Fitur
Penghinaan RKUHP Muhammad
Fatahillah Akbar, Dosen pada
Departemen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS, 13 Juli 2022
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagian besar
orang yang membaca kalimat tersebut, pasti mengira penulis typo menulis Hukum
menjadi Hokum. Berdasarkan Cambridge Dictionary, Hokum means Nonsense dan
berdasarkan American English pada Collins Dictionary, Hokum dapat diartikan
sebagai elements of low comedy. Setelah memahami makna Hokum, mungkin mulai banyak
yang berpendapat bahwa kalimat awal dari tulisan ini tidak sepenuhnya salah.
Terutama jika melihat kontroversi dalam pembentukan dan penegakan hukum di
Indonesia. Hingga kini, pembentukan hukum di Indonesia masih menghadapi
perdebatan yang tidak kunjung usai dan perlu jalan tengah terbaik. Dalam pembentukan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP), kontroversi beberapa ketentuan dalam RKUHP belum
selesai. Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah pasal penghinaan
presiden. Pasal ini kemudian menjadi diskursus karena dianggap sebagai pasal
yang dihidupkan kembali. Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membunuh pasal
yang mirip dengan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-VI/2006 pada Desember 2006,
pasal ini kemudian janinnya kembali terlihat pada Pasal 218-219 RKUHP yang
dianggap banyak pihak mirip dengan Pasal 134, 136, dan 137 yang telah cukup
lama mati. Menjadi pertanyaan mendasar adalah urgensi dibutuhkannya pasal
penghinaan presiden. Untuk menjawab masalah tersebut, penjelasan Pasal
218 RKUHP mengenai penghinaan presiden dan/atau wakil presiden telah berusaha
menjelaskan rasio pengaturan. Dari sekian banyak penjelasan ketentuan pidana
pada berbagai undang-undang, sedikit sekali pasal yang menjelaskan dasar
pengaturannya. Penjelasan Pasal 218 RKUHP menjelaskan ”Penghinaan
pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari
berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan
nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan, karena menyerang/merendahkan
martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal). Oleh karena itu, secara
teoretik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se,
dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara.” Dari penjelasan tersebut, dapat ditangkap bahwa penghinaan
masuk sebagai kejahatan mala in se atau rechtsdelicten. Menurut JE Sahetapy
(2014), rechtsdelicten adalah perbuatan yang dilarang karena sejak awal
dianggap sebagai suatu ketidakadilan dan perbuatan yang tidak benar. Eddy OS
Hiariej (2014) menegaskan juga bahwa mala in se lahir dari norma-norma agama
dan kesusilaan, bahkan sebelum muncul hukum pidana. Hal ini jelas dapat
bergantung pada budaya negara di mana penghinaan tersebut diatur. Menjadi momok Di Indonesia sebagai negara yang menjunjung adat
ketimuran, penghinaan memang merupakan momok. Berbeda dengan negara-negara
liberal yang menganut freedom of speech secara absolut sehingga penghinaan
tidak dianggap sebagai pelanggaran besar. Itu sebabnya, di negara seperti
Amerika Serikat melakukan penghinaan terhadap Presiden Trump waktu itu, biasa
terlihat di berbagai media. Jika secara politik hukum penghinaan dianggap
sebagai suatu momok pada budaya Indonesia, pengaturannya di Indonesia masih
menjadi relevan. Namun, pertanyaan lebih lanjut apakah perlu dibedakan antara
penghinaan presiden dan penghinaan terhadap individu? Jika melihat pengaturan penghinaan terhadap
pemerintah, setidaknya penghinaan terhadap pemerintah terkait dengan tiga bab
di dalam Buku II RKUHP. Pertama, Bab II mengenai Tindak Pidana terhadap
Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pada pasal ini, penghinaan spesifik
menyebut presiden dan wakil presiden sebagai obyek yang dihina. Kedua, Bab V mengenai Tindak Pidana terhadap
Ketertiban Umum, di mana pada Pasal 240 mengatur penghinaan terhadap
”pemerintah yang sah” di mana lebih bersifat umum daripada pasal sebelumnya. Ketiga, Bab IX mengenai Tindak Pidana terhadap
Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Pada Pasal 353 RKUHP diatur mengenai
penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara. Pada dasarnya tidak dijelaskan perbedaan mendasar
antara pemerintah yang sah dan kekuasaan umum. Namun, Penjelasan Pasal 353
RKUHP memberikan definisi mengenai kekuasaan umum di mana meliputi ”Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur,
atau bupati/wali kota”. Namun, penjelasan tersebut tidak memberikan
penjelasan apakah bisa diperluas, misalnya dalam hal ini tidak menyebut Dewan
Perwakilan Daerah yang juga disebut dalam UUD NRI Tahun 1945. Selain itu,
penegak hukum seperti kepolisian dan jaksa disebut. Penjelasan Pasal 353 ini akan menimbulkan
pertanyaan, apakah berarti pemerintah yang sah tidak termasuk di dalam
kekuasaan umum dan apakah kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi
(MK) dan Mahkamah Agung (MA) tetap dapat dihina? Untuk mengurangi kontroversi tersebut, sangat
penting untuk mengambil intisari pada Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang
telah mencabut kekuatan hukum pasal penghinaan presiden. Dalam
pertimbangannya, MK menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan
pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan
kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Indonesia
sebagai satu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan
berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Karena itu,
menjadi tidak relevan lagi jika dalam KUHP-nya masih memuat pasal-pasal,
seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasikan prinsip
persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan
pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum. Multitafsir Berdasarkan putusan MK tersebut, sebenarnya sudah
digarisbawahi bahwa untuk menjamin demokrasi dan HAM, pasal penghinaan
presiden yang berpotensi multitafsir sudah seharusnya dicabut. MK
berpandangan bahwa jika presiden dihina personalitas individunya, dalam
melakukan aduan berdasarkan delik penghinaan umum, dan jika presiden dihina
kelembagaannya, dapat menggunakan Pasal 207 KUHP mengenai penghinaan
pemerintah. Namun, MK memberikan anjuran agar delik tersebut bersifat aduan. Pada dasarnya, RKUHP telah berusaha semaksimal
mungkin mengambil intisari dari putusan MK tersebut. Pertama, delik dalam
RKUHP pada penghinaan kepada presiden dan kekuasaan umum sudah menggunakan
tipe delik aduan absolut, di mana obyek penghinaan saja yang dapat melakukan
aduan secara tertulis. Kedua, dalam penjelasan Pasal 218 RKUHP sudah
ditegaskan bahwa pasal tersebut tidak dapat menjerat kritik sebagaimana
ditegaskan, ”Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi
kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan
pemerintah”. Pasal ini pada dasarnya membatasi kebebasan berpendapat agar
tetap sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Secara internasional, pengaturan mengenai penghinaan
presiden dan/atau wakil presiden diatur di banyak negara untuk melindungi harkat
dan martabat kepala negara (Ruth Walden, 2000). Namun, perlu dipahami bahwa
dalam perkembangan HAM di Eropa, terdapat landmark decision dari European
Human Right Court pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa pemidanaan terhadap
Jose Guttierez sebagai seorang jurnalis yang menulis mengenai Raja Hasan dari
Maroko telah melanggar kebebasan pers yang dimiliki jurnalis (Patti
McCracken, 2012). Dengan demikian, untuk kebebasan berpendapat, kemudian
banyak yang menghapus pasal tersebut. Sekalipun di banyak negara, penghinaan
terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan negara lain justru masih
dipertahankan. Dengan perkembangan HAM ini, penting RKUHP disusun dengan
mempertimbangkan hal ini. Untuk memperkuat delik ini, sebaiknya ketentuan
dalam Pasal 218, 240, dan 353 diseragamkan. Pertama, delik-delik penghinaan
tersebut harus bersifat aduan. Pasal 240 dan 354 belum diatur mengenai bentuk
delik aduan. Ketika bersifat delik aduan, akan terbentuk dialog dan sangat
mungkin permasalahan ini bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif. Delik
aduan dibentuk untuk memberikan kewenangan kepada korban mempertimbangkan
kerugian yang telah dialami untuk kemudian mengadukan perbuatan tersebut ke
pihak berwajib (E Utrecht, 1987). Kedua, sebaiknya delik tersebut bersifat delik
materiil yang mensyaratkan akibat sehingga bersifat lebih obyektif di mana
penghinaan kepala negara atau kepala pemerintah pada sejarahnya dibentuk
karena konsep scandalum magnatum. Scandalum magnatum dibentuk dengan tujuan
memulihkan korban-korban penghinaan pada saat itu, di mana penghinaan
menimbulkan akibat-akibat yang dirasakan oleh publik, seperti perang,
konflik, dan lain sebagainya (Anggara, 2012, ICJR). Karena itu pada dasarnya, awal ada kriminalisasi
terhadap perbuatan penghinaan adalah mencegah adanya potensi dampak terhadap
publik karena penghinaan tersebut. Seperti Pasal 240 dan 353, terdapat syarat
”kerusuhan” di mana dalam penjelasan diartikan adanya tindakan kekerasan
akibat dari penghinaan tersebut. Unsur ini bisa kemudian diletakkan juga pada
Pasal 218 RKUHP sehingga akan bersifat lebih obyektif. Dengan masukan ini,
bisa tetap menjaga martabat presiden dengan mempertahankan pasal dan juga
mengurangi perdebatan di masyarakat ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/12/fitur-penghinaan-rkuhp |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar