Kebanggaan
Nasional
Jaya Suprana ; Budayawan Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 2
Juni 2012
Belum seabad setelah pengikraran Sumpah
Pemuda, saya berjumpa dengan anak-anak Indonesia yang dengan bangga mengaku tak
bisa berbahasa Indonesia. Hal itu akibat ia bersekolah di sekolah berpredikat
internasional, yang sama sekali tak mengajarkan bahasa Indonesia meski sekolah
itu berada di Jakarta yang terletak di wilayah RI.
Orangtua anak-anak Indonesia yang bangga
tidak bisa berbahasa Indonesia itu juga membenarkan pengakuan anak-anak mereka,
dengan alasan masa kini adalah masa globalisasi. Tampaknya mereka meyakini
bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan tahun 1928 sudah kedaluwarsa alias tidak
sesuai lagi dengan perubahan zaman yang kini sudah masuk era globalisasi.
Globalisasi
Karena dianggap tak bermanfaat untuk
kehidupan di era globalisasi ataupun akibat tidak ada peraturan yang
mewajibkan, banyak sekolah internasional di Indonesia tidak peduli dengan
kepentingan nasional Indonesia. Mereka tidak mengajarkan mata pelajaran
bermuatan Indonesia, seperti Sejarah, Geografi, Kesenian, dan Bahasa Indonesia.
Sementara banyak bangsa di dunia ini
menderita xenofobia— ketakutan terhadap segala sesuatu yang bersifat
asing—bangsa Indonesia malah menderita xenofilia—menggemari segala sesuatu yang
bersifat asing. Kurang jelas apa sebab musabab xenofilia. Namun, paling mudah
adalah mengambinghitamkan Belanda sebagai sang biang keladi.
Sebagai penjajah, Belanda sangat sadar bahwa
suatu bangsa akan sulit dijajah selama masih memiliki semangat kebanggaan
nasional. Maka, di samping politik memecah belah—devide et impera—Belanda juga
asyik mematahkan semangat kebanggaan nasional bangsa Indonesia.
Sayangnya, setelah berhasil memproklamasikan
kemerdekaan, ternyata bangsa Indonesia masih belum sudi melupakan ajaran kaum
penjajah: terus lestari gigih memuja-muja apa pun yang berasal dari luar
negeri.
Sistem kesehatan sepenuhnya dikuasai sistem
kesehatan kebudayaan asing. Sistem pendidikan sepenuhnya dikuasai oleh sistem
pendidikan asing, mulai dari TK, SD, sampai perguruan tinggi, yang namanya juga
serba asing, seperti akademi atau universitas. Upacara wisuda setia menggunakan
busana kebudayaan yang pada hakikatnya mirip badut.
Ilmu-ilmu pasti sampai ilmu sosial yang
diajarkan di perguruan tinggi juga didominasi ilmu asing. Maka, tidak ada
psikologi, sosiologi, atau filosofi Indonesia karena yang diajarkan cuma
teori-teori bikinan orang asing bernama Freud, Jung, Adorno, Weber, Plato,
Sartre, dan sejenis.
Karena kurangnya semangat kebanggaan nasional
itu pula, sementara negara tetangga sudah punya mobil nasional, Indonesia sudah
cukup bangga jadi negara perakit dan penjual mobil produk asing belaka. Bahkan,
gaya rambut pun asyik dipromosikan para pemangkas rambut Indonesia dengan
predikat gaya asing, akhir-akhir ini gaya Korea.
Kebudayaan
Perancis memiliki menteri kebudayaan yang
mandiri karena tak dicampur dengan kementerian lain. Mereka juga benar-benar
konsekuen mengurusi kebudayaan Perancis, termasuk bahasa Perancis. Maka, ketika
Celine Dion yang warga negara Kanada mengunjungi Paris untuk menggelar konser
dengan lagu-lagu berbahasa Perancis, ia sempat diundang oleh Presiden Perancis
(waktu itu) Sarkozy ke istana kepresidenan untuk menerima penghargaan atas
jasa-jasa menggunakan bahasa Perancis.
Tampaknya, Sekretariat Negara dan protokol
kepresidenan RI juga tidak kalah dalam semangat kebanggaan nasional. Sebab,
mereka selalu berusaha memaksakan Kepala Negara RI menggunakan bahasa Indonesia
dalam pidato-pidato kenegaraan dalam upacara kenegaraan skala internasional
yang diselenggarakan di bumi Indonesia.
Sungguh sayang jika generasi muda Indonesia
secara sistematis dididik dan dipersiapkan untuk menjadi antek imperialisme
bangsa asing demi menjunjung karsa dan karya kebudayaan asing setinggi langit
sambil tidak menghiraukan, bahkan melecehkan, karsa dan karya kebudayaan bangsa
sendiri. Maka, Lady Gaga lebih dipuja ketimbang Waljinah. Justin Bieber lebih
dikagumi ketimbang Melly Goeslaw. Hiphop dianggap jauh lebih keren ketimbang
dangdut yang dianggap kampungan.
Saya yang bangga pakai sarung yang begitu
dikagumi di mancanegara malah dianggap aneh, bahkan janggal di negeri sendiri.
Ketika berhasrat menggelar wayang orang di panggung Sydney Opera House (SOH)
bersama kelompok seniman wayang Bharata, banyak pihak sebangsa dan senegara
sendiri justru menganggap hasrat saya akan mempermalukan Indonesia. Sebab, kata
mereka, wayang orang adalah kesenian kampungan. Mujur, yang memuji pergelaran
wayang orang di SOH sebagai salah satu pergelaran terbaik sepanjang sejarah SOH
malah manajer produksi SOH, warga negara Australia.
Kebanggaan Nasional
20 Mei resmi dinobatkan sebagai Hari
Kebangkitan Nasional karena secara politis dan militer bangsa Indonesia sudah
bangkit menjunjung tinggi kedaulatan negara dan bangsanya. Semangat kebangkitan
nasional tidak perlu diragukan. Yang masih perlu dikobarkan adalah semangat
kebanggaan nasional bangsa Indonesia untuk mulai benar-benar bangga atas
kebudayaan bangsa dan negara sendiri.
Sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit sebenarnya
sudah terbukti bangsa ini benar-benar layak dibanggakan sebagai salah satu
karsa dan karya kebudayaan unggul. Semua itu tersirat dan tersurat di syair
awal lagu ”Indonesia Pusaka”, mahakarya pujangga musik Indonesia, Ismail
Marzuki: Indonesia Tanah Air beta/pusaka abadi nan jaya/Indonesia sejak dahulu
kala, s’lalu dipuja-puja bangsa... Merdeka!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar