Pembukaan Sawah Baru
Food Estate oleh TNI Dinilai Boros Anggaran Agoeng Wijaya : Jurnalis
Tempo |
KORAN TEMPO, 12 Juli 2022
SUDAH sebulan Rusli
puyeng. Kepala Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah, itu terus-terusan mendapat keluhan dari warganya. Mereka
adalah kelompok tani yang lahannya baru kelar dibuka lewat pekerjaan
ekstensifikasi, bagian dari proyek food estate Kalimantan Tengah. Masyarakat
meminta Rusli memikirkan bagaimana cara agar alat berat yang dulu membuka
lahan itu bisa kembali ke lahan lokasi proyek. "Bingung juga saya karena
kan enggak semudah itu," kata Rusli kepada Tempo, Senin, 11 Juli 2022. Akar masalahnya ada di
lahan seluas 218 hektare yang baru kelar disulap menjadi calon sawah baru
beberapa waktu lalu di sisi selatan kawasan permukiman desa. Kondisi lahan
yang akan dikelola lima kelompok tani itu dinilai masih jauh dari layak
disebut sebagai sawah. "Tanggul belum rapi, bekas tebangan kayu masih di
lokasi, jalan usaha tani dan irigasi juga belum ada," kata Rusli.
"Sedangkan kontraktor pelaksana sudah pindah ke lokasi pembukaan lahan
berikutnya." Rusli dan warganya bingung
apakah lahan semacam itu yang dimaksud oleh pemerintah, ketika masa
sosialisasi dulu, sebagai sawah siap tanam. "Dulu kami semangat karena
katanya tinggal tanam. Kami mengira akan mudah," ujar Rusli. "Kalau
tahu begini jadinya, kami dulu minta target luasan dikurangi saja." Desa Pilang, sekitar 30
menit perjalanan darat dari Kota Palangka Raya, menjadi salah satu lokasi
pembukaan sawah baru alias ekstensifikasi food estate Kalimantan Tengah.
Lahan seluas 218 hektare yang kelar dibuka tersebut merupakan bagian dari
rencana sawah baru Desa Pilang seluas total 1.060 hektare untuk 17 kelompok
tani. Calon sawah-sawah baru itu
tersebar di sisi selatan, timur, dan utara pusat desa. Meski sebagian
wilayahnya beririsan dengan area Blok C eks pengembangan lahan gambut (PLG),
menurut Rusli, lahan-lahan yang akan dijadikan sawah baru kali ini berada di
luar bekas area proyek era Orde Baru tersebut. Kebanyakan lahan itu merupakan
tanah yang sudah lama ditinggalkan para pendahulu masyarakat Desa Pilang. Kamis, 7 Juli lalu, tim
Tempo sempat menengok salah satu lahan hasil ekstensifikasi di Desa Pilang.
Perlu 15 menit menaiki perahu kelotok untuk menuju hamparan sawah baru di
tepi Sungai Kahayan tersebut. Ranting-ranting kayu bekas pembukaan lahan
berserakan di mana-mana. Genangan air juga memenuhi lahan tersebut. Di pusat desa, yang
terletak tak jauh dari tepi Jalan Trans Kalimantan dari Palangka Raya menuju
Pulang Pisau, tumpukan karung pupuk nitrogen, fosfor, dan kalium (NPK)
tersebar di beberapa lokasi. Ada juga karung kapur dolomit yang biasa dipakai
untuk menetralkan keasaman tanah. Semuanya ditutup terpal biru yang usang dan
mulai sobek di sana-sini. Di tengah ketidakpastian
soal kelayakan hasil land clearing menjadi sawah baru pada proyek food
estate, tiga dari lima kelompok tani yang lahannya telah dibuka mencoba
peruntungan. Mereka berencana memulai penanaman atas saran tenaga penyuluh
pertanian. "Dua kelompok tani tidak mau karena lahan masih begitu,"
kata Rusli. Menurut dia, benih yang
akan ditanam dibeli secara swadaya. Bantuan benih dari pemerintah, yang datang
hampir bersamaan dengan pupuk sekitar November tahun lalu, telah kedaluwarsa.
"Benih kedaluwarsa sudah ditumbuk, dijadikan pakan terbak, lalu dijual
buat beli benih baru," kata Rusli. Meski mendukung keputusan
tiga kelompok tani di wilayahnya tersebut, Rusli tetap diliputi keraguan
bahwa inisiatif itu bakal menghasilkan. "Karena tingkat keterampilan
mereka, sebenarnya kebiasaan kami itu berladang," ujarnya. "Apalagi
di lahan baru seperti itu. Harapan saya, fasilitas pendukungnya segera
dibangun. Tapi entah, mungkin tahun depan." Kegiatan ekstensifikasi
merupakan satu dari kegiatan utama Kementerian Pertanian dalam program food
estate di Kalimantan Tengah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada Juni
2020. Selain melakukan ekstensifikasi, Kementerian Pertanian bertugas
meningkatkan kemampuan lahan pertanian yang telah ada atau intensifikasi. Sejak awal, rencana
pelaksanaan proyek strategis nasional yang melibatkan banyak kementerian dan
lembaga tersebut menuai kritik karena rentan gagal. Program yang dibiayai
anggaran negara ini dilaksanakan di bekas area PLG, proyek pemerintahan
Presiden Soeharto yang pada 27 tahun lalu berakhir berantakan. Kini, dua tahun berjalan
pada periode kedua pemerintahan Jokowi, program tersebut kembali menjadi
sorotan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam laporan hasil pemeriksaan atas
pelaksanaan program food estate yang dipublikasikan pada Juni lalu,
mengungkap seabrek permasalahan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah; Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; dan
Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.
Pada proyek food estate di
Kalimantan Tengah, auditor mencatat besarnya potensi pemborosan anggaran.
Pekerjaan ekstensifikasi, yang dilakukan Kementerian Pertanian dengan menggandeng
Komando Resor Militer 102/Panju Panjung, ada di tengah persoalan tersebut. Audit
BPK Ungkap Potensi Pemborosan Anggaran Masalah yang dihadapi
Rusli dan warga Desa Pilang sebenarnya juga dialami sejumlah desa di Kapuas
dan Pulang Pisau, yang sebelumnya menjadi lokasi ekstensifikasi pada 2020 dan
2021. Selama dua tahun anggaran tersebut, seperti disebutkan dalam laporan
BPK, Kementerian Pertanian menggeber pembukaan sawah baru di lahan seluas
total 16,65 ribu hektare. Target pekerjaan tersebar di Blok A, B, C, dan D
eks PLG, serta di luar eks PLG. Persoalannya terjadi
setelah pada Mei 2021 rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian
memutuskan pekerjaan intensifikasi dan ekstensifikasi difokuskan pada Blok A
eks PLG saja. Keputusan itu juga diikuti Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, yang semestinya bekerja beriringan dengan Kementerian
Pertanian dalam penyiapan berbagai fasilitas infrastruktur pendukung di
lokasi proyek food estate. Akibatnya, lokasi
ekstensifikasi di Blok B, C, dan D eks PLG serta di luar eks PLG menjadi
bermasalah. Kegiatan pembukaan sawah baru di lokasi tersebut, yang totalnya
seluas 8.075 hektare dengan biaya, berpotensi tak dapat dimanfaatkan untuk
budi daya pertanian yang optimal karena tak ada infrastruktur air yang
memadai. Pemeriksaan fisik tim
pemeriksa BPK pada Oktober 2021 memperkuat temuan tersebut. Kala itu, dalam
catatan auditor, sedikitnya 1.937 hektare lahan sawah baru di 16 desa
berisiko tak bisa segera ditanami setelah pekerjaan ekstensifikasi usai. Infrastruktur
tata kelola air di lahan tersebut tak berfungsi karena saluran irigasi
sekunder dipenuhi sedimentasi dan tumbuhan air. Lahannya juga terendam, tidak
dapat membuang kelebihan air. Permasalahan itu bisa
merembet ke urusan biaya. BPK menghitung, total nilai pekerjaan di lokasi
ekstensfikasi yang berpotensi tak dapat dimanfaatkan dan menjadi pemborosan
anggaran itu mencapai Rp 129,2 miliar. Angka tersebut dihitung dari harga
satuan pekerjaan dalam perjanjian antara Dinas Pertanian Kabupaten Pulang
Pisau dan Komando Resor Militer 102/Panju Panjung, satuan teritorial TNI
Angkatan Darat untuk wilayah Kalimantan Tengah yang beroperasi di bawah Kodam
XII/Tanjungpura. Perjanjian yang diteken pada Mei 2021 itu menyepakati harga
satuan pekerjaan senilai Rp 16 juta per hektare untuk kegiatan seluruh lokasi
target ekstensifikasi di Pulang Pisau dan Kapuas. Penentuan harga satuan
pekerjaan yang dipukul rata itu juga dipersoalkan BPK. Semestinya, harga
satuan pekerjaan disesuaikan dengan volume pekerjaan di setiap lokasi proyek.
Perhitungannya merujuk pada analisis harga satuan pekerjaan (AHSP), standar
harga satuan (SHS) di setiap kabupaten, dan harga satuan riil hasil survei.
Dalam catatan BPK, jika ditetapkan sesuai dengan ketentuan, harga satuan
pekerjaan ekstensifikasi di setiap lokasi berbeda-beda pada rentang Rp 11-28
juta per hektare. Gara-gara harga satuan
yang dipukul rata itu, total nilai kontrak pekerjaan di calon sawah baru
seluas 16,6 ribu hektare ini mencapai Rp 266,29 miliar. Sedangkan jika harga
disesuaikan dengan kondisi lokasi proyek, BPK menghitung, anggaran kegiatan
semestinya cuma Rp 242 miliar. Selisih hitungan ini, yang sebesar Rp 24,28
miliar, dianggap sebagai potensi kelebihan pembayaran. Ada juga potensi
kelebihan pembayaran akibat kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 12,17
miliar yang disebabkan oleh lokasi pekerjaan ditengarai merupakan lahan sawah
existing. Semua temuan itu memang
baru hitungan di atas kertas. Namun audit BPK juga mengungkap persoalan lain
dari pekerjaan yang dilakoni tentara. Realisasi biaya sedikitnya senilai Rp
15,77 miliar untuk sarana-prasarana kegiatan, misalnya, dinilai tak sesuai
dengan peraturan pengadaan barang dan jasa serta pedoman swakelola. Temuan realisasi biaya
yang tak sesuai dengan ketentuan itu mencuat setelah diketahui bahwa
pekerjaan land clearing dan land levelling dilakoni oleh pihak ketiga.
Pengadaan bahan bakar minyak dan sewa alat berat yang berbiaya tinggi,
misalnya, dilaksanakan oleh PT IPP. Penunjukan pihak penyedia barang ini
dipilih langsung oleh Komandan Korem 102/Panju Panjung. Pembayaran invoice
senilai Rp 15,77 miliar juga dilakukan secara tunai. BPK mencatat, dalam
periode pemeriksaan, total realisasi pembayaran untuk pekerjaan
ekstensifikasi di Pulang Pisau dan Kapuas mencapai Rp 140,02 miliar.
Masalahnya, pembayaran per tahapan pekerjaan itu dilakukan tanpa adanya
laporan kemajuan proyek. Kepada pemeriksa BPK, tim
pengawas Dinas Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas membenarkan tak adanya
evaluasi dan pelaporan mingguan, baik jadwal, penggunaan alat berat, maupun
tenaga kerja. Laporan harian, mingguan, dan bulanan secara berjenjang ke
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian pun nihil. Pembayaran
hanya merujuk pada laporan dari Korem 102/Panju Panjung yang tak didukung dokumen
perhitungan volume pekerjaan terpasang. Auditor menyatakan telah
meminta penjelasan dan dokumen-dokumen pelaksanaan kerja sama tersebut kepada
Korem 102/Panju Panjung. "Namun, sampai pemeriksaan berakhir, Komandan
Korem 102/ Panju Panjung tidak bersedia memberikan penjelasan dan tidak
memberikan dokumen tersebut," demikian pernyataan BPK dalam laporan
hasil pemeriksaan program food estate di Kementerian Pertanian. Tak adanya evaluasi dan
pelaporan hasil pekerjaan ini juga terjadi pada pekerjaan senilai Rp 8,99
miliar dalam kegiatan intensifikasi yang melibatkan militer. Lagi-lagi,
pengaturan upah pengolahan lahan di kegiatan ini juga diserahkan kepada Korem
102/Panju Panjung. Dari angka tersebut, BPK menemukan realisasi pembayaran
berupa uang makan dan uang transportasi Bintara Pembina Desa (Babinsa)
senilai Rp 5,47 miliar yang tak sesuai dengan pedoman swakelola. Adapun
sisanya, senilai Rp 3,51 miliar, berupa biaya sarana prasarana kegiatan
intensifikasi yang pertanggungjawabannya tak sesuai dengan ketentuan. Hingga kemarin, Markas
Besar TNI Angkatan Darat, yang membawahkan Korem 102/Panju Panjung, tidak
dapat menanggapi temuan BPK soal pelaksanaan kegiatan tentara pada proyek
food estate di Kalimantan Tengah. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat,
Brigadir Jenderal Tatang Subarna, menyatakan masih menghimpun data lantaran
temuan itu berhubungan dengan pekerjaan pada 2021. "Dan pejabatnya
(Komandan Korem 102/Panju Panjung) sudah ganti," kata Tatang kepada
Tempo. Direktur Perluasan dan
Perlindungan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Erwin
Noorwibowo, tak menampik berbagai temuan BPK tersebut. Menurut dia, beberapa
temuan potensi pemborosan dalam kegiatan ekstensifikasi disebabkan oleh audit
BPK yang digelar ketika pekerjaan masih berlangsung. Dia tak menampik adanya
persoalan pada bukti pertanggungjawaban pelaksanaan pekerjaan di tangan Korem
102/Panju Panjung. "Bukti kelengkapan itu yang terkadang mereka (Korem
102/Panju Panjung) lalai menyiapkannya," kata Erwin saat ditemui di
kompleks Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Senin, 11 Juli
2022. Namun dia memastikan
Kementerian Pertanian telah membenahi berbagai permasalahan dalam temuan BPK
itu. "Kementerian telah merespons dan menindaklanjuti temuan BPK, baik
pada kegiatan intensifikasi maupun ekstensifikasi," ujar Erwin.
"Kami telah memberikan klarifikasi secara tertulis dan menyampaikan data
disertai bukti-bukti yang dipersyaratkan BPK." Erwin menuturkan
penunjukan Korem 102/Panju Panjung sebagai pelaksana kegiatan dalam proyek
food estate di Kalimantan Tengah itu mempertimbangkan kemampuan TNI Angkatan
Darat, yang juga memiliki Direktorat Zeni Angkatan Darat (Ditziad).
"Secara teknis, (Ditziad) mampu melaksanakan konstruksi food estate
ini," kata Erwin. Sekretaris Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian, Hermanto, menambahkan bahwa beratnya kondisi di lokasi proyek
memerlukan pelaksana pekerjaan yang bisa segera bergerak. Bibit
Masalah Sejak Seleksi Calon Sawah Baru Bibit semrawutnya kegiatan
pembukaan lahan untuk sawah baru ini ditengarai telah disemai sejak
pelaksanaan kegiatan survei, investigasi, dan desain (SID). Tahapan ini
dilakukan untuk menilai layak atau tidaknya suatu lahan dijadikan lokasi
ekstensifikasi. Pekerjaan ini dilakoni tim Universitas Palangka Raya, melalui
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), yang bertindak
sebagai pelaksana dengan mekanisme swakelola. Kepada Tempo, seorang
mantan pelaksana kegiatan survei food estate Kalimantan Tengah mengungkapkan,
kegiatan pengecekan lapangan di desa-desa target pada tahun lalu diburu
waktu. Tim pelaksana SID dibentuk pada Maret 2021. Dalam kurun setengah
tahun, survei ditargetkan bisa mendapatkan sekitar 22 ribu hektare lahan yang
siap disulap menjadi sawah baru. Penilaian dalam survei dan
investigasi itu, kata dia, dilakukan terhadap berbagai indikator kelayakan
kondisi lain, termasuk masalah sosial, seperti ada atau tidaknya potensi
konflik sosial. Namun, gara-gara dikejar target, berbagai persyaratan itu
hanya bergigi di atas kertas. Dalam praktiknya, menurut sumber Tempo, banyak
lahan yang sebenarnya tak memenuhi indikator kelayakan justru ditetapkan
sebagai calon lokasi sawah baru. "Ada daerah dengan kedalaman gambut 1,5
meter diloloskan, padahal ada syarat maksimal kedalaman 1 meter,"
ujarnya. Di lapangan, dia
bercerita, waktu yang mendesak agaknya juga dihadapi pelaksana kegiatan
pembukaan lahan. Pada beberapa kali kejadian, kontraktor berikut alat
beratnya sudah datang ke lokasi target kendati survei di tempat yang sama
belum tuntas. "Padahal semestinya ada penilaian akhir lebih dulu. Tidak
tahu juga bagaimana hasilnya," kata mantan anggota staf Universitas
Palangka Raya tersebut. BPK, dalam laporan hasil
pemeriksaan atas proyek food estate, sebenarnya juga menyoroti pelaksanaan
kegiatan SID ini. Auditor menilai dokumen dan proses penyusunan kerangka
acuan kerja SID belum sesuai dengan ketentuan. Hal yang sama juga terjadi
pada realisasi biaya serta pertanggungjawaban hasil pekerjaan survei,
investigasi, dan desain. Laporan BPK menyebutkan
pembayaran untuk seluruh kegiatan SID telah terealisasi sepenuhnya senilai Rp
15 miliar. Ini merupakan nilai kontrak baru setelah sebelumnya hanya senilai
Rp 11,25 miliar. Masalahnya, auditor menilai kesesuaian seluruh biaya tersebut
terhadap kebutuhan proyek tidak dapat diukur. Kerangka acuan kerja, misalnya,
hanya mengatur kualifikasi tim SID tanpa ada kejelasan berapa jumlah personel
yang dibutuhkan. Akibatnya, BPK menemukan
seabrek masalah pada realisasi biaya miliaran rupiah dalam kegiatan SID, dari
personel, sewa kendaraan, hingga pengadaan peralatan. Pertanggungjawaban
hasil pekerjaan itu pun dinilai tak memenuhi ketentuan. Kepada BPK, seperti
tertulis dalam laporan hasil audit program food estate di Kementerian Pertanian,
pelaksana kegiatan SID pada LPPM Universitas Palangka Raya menyatakan
berbagai masalah itu terjadi karena ketidaktahuan dan tak adanya penjelasan
dalam petunjuk teknis. "Pelaksana pekerjaan SID didesak untuk segera
menghasilkan desain ekstensifikasi karena Kementerian Pertanian ingin segera
melaksanakan pekerjaan fisik pembukaan lahan dan dilaksanakan hampir secara
bersamaan dengan pelaksanaan desain," demikian laporan BPK, merujuk pada
penjelasan pelaksana survei, investigasi, dan desain tersebut. Adapun Erwin Noorwibowo
juga menegaskan bahwa kegiatan ekstensifikasi food estate di Kalimantan
Tengah telah disertai survei, investigasi, dan desain yang disusun dengan
berbagai kriteria penilaian yang ketat. Kendati begitu, kata dia, dalam SID
pasti ada yang tak sempurna. "Ini kan nanti di-review terus. Namanya SID
bukan harga mati, di lapangan disesuaikan dengan kondisi," kata Erwin,
kemarin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar