Menahan
Inflasi Jaga Daya Beli Editorial
:
Administrator Media Indonesia |
MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2022
LONJAKAN harga komoditas pangan dan energi di tingkat global
mulai berdampak ke Indonesia. Dampaknya ialah inflasi atau kenaikan harga
umum per Juni 2022 mencapai 4,35%, tertinggi dalam lima tahun terakhir dan
telah melampaui target inflasi sebesar 3% plus minus 1% tahun ini. Banyak faktor yang memengaruhi terkereknya inflasi di Indonesia.
Yang dominan ialah tekanan global akibat situasi perang Rusia-Ukraina yang
telah menyulut kenaikan harga komoditas. Situasi ini masih bisa berlangsung
hingga tahun-tahun mendatang. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memperkuat koordinasi dalam
menyinkronkan kebijakan demi pengendalian inflasi. Para pemangku kebijakan
harus bisa meredam tingginya tekanan inflasi global sehingga daya beli
masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap dapat
dijaga. Di sisi lain, keuangan negara tidak bisa terus-terusan
menanggung beban subsidi akibat lonjakan harga minyak dunia. Dengan kondisi
saat ini, total subsidi yang ditanggung anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) tahun ini diproyeksikan mencapai Rp578,1 triliun. Sebuah situasi dilema yang kini dihadapi pemerintahan Joko
Widodo-Ma'ruf Amin. Apakah akan terus membiarkan subsidi melonjak atau
menjaga daya beli masyarakat yang dibayangi tsunami inflasi? Jika harga bahan bakar minyak (BBM) dipertahankan, subsidi bakal
terus membengkak. Sebaliknya, jika dilepas ke harga pasar, inflasi pasti
menanjak. Pemerintah jelas dituntut untuk tidak mengambil salah satunya.
Yang perlu dipikirkan ialah menjaga daya beli masyarakat dengan mengontrol
inflasi di satu sisi, juga harus mengelola subsidi agar tepat sasaran di sisi
lainnya. Jika subsidi ratusan triliun tersebut dibiarkan untuk menahan
harga energi, potensi tidak tepat sasaran sangat besar. Subsidi ditengarai
hanya untuk memanjakan warga masyarakat mampu yang semestinya tidak berhak
menikmatinya. Saat ini, harga minyak brent melampaui US$100 per barel, yang membuat
sejumlah negara pun mau tak mau mengerek harga BBM. Kondisi ini jelas
memberatkan keuangan negara. Pasalnya, lebih dari separuh kebutuhan BBM dalam
negeri yang mencapai 1,5 juta barel per hari masih diimpor. Yang jelas, penaikan harga BBM tidak akan membuat senang
masyarakat. Hal itu karena efek dominonya akan membuat harga-harga komoditas
kian melambung. Dalam konteks itulah dipahami kebijakan penaikan harga BBM
nonsubsidi mulai 10 Juli 2022. Belum lagi dampak penaikan harga gas elpiji
nonsubsidi Rp2.000 per kilogram, yang juga telah menekan daya beli rakyat. Urusan elpiji ini juga perlu mendapat atensi pemerintah agar
tidak ada persoalan dalam pelaksanaannya, terutama dampak penyelewengan
seperti praktik pengoplosan dan memantik konsumen pengguna elpiji nonsubsidi
pindah ke elpiji bersubsidi. Namun, jika ketidakpastian global akibat perang Rusia-Ukraina
masih terus terjadi, tentu harga-harga komoditas pangan dan energi tidak bisa
ditahan. Karena, jika dipaksakan, subsidi akan terus membengkak dan defisit
APBN bakalan jebol. Jika memang harga-harga komoditas dilepaskan ke harga pasar,
rakyat perlu paham beban APBN. Sebaliknya pemerintah juga harus memikirkan
kondisi masyarakat dengan mengeluarkan kebijakan yang bisa menjadi bantalan
ekonomi agar daya beli terjaga. Selain itu, pemerintah pun harus lebih selektif dalam melakukan
pembangunan. Proyek yang membutuhkan modal besar, tapi urgensinya tidak
mendesak, bisa ditunda hingga kondisi ekonomi stabil. Urusan perut dan hajat
hidup rakyat jelas lebih genting jika dibandingkan dengan pembangunan proyek
lainnya. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2706-menahan-inflasi-jaga-daya-beli |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar