PR
Yudhoyono dari Rio
Deden Dinar Iskandar ; Dosen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip,
Mahasiswa
Program Doktor University of Bonn Jerman
Sumber : SUARA
MERDEKA, 23 Juni 2012
KONFERENSI Rio+20 telah berakhir 22 Juni
kemarin. Dalam Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de
Janeiro Brasil itu, SBY cukup berperan sebagai salah satu pimpinan sidang
perumusan konsensus pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) yang akan menjadi acuan
negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Namun konsensus itu tidak bisa dicapai hanya
dengan retorika. Konsensus pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa tiap
negara harus bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus melestarikan
lingkungan. Konsekuensinya, daya dukung lingkungan hidup diharapkan mampu
menanggung beban generasi sekarang tanpa mengurangi daya dukungnya untuk
generasi mendatang.
Ada tiga pilar utama dalam SDGs, yaitu
faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi. Menyeimbangkan semuanya bukan hal
mudah bagi Indonesia karena ketiganya kadang saling bertentangan. Misalnya,
pelestarian hutan akan berimbas terhadap masyarakat adat di kawasan hutan yang
mata pencahariannya tergantung pada akses mereka untuk membuka dan memanfaatkan
hasil hutan.
Pelestarian hutan sedikit banyak juga akan
mengorbankan pendapatan pemerintah karena konsekuensi dari pelestarian adalah
berkurangnya pemanfaatan potensi ekonomi dari kawasan hutan. Dalam konteks itu
terlihat bahwa pelestarian lingkungan memiliki konsekuensi biaya
tersendiri.
Sebenarnya cukup banyak pihak yang bersedia
mendanai program lingkungan hidup di negara-negara berkembang. Tahun 2010
negara-negara anggota Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) mengeluarkan dana sekitar
33 juta dolar AS untuk mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di
negara berkembang (Villarino, 2012). Pada tahun yang sama, pemerintah Norwegia
memberikan dana sekitar 1 juta dolar AS kepada Indonesia untuk program
penghutanan.
Bank Dunia juga memiliki skema pendanaan
investasi untuk perubahan ikim yang mencakup program investasi hutan (forest
investment program/FIP). Indonesia merupakan salah satu negara yang
didanai program tersebut. Selain itu, Bank Dunia terlibat dalam usaha
untuk mengoordinasi pasar karbon.
Jalur
Partisipasi
Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, pada
pertemuan di Washington beberapa hari sebelum Konferensi Rio+20 mengatakan
bahwa ketersediaan dana sebenarnya bukan masalah terbesar bagi pertumbuhan
ekonomi berbasis kelestarian lingkungan di negara berkembang. Permasalahannya
justru pada kegagalan pemerintahan dan konflik kepentingan.
Mencermati fakta itu, pekerjaan rumah
terbesar pemerintahan SBY terkait dengan pelaksanaan SDGs adalah pembangunan
aspek kelembagaan. Setidaknya ada tiga agenda utama yang harus dikedepankan
dalam membangun aspek kelembagaan yang lebih baik. Pertama; mengidentifikasi
dan mengorganisasi kepentingan yang berbeda-beda. Banyak pihak dengan
perbedaan kepentingan yang terkena imbas pelestarian lingkungan hidup.
Kedua; menciptakan mekanisme pengambilan
keputusan yang lebih partisipatif dan inklusif. Tiap pihak yang berkepentingan
dalam pelestarian lingkungan harus bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan. Jalur partisipasi yang demokratis tanpa diskriminasi merupakan
syarat utama yang harus dikembangkan.
Ketiga; mendorong akses terhadap sumber dana
internasional yang lebih terbuka. Dalam hal ini, kita harus memikirkan
mekanisme yang mempermudah daerah, sebagai pelaksana utama pelestarian
lingkungan, mengakses dana internasional. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat
harus ikut membantu daerah bernegosiasi dengan penyandang dana, memberikan
pendampingan teknis, dan mengawasi pelaksanaan komitmen yang disepakati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar