasi dalam bentuk yang
tepat. Bukan dengan kata-kata atau retorika melainkan dengan perbuatan
(kebijakan).
Presiden harus cepat memutar gerak roda
kabinetnya, mengejar janji pemerintahannya yang telah jauh meninggalkan.
Langkah itu untuk mengurangi sinisme publik terkait lambannya reflek responsif
keadaan yang telanjur menggurita. Kita harus mengakui lima paket yang disebut
SBY sebagai kebijakan, baru berwujud wacana. Operasional di lapangan masih
menimbulkan kegaduhan karena minim persiapan.
Kebijakan
Tepat
Lima paket penghematan yang diluncurkan
Presiden semestinya dijabarkan dengan kebijakan awal yang berujung pada sikap
tanggap cekatan pemerintah mengatasi mahal dan langkanya BBM.
Pertama; pemimpin (pemerintah) membuat aksi
simpatik yang intinya menunjukkan sikap prihatin. Misalnya, memotong anggaran
perjalanan dinas, melarang penggunaan kendaraan dinas untuk kepentingan
pribadi, dan mengurangi jatah subsidi BBM.
Kedua; pemerintah segera menyampaikan draf
payung hukum pada DPR, cakap meyakinkan pentingnya upaya tepat penanganan
keadaan. Ketiga; segera aksi-aksi persiapan untuk upaya penghematan, diproduksi
massal. Misalnya chip perekam konsumsi BBM bagi tiap kendaraan dan conventer kit yang mengubah sistem dari
BBM ke BBG. Pada saat yang sama, pemerintah mempercepat pembangunan stasiun
pengisian bahan bakar gas.
Ketiga; memberi penyuluhan soal kondisi yang
terjadi, ketika pemerintah sudah berhasil memberi contoh perilaku yang lebih
baik ketimbang apa yang dipahami publik.
Penekanan waktu dimulainya aksi ini penting,
mengingat risiko munculnya distrust karena
salah mengartikulasikan (salah ucap).
Keempat; pemerintah membangun industri
penghasil bahan bakar alternatif, yang bahan bakunya melimpah di Tanah Air,
serta menggiatkan penelitian yang makin menyempurnakan sistem pengolahan dan
mutunya.
Martabat (dignity)
Presiden terlalu mahal tapi Mahmudi Asyari bukan analytical exposition yang hanya menguraikan keteledoran melainkan
juga menyuguhkan rekomendasi solutif.
Saya malah berharap Presiden tersinggung dan
membalasnya dengan somasi cerdas, dalam wujud kebijakan yang tepat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar