Menyongsong
Kepemimpinan Kontekstual
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 12 Juni 2012
ANEKA
macam persoalan bangsa yang terus menumpuk menunjukkan lumpuhnya kepemimpinan
yang ada, baik pada tingkat daerah maupun tingkat nasional. Kepemimpinan lumpuh
bukan karena ia tidak bisa bergerak, melainkan karena gerak bodinya yang acap
tidak mengarah pada penyelesaian masalah-masalah bangsa yang sangat akut,
seperti korupsi, penegakan hukum, kerukunan umat beragama, dan segudang masalah
lainnya.
Dalam
kondisi demikian, kepemimpinan acap seperti dalam pepatah Arab, wujuduhu kal'adam (keberadaannya laksana
tiada). Faktanya kepemimpinan tersusun lengkap dari daerah hingga pusat dengan
anggaran operasional yang melimpah.
Lompatan Kepemimpinan
Secara
akademis, term `lompatan' cenderung bermakna negatif. Sebab, lompatan
meniscayakan adanya proses, tahapan, atau bagian yang terlewatkan. Sebagai
contoh, seseorang belum menguasai bagian tertentu dari pelajaran yang ada.
Namun karena satu dan lain hal, yang bersangkutan `melompat' ke bagian lain
yang ada di atasnya sehingga bagian yang sejatinya dikuasai terlebih dahulu
(sebelum pindah ke bagian lain) terlewatkan.
Pada
tahap tertentu, kepemimpinan di Republik ini mengidap penyakit `lompatan' dalam
makna sebagaimana disebutkan. Seseorang terpilih sebagai pemimpin bukan karena
diketahui publik mampu menyelesaikan tugas-tugas kepemimpinan yang ada
sebelumnya, melainkan lebih karena adanya faktor eksternal yang membuat orang tersebut
tercitrakan layak dan mampu menjadi pemimpin pada level yang lebih tinggi.
Relasi
dan modal tentu menjadi salah satu faktor utama bagi terciptanya faktor
eksternal dalam sebuah kepemimpinan yang dicitrakan layak dan mampu tersebut.
Khususnya relasi kuasa dan modal keuangan yang membuat seseorang laiknya `insan
kamil' (manusia sempurna) melalui iklan di media yang terus diulang-ulang.
Setiap
manusia adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban
atas yang dipimpin. Demikian kurang lebih bunyi salah satu hadis Nabi Muhammad
SAW yang sejatinya dijadikan tangga kepemimpinan sebelum seseorang berambisi
dan mendudu ki kursi kepemimpinan pada level yang lebih tinggi.
Kepemimpinan
harus dimulai dari level terkecil (diri sendiri) sebelum menaiki tangga yang
lebih tinggi (keluarga, komunitas, perusahaan, dst) hingga mencapai puncak
kepemimpinan (seperti pada level nasional).
Bagaimana
mungkin seseorang mampu memimpin komunitas atau perusahaan dengan baik,
sedangkan yang bersangkutan tidak mampu memimpin diri atau keluarganya secara
baik? Padahal orang yang mampu memimpin diri atau keluarganya secara baik masih
belum tentu mampu menjadi pemimpin pada level di atasnya.
Di
sinilah pentingnya mengakhiri fenomena lompatan kepemimpinan sebagaimana telah
disebutkan. Sebaliknya, kepe mimpin an sejatinya ditertibkan sesuai dengan anak
tangga kepemimpinan yang ada. Dengan begitu, keberadaan kepemimpinan terasa
hadir dan nyata dalam upaya menyelesaikan sejumlah persoalan yang ada, tidak
sekadar ada yang laksana tiada.
Kepemimpinan Kontekstual
Inilah
yang penulis sebut sebagai kepemimpinan kontekstual. Di satu sisi, kepemimpinan
kontekstual berjalan sesuai dengan anak tangga kepemimpinan yang ada. Di sisi
yang lain kepemimpinan kontekstual terbentuk dari kesadaran akan pentingnya
menyelesaikan sejumlah persoalan yang ada dan bersifat mendesak.
Harus
jujur disampaikan, kesadaran akan kepemimpinan kontekstual selama ini masih
cukup lemah di kalangan masyarakat luas. Pembahasan tentang kepemimpinan masih
kerap mengacu kepada nilai-nilai primordial yang dijadikan pedoman oleh
masyarakat, seperti kesantunan, kelembutan, dan sebagainya. Padahal,
masalah-masalah yang ada tidak berhubungan secara langsung dengan nilai-nilai
primordial tersebut.
Meski
demikian, pilihan terhadap seorang pemimpin sejatinya memperhatikan kemampuan
dan kecakapannya dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
Dengan kata lain, kecakapan seorang pemimpin dalam menghadapi aneka persoalan
yang ada harus menjadi pertimbangan prioritas dalam memilih pemimpin (di
samping nilai-nilai primordial).
Apa
yang disampaikan ulama ternama, Ibnu Taimiyah, cukup memadai untuk memahami
kepemimpinan kontekstual. Dalam bukunya berjudul As-Siyasah As-Syar'iyyah, Ibnu Taimiyah membahas fondasi
kepemimpinan maupun pemerintahan. Menurut beliau, kepemimpinan maupun
pemerintahan mempunyai dua fondasi utama yang berlaku secara kontekstual, yaitu
kekuatan dan amanah (secara moral dan prilaku). Hal itu merujuk kepada beberapa
ayat Alquran seperti QS Qashash: 26, QS Yusuf: 54, dan QS At-Takwir: 19-21.
Dikatakan
dua fondasi tersebut berlaku secara kontekstual, karena kekuasaan ataupun
pemerintahan pada saat perang tidaklah sama dengan kekuasaan ataupun pemerintahan
ketika dalam keadaan damai dan tenteram. Dalam keadaan perang, kemampuan
mengalahkan lawan adalah kekuatan yang sangat dibutuhkan seorang pemimpin. Sebaliknya,
dalam keadaan damai dan tenteram, kejujuran seorang pemimpin jauh lebih
dibutuhkan daripada kecakapan dan kekuatan dalam berperang.
Persoalannya
ialah sangatlah jarang adanya so ok mumpuni dengan dua keistimewaan tersebut.
Ada seseorang yang mempunyai keistimewaan sosok amanah secara mumpuni, tetapi
yang bersangkutan cukup lemah dalam bidang pemerintahan dan perpolitikan.
Sebaliknya, ada seseorang yang cukup piawai dalam menjalankan roda
pemerintahan, tapi yang bersangkutan mempunyai jiwa amanah yang cukup lemah.
Dalam
kondisi demikian, menurut Ibnu Taimiyah, kekuatan dan amanah sebagai fondasi
utama kekuasaan harus diberlakukan secara kontekstual, sesuai dengan ruang
kekuasaan yang ada. Bila ruang kekuasaan yang ada lebih membutuhkan kepiawaian
dalam hal pemerintahan dan perpolitikan, sosok yang mempunyai kekuatan ini
lebih dikedepankan, walaupun kurang berjiwa amanah. Sebaliknya, apabila ruang
kekuasaannya membutuhkan amanah, yang dikedepankan ialah sosok yang berjiwa
amanah, meski tidak piawai dalam perpolitikan.
Imam
Ahmad bin Hanbal (salah satu imam empat mazhab fikih dalam Islam) pernah
mendapat pertanyaan tentang kepemimpinan dalam peperangan antara orang yang toleh (sedikit jahat), tapi kuat, dan
orang saleh, tapi lemah. Untuk menjawab pertanyaan itu Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan ke-toleh-an orang tersebut
akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kekuatannya akan kembali dan
berdampak baik untuk umat. Sebaliknya, kesalehan orang tersebut akan kembali
kepada dirinya sendiri, sedangkan kelemahannya akan kembali dan berdampak buruk
kepada umat. Dari sini Imam Ahmad bin Hanbal mengutamakan kepemimpinan orang toleh (dalam peperangan) asalkan kuat,
ketimbang orang saleh yang lemah.
Dari
apa yang telah disampaikan dapat ditegaskan, bangsa ini ke depan lebih
membutuhkan pemimpin kontekstual yang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan
sejumlah persoalan yang ada dalam waktu secepat mungkin. Walaupun, pemimpin
tersebut mungkin tidak terlalu sesuai dengan nilai-nilai kepemimpinan
primordial seperti kesantunan, kelembutan, dan hal-hal lain yang bersifat
kebaikan secara fisik. Mari kita songsong kepemimpinan kontekstual pada
momen-momen pemilu/pemilu kada ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar