Kepala BP2MI Benny Rhamdani tentang
Nasib Pekerja Migran di Malaysia Abdul Manan ; Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 2
Juli
2022
PEKERJA migran
menjadi topik perbincangan hangat setelah ada laporan pekerja yang meninggal
dan mengalami penyiksaan selama berada di rumah detensi imigrasi di Sabah,
Malaysia. Tim Pencari Fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mendapatkan
data 149 pekerja migran Indonesia diduga meninggal karena perlakuan tidak
manusiawi tersebut. Koalisi kemudian menggelar demonstrasi di depan Kedutaan
Besar Malaysia sebagai protes. Kepala Badan
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani tak mendapat
laporan langsung mengenai kasus tersebut. Namun ia mengakui adanya praktik
tidak manusiawi itu dari pemeriksaan terhadap pekerja migran yang dideportasi
dari Malaysia. “Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk membicarakan
masalah ini atau memaksa Malaysia duduk bersama,” katanya dalam wawancara
secara daring dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, pada Jumat, 1 Juli lalu.
Dia meminta klarifikasi Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Benny menyatakan
perlakuan tidak manusiawi terhadap pekerja migran ini bukan hal baru dan
banyak terjadi. Dari data BP2MI, banyak kasus yang menimpa mereka yang
berangkat secara tidak resmi atau ditempatkan secara ilegal. Sejak memimpin
organisasi ini dua tahun lalu, ia berusaha memerangi sindikat penempatan
pekerja migran ilegal itu. Berikut ini petikan wawancaranya. Dari
mana Anda mendapat laporan mengenai kasus pekerja migran Indonesia di
Malaysia? Saya justru
mendapatkannya dari berita. Kebiasaan saya, setiap kali ada masalah, misalnya
mendapat kabar dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau hotline kami atau
berita, saya bagi ke direktorat di BP2MI untuk ditindaklanjuti. Dalam kasus
itu, saya ambil langkah bertemu dengan pejabat Kedutaan Besar Malaysia di
Jakarta pada Kamis pagi (30 Juni 2022). Setelah itu, saya menemui satu organ
KBMB, yaitu Solidaritas Perempuan. Apa
yang disampaikan pejabat Kedutaan Malaysia? Soal angka 149
(pekerja Indonesia yang diduga meninggal di Sabah) itu diakui ada kesalahan
pihak Malaysia. Angka 149 itu jumlah keseluruhan tenaga kerja asing yang
meninggal. Dari Indonesia 18. Pertanyaannya, mau 149 atau 18, itu diakibatkan
kekerasan atau bukan? Itu butuh investigasi. Malaysia tidak mengakui (mereka
meninggal) karena kekerasan. Duta Besar RI di Malaysia, Hermono, juga
menyatakan mereka meninggal karena penyakit bawaan atau Covid-19. Saya katakan ke
koalisi LSM, menurut data BP2MI, dari 2020 sampai awal Juni 2022, 848
(pekerja Indonesia) meninggal dari Malaysia dan yang sakit 2.027 orang. Ini
menjadi tanggung jawab BP2MI setelah pekerja tiba di Tanah Air. Mandat
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia juga penting disampaikan. Sebab, dalam persepsi publik, seolah-olah
di mana pun pekerja migran berada dan apa pun masalahnya, itu tanggung jawab
BP2MI. Kan, pembagian tugasnya jelas. Selama mereka di luar negeri, yang
disebut warga negara Indonesia, yang di dalamnya ada pekerja, pelajar, dan
mahasiswa Indonesia, itu tanggung jawab perwakilan RI. Dalam
kasus Sabah, itu tanggung jawab Kementerian Luar Negeri? Yang kami tangani
yang mengalami masalah ekonomi, sosial, hukum, atau yang disebut “pekerja
migran terkendala”, setiba mereka di Indonesia. Misalnya ada jenazah dari
luar negeri dikirim oleh perwakilan. Tiba di Tanah Air, itu jadi tanggung
jawab kami sampai diantar ke rumahnya. Begitu juga kalau overstay, diputus
sepihak oleh majikan, atau menghadapi masalah ekonomi atau hukum. Kalau dia
di luar negeri, ditangani Kementerian Luar Negeri dalam penyediaan pengacara
selama menghadapi proses hukum sampai selesai. Banyak
pekerja migran yang dipulangkan karena berangkat tidak resmi. Itu juga
tanggung jawab BP2MI? Kalau BP2MI ketat
pada definisi "pelindungan". Dalam undang-undang tadi kan disebut
pekerja migran Indonesia. Itu dasarnya adalah yang dulu berangkat secara
resmi, yang namanya tercatat di sistem komputerisasi BP2MI. Faktanya, yang
masuk kategori pekerja migran terkendala itu 90 persen yang dulu (berangkat)
tidak resmi atau unprocedural. Makanya kami jadi repot di lapangan. Anggaran kami hanya
Rp 300 miliar per tahun, 64 persen untuk belanja pegawai. Kami punya 23 unit
pelaksana teknis di 23 provinsi dengan hampir 1.000 aparatur sipil negara.
Tiba-tiba ada (pekerja) yang berangkat tidak resmi mendapat masalah di luar
negeri, bebannya ke BP2MI. Hampir tiap tahun. Bulan keenam ini anggaran kami
untuk perlindungan habis. Rumah sakit sudah menagih. Utang kami ke Rumah
Sakit Polri mendekati Rp 2,5 miliar. Itu utang dari kegiatan tahun
sebelumnya, Ini yang mendorong
pada akhir Juni kami mengadakan diskusi kelompok terfokus dengan tema
"PMI Unprocedural Tanggung Jawab Siapa?". Kalau harus jadi beban
BP2MI, ya, enggak jadi masalah juga, tapi dukungan anggaran dan politik
anggarannya harus jelas. Selama ini anggaran pelindungan pekerja migran
ditarik ke perwakilan. Pekerja migran yang tercatat di sistem komputerisasi
kami 4,4 juta, sementara yang tak resmi 4,6 juta (menurut data Bank Dunia). Bagaimana
dengan dugaan perlakuan tidak manusiawi itu? Saya tidak pernah
mendapat informasi tentang peristiwa seperti yang diadukan KBMB. Namun,
selama dua tahun pengalaman menjemput para pekerja migran yang dideportasi
dari Malaysia, saya tanyai mereka. Sebetulnya yang disampaikan KBMB itu bukan
hal baru. Mereka (pekerja migran) kadang mendapat kekerasan fisik dan verbal.
Mereka sering mendapat penghinaan secara personal, termasuk terhadap negara,
oleh oknum-oknum di detensi Malaysia. Kemudian (mereka mendapat) fasilitas
yang tidak layak, misalnya kamar yang tidak memadai. Biasanya hanya untuk 10
orang, bisa diisi 20 atau 30 orang. Anak-anak kecil juga dicampur dengan
orang dewasa. Makanan dan minuman di luar standar. Air mandi, sanitasi, di
daerah tertentu di Sabah, menyebabkan penyakit kulit. Juga ada hal yang kami
sebut “perampokan”. Harta pekerja migran yang masuk detensi, seperti telepon
seluler, gelang dan kalung emas, serta uang disita petugas. Apa
yang kemudian dilakukan BP2MI? Saat di luar negeri,
lead-nya ada di Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan, KBRI (Kedutaan
Besar Republik Indonesia), KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia), atau konsul.
Bila tiba di Tanah Air (mereka) menjadi tanggung jawab BP2MI. Dari Kedutaan
Malaysia, saya langsung ke Solidaritas Perempuan. Tawarannya ada dua dari
pertemuan di sana. Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk
membicarakan masalah ini atau memaksa Malaysia duduk bersama. Menurut saya,
tak sekadar meminta konfirmasi, tapi (pemerintah) meminta pertanggungjawaban
Malaysia. Keberanian inilah yang (perlu) ditunjukkan Indonesia. Tapi kan itu
bukan domain BP2MI. Dalam kontrak perjanjian antarnegara dalam hal penempatan
pekerja migran, itu ada di Kementerian Luar Negeri dan Kementerian
Ketenagakerjaan. Saya sepakat dengan KBMB: ajak Malaysia duduk bersama
membicarakan masalah ini, minta pertanggungjawaban. Saya meyakini peristiwa
ini terjadi, kecuali soal jumlah. Kita jangan terjebak pada jumlah karena
satu jiwa anak bangsa itu sangat berharga, menyangkut harga diri bangsa
Indonesia. Ini bisa jadi pintu masuk, selain meningkatkan bargaining position
dengan Malaysia. Berapa
banyak pekerja yang mengalami kendala di Malaysia? Ada 780 ribu pekerja
migran Indonesia di Malaysia yang tercatat resmi. Dari berbagai sumber yang
layak dipercaya, kurang-lebih ada 2 juta. Yang kami tangani 848 yang
meninggal, 2.027 yang sakit. Mereka 90 persen justru tidak ada dalam sistem
komputerisasi kami. BP2MI akhirnya menangani yang sesungguhnya dulu tidak
berangkat secara resmi. Di satu sisi, ini menjalankan mandat undang-undang.
Problemnya, anggaran kami tidak mendapatkan dukungan kuat untuk menangani
masalah tersebut. Apa
tidak memungkinkan meminta tambahan ke pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat? Kami sudah beberapa
kali mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR dan menyampaikan
masalah ini. DPR tentu memberi dukungan penuh dan jadi kesimpulan tiap RDP.
Mungkin nasib saja yang belum berpihak kepada BP2MI. Itu baru soal penanganan
pekerja migran yang mengalami kendala. Belum tugas pencegahan. Kalau tak
ingin itu terus terjadi, pencegahannya terutama dari hulu, jangan sampai ada
penempatan ilegal. Bagaimana
mengatasi penempatan ilegal ini? Atas nama
kemanusiaan, yang dilakukan BP2MI ini modal nekat. Anggaran tak punya. BP2MI
bukan penegak hukum. Dalam konteks pencegahan perdagangan manusia, ada satuan
tugas yang disahkan presiden. Sejak 2021, negara ini dalam keadaan darurat
penempatan pekerja migran ilegal. Ini bisnis kotor, dikendalikan segelintir
orang, sindikat mafia dan bandit. Sialnya, bisnis kotor dan sindikat ini
dibekingi atribusi kekuasaan di negara ini. Saya bicara ini oknum Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian RI, keimigrasian, kedutaan besar, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BP2MI. Bagaimana
modus penempatan ini? Ini kerja sistematis
dan terorganisasi. Tidak mungkin kelompok masyarakat tertentu bisa
mengendalikan kejahatan internasional, dari perekrutan di desa, bagaimana
calo yang jumlahnya banyak diorganisasi, menjadikan setiap warga desa sebagai
mangsa dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji besar, semua biaya
ditanggung, hingga diberangkatkan dengan cepat. Padahal uang yang dikeluarkan
sindikat ini diakumulasi dan dijadikan utang dan menjadi beban pekerja.
Akhirnya pekerja tersandera dan harus membayar dari potongan gaji setiap
bulan. Ini kejahatan serius. Saya selama dua tahun
memimpin langsung melakukan penggerebekan 24 kali. Terakhir tiga bulan lalu.
Sebanyak 1.600 orang selama dua tahun kami selamatkan. Soal sindikat ini
pernah saya sampaikan kepada Presiden saat saya dilantik pada 15 April 2020
bahwa, jika diperkenankan, saya ingin memimpin untuk melawan sindikat ini
dengan membentuk satuan tugas. Jawaban Presiden, "Oke, sikat mereka
sampai tuntas." Bagaimana
proses hukum terhadap pelakunya? Kurang-lebih 100
kasus yang sudah masuk pengadilan. Kami berkoordinasi dengan kepolisian.
Alhamdulillah, ada beberapa calo masuk proses hukum dan divonis. Misalnya
Nurbaeti dan Titin Marsini di Jawa Barat, sudah divonis tiga bulan lalu. Ini
orang biasa tapi bisa mengendalikan perdagangan manusia. Ini kejahatan
terorganisasi. Tidak mungkin dia sendiri. Adakah
anggota TNI dan Polri yang diproses hukum? Pernah dengar kapal
tenggelam di sekitar Johor Bahru, Malaysia, yang 21 orang meninggal, lima
atau enam bulan lalu? Saya turunkan tim investigasi, menunjuk Deputi Bidang
Penempatan dan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah BP2MI Inspektur
Jenderal Polisi Achmad Kartiko. Menariknya, dari hasil investigasi ini ada
keterlibatan TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta kepolisian. Saya
kirim surat kepada Kepala Polri dan Panglima TNI. Kapolri menyampaikan
komitmennya bahwa tidak ada toleransi terhadap perdagangan manusia dan
penempatan ilegal. Kapolri mengambil tindakan tegas. Panglima TNI sama dan
ada tindakan tegas terhadap oknum yang kami laporkan. Apa
sanksi untuk perusahaan yang terlibat penempatan ilegal? Penghentian dan
pencabutan izinnya bukan kewenangan BP2MI. Selama dua tahun ini bisa lebih
dari 20 yang (kami) minta dicabut. Kami merekomendasikan pencabutan ke
Kementerian Ketenagakerjaan, walaupun kadang putusannya mengecewakan, yaitu
hanya sanksi tiga bulan. Kalau begini terus, tidak pernah lahir efek jera.
Kejahatan akan terus berlangsung. Berapa
anggaran yang dibutuhkan BP2MI untuk dapat bekerja maksimal? Saya mengusulkan
minimal tambahan Rp 600 miliar, yang kemudian dikurangi jadi Rp 450 miliar.
Itu sudah kami sampaikan ke DPR. Selama ini Rp 300 miliar setiap tahun. Tidak
ada penambahan. Jadi kami usulkan Rp 750 miliar untuk 2023. Idealnya, saya
ingin membebaskan biaya penempatan, dari paspor hingga karantina, sesuai
dengan mandat undang-undang. Saya paham pekerja migran adalah mereka yang
tiap tahun ke luar negeri, jumlahnya 277 ribu dalam kondisi normal. Kalau 277
ribu itu dibiayai, total butuh Rp 8,1 triliun per tahun. Itu investasi kecil
negara dibanding sumbangan devisa setiap tahun dari mereka yang sebesar Rp
159,6 triliun. Pekerja
migran dipuji sebagai pahlawan devisa, tapi komitmen anggaran untuk mereka
kecil. Negara ini berutang
besar kepada pekerja migran. Saya, selama diberi kepercayaan, ingin membayar
utang itu semampu saya, seperti sebelumnya dilakukan Pak Jumhur Hidayat dan
Nusron Wahid. Jika belum lunas, pejabat berikutnya yang membayar utang itu.
Caranya, menjadikan pekerja migran orang naratetama (VVIP). Dalam pembiayaan
kami belum mampu membebaskan, (tapi) minimal dengan pinjaman dari bank
pemerintah agar tak terjebak ijon rente. Dalam setiap acara pelatihan dan
pelepasan, ada glorifikasi. Ibarat melepas atlet Olimpiade. Kami siapkan
lounge di bandar udara, yang sebelumnya hanya dinikmati orang kaya. Masuk
imigrasi, mereka diberi fast track, yang biasanya hanya untuk menteri,
anggota DPR, dan diplomat pemegang paspor warna hitam dan biru. Saat
berangkat, diberi kredensial. Itu surat yang selama ini diberikan kepada duta
besar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar