Penjelasan
Kementerian Pertanian tentang Pemborosan Anggaran Food Estate Ima Dini Shafira : Jurnalis
Tempo |
KORAN TEMPO, 12 Juli 2022
LAPORAN hasil pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pelaksanaan program food estate
menyudutkan Kementerian Pertanian. Proyek lumbung pangan di Kabupaten Pulang
Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menjadi salah satu sorotan
dalam audit tersebut. Dalam laporannya, BPK menilai
ada potensi pemborosan anggaran dan kelebihan pembayaran pada intensifikasi
dan ekstensifikasi lahan, dua kegiatan utama Kementerian Pertanian dalam
program food estate di Kalimantan Tengah. Permasalahan ini terutama ditemukan
pada pelaksanaan proyek yang dikerjasamakan dengan Komando Resor Militer
102/Panju Panjung, TNI Angkatan Darat. Ditemui Agoeng Wijaya dan
Ima Dini Safhira dari Tempo, Senin, 11 Juli 2022, Direktur Perluasan dan
Perlindungan Lahan Ditjen pada Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian (PSP), Erwin Noorwibowo, menjelaskan duduk persoalan tersebut.
Sepanjang wawancara, Erwin didampingi Sekretaris Direktorat Jenderal PSP,
Hermanto; Direktur Pupuk dan Pestisida, Muhammad Hatta; serta Inspektur II
Raswad. Di Kementerian Pertanian, proyek food estate di Kalimantan Tengah ini
menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal PSP. Mengapa
pekerjaan proyek food estate melibatkan tentara? Kami menganggap TNI secara
teknis mampu melaksanakan konstruksi food estate. Kan mereka ada Direktorat
Zeni Angkatan Darat, bagian konstruksi. Badan ini antara lain berhubungan
dengan hal teknis. Apa
peran mereka? TNI melaksanakan kegiatan
olah tanah siap tanam. Jadi, dari proses land clearing, levelling, sampai
irigasi. Kemudian diakhiri dengan penyiapan lahan siap tanam. Kalau sudah
siap, tinggal petani yang menanam. Kami juga mengevaluasi, dari target lahan
siap tanam, ternyata ada yang belum selesai. Kami minta komitmen mereka untuk
menyelesaikan pekerjaan ini, apalagi sekarang musim kemarau. Harapannya bisa
ngebut mengerjakan food estate sesuai dengan tahapan pelaksanaan sampai tanah
siap tanam. Tapi BPK menemukan banyak
masalah pertanggungjawaban biaya pekerjaan pada kegiatan tersebut. Korem
102/Panju Panjung juga tak memenuhi permohonan penjelasan dan dokumen dari
BPK… Mengenai temuan BPK,
sebagai contoh, pada saat pinjam alat, ada prosedurnya, apakah melalui lelang
atau penunjukan langsung. Kami memerlukan pihak TNI maupun pelaksana lain
dari luar. Itu harus ada surat perintah kerja dan dokumen lainnya. Nah,
bukti-bukti kelengkapan itulah yang terkadang mereka lalai menyiapkannya.
Sudah kami sampaikan agar tertib administrasi. Hasil rekap sudah dikumpulkan
dan kami serahkan ke BPK. Temuan BPK sudah kami tindaklanjuti secara
bertahap. Tetap di-review oleh teman-teman dari Inspektorat Jenderal. Mana
(bukti) yang bisa diterima, ya diterima. Kalau enggak, ya enggak. Ada
potensi pemborosan senilai Rp 129,2 miliar yang disebabkan oleh kegiatan
ekstensifikasi bersama TNI di Blok B, C, dan D eks pengembangan lahan gambut
(PLG). Sedangkan fokus pekerjaan pada 2021 semestinya hanya di Blok A.
Bagaimana Anda menjelaskan masalah ini? Angka itu potensi. Jadi,
ketika kami membuka lahan, apabila lahan ini sampai tidak tertanam, kerugian
negara potensinya segitu. Jadi,
mengapa kegiatan justru di blok yang bukan menjadi fokus pekerjaan food
estate? Memang benar bahwa
pekerjaan ini disebarkan merata. Kenapa? Sedikit sejarahnya, bahwa ini ada
pelaksanaan kegiatan di Blok A, B, C, dan D. Ini sudah disepakati dengan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Mereka juga akan melaksanakan
pekerjaan di seluruh wilayah blok pada Januari 2021. Kami mengikuti itu. Kami
buat survei, investigasi, dan desain (SID). Karena kegiatan kami harus segera
dimulai, khususnya intensifikasi, tidak bisa menunggu. Bergeraklah kami
mengolah tanah di lokasi tersebut. Lokasi ekstensifikasi yang sudah ada SID
juga bergerak. Tiba-tiba ada perubahan
fokus kegiatan pada Mei 2021. Hanya di Blok A. Kami diminta berfokus di situ.
Karena itu, PUPR juga menarik pekerjaannya, membatalkan di proyek, selain
Blok A. Ini menjadi kendala karena kami telanjur bergerak. Tapi kami sudah
berkoordinasi dengan PUPR, bahwa PUPR akan segera mengerjakan di luar Blok A.
Mungkin tahun ini. Mudah-mudahan lokasi-lokasi yang sebelumnya tidak bisa
terolah menjadi bisa terolah. Banyak
sawah hasil ekstensifikasi tak bisa segera ditanami. Apa kendalanya? Kemarin ada permasalahan
besar di lapangan. Curah hujan tinggi, infrastruktur belum lengkap. TNI sudah
selesai clearing dan levelling lahannya, tapi belum bisa olah tanah karena
lahan masih terendam air. Banyak
juga masyarakat yang bingung dengan lokasi lahan mereka setelah dibuka
menjadi sawah baru. Sebagian masyarakat punya kebiasaan berladang, bukan
menanam padi. Bagaimana memastikan semua ini tak menjadi masalah di kemudian
hari? Salah satu target kami
adalah petani menerima lahannya masing-masing. Karena pada awal pengerjaan
ada pengukuran yang nantinya dibuat oleh pelaksana. Mereka akan berkoordinasi
dengan petani untuk membagikan lahan mereka semula sesuai dengan hasil
pengukuran tadi. Saat ini masih on progress. Dalam ekstensifikasi, ada
kegiatan survei, investigasi, dan desain. Soal mereka yang masih belum
terlalu familier, akan ada penyuluh. Kami melihat lokasi itu rata-rata pasti
dekat dengan sawah existing untuk percontohan mereka. Di
Desa Pilang, Pulang Pisau, pupuk menumpuk berbulan-bulan. Benih juga sudah
kedaluwarsa. Sedangkan lahan yang dibuka belum selesai. Mengapa begitu?
Apakah kualitas pupuknya tidak turun? Itu menjadi salah satu
kendalanya. Kenapa belum dipakai? Ya, karena masyarakat menunggu air genangan
di lahan itu turun. Dolomit itu akan segera digunakan ketika petani mengolah
tanah. Kami imbau supaya pupuk dijaga, minimal diberi terpal. Soal kualitas
pupuknya, nanti kami kaji lagi dari segi teknis bagaimana. Sepertinya masih
bisa dipakai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar