Jumat, 15 Juli 2022

 

Fitur Penghinaan RKUHP

Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada

KOMPAS, 13 Juli 2022

 

                                                

 

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagian besar orang yang membaca kalimat tersebut, pasti mengira penulis typo menulis Hukum menjadi Hokum. Berdasarkan Cambridge Dictionary, Hokum means Nonsense dan berdasarkan American English pada Collins Dictionary, Hokum dapat diartikan sebagai elements of low comedy.

 

Setelah memahami makna Hokum, mungkin mulai banyak yang berpendapat bahwa kalimat awal dari tulisan ini tidak sepenuhnya salah. Terutama jika melihat kontroversi dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Hingga kini, pembentukan hukum di Indonesia masih menghadapi perdebatan yang tidak kunjung usai dan perlu jalan tengah terbaik.

 

Dalam pembentukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), kontroversi beberapa ketentuan dalam RKUHP belum selesai. Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah pasal penghinaan presiden. Pasal ini kemudian menjadi diskursus karena dianggap sebagai pasal yang dihidupkan kembali.

 

Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membunuh pasal yang mirip dengan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-VI/2006 pada Desember 2006, pasal ini kemudian janinnya kembali terlihat pada Pasal 218-219 RKUHP yang dianggap banyak pihak mirip dengan Pasal 134, 136, dan 137 yang telah cukup lama mati. Menjadi pertanyaan mendasar adalah urgensi dibutuhkannya pasal penghinaan presiden.

 

Untuk menjawab masalah tersebut, penjelasan Pasal 218 RKUHP mengenai penghinaan presiden dan/atau wakil presiden telah berusaha menjelaskan rasio pengaturan. Dari sekian banyak penjelasan ketentuan pidana pada berbagai undang-undang, sedikit sekali pasal yang menjelaskan dasar pengaturannya.

 

Penjelasan Pasal 218 RKUHP menjelaskan ”Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan, karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal). Oleh karena itu, secara teoretik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se, dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara.”

 

Dari penjelasan tersebut, dapat ditangkap bahwa penghinaan masuk sebagai kejahatan mala in se atau rechtsdelicten. Menurut JE Sahetapy (2014), rechtsdelicten adalah perbuatan yang dilarang karena sejak awal dianggap sebagai suatu ketidakadilan dan perbuatan yang tidak benar. Eddy OS Hiariej (2014) menegaskan juga bahwa mala in se lahir dari norma-norma agama dan kesusilaan, bahkan sebelum muncul hukum pidana. Hal ini jelas dapat bergantung pada budaya negara di mana penghinaan tersebut diatur.

 

Menjadi momok

 

Di Indonesia sebagai negara yang menjunjung adat ketimuran, penghinaan memang merupakan momok. Berbeda dengan negara-negara liberal yang menganut freedom of speech secara absolut sehingga penghinaan tidak dianggap sebagai pelanggaran besar. Itu sebabnya, di negara seperti Amerika Serikat melakukan penghinaan terhadap Presiden Trump waktu itu, biasa terlihat di berbagai media.

 

Jika secara politik hukum penghinaan dianggap sebagai suatu momok pada budaya Indonesia, pengaturannya di Indonesia masih menjadi relevan. Namun, pertanyaan lebih lanjut apakah perlu dibedakan antara penghinaan presiden dan penghinaan terhadap individu?

 

Jika melihat pengaturan penghinaan terhadap pemerintah, setidaknya penghinaan terhadap pemerintah terkait dengan tiga bab di dalam Buku II RKUHP. Pertama, Bab II mengenai Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pada pasal ini, penghinaan spesifik menyebut presiden dan wakil presiden sebagai obyek yang dihina.

 

Kedua, Bab V mengenai Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum, di mana pada Pasal 240 mengatur penghinaan terhadap ”pemerintah yang sah” di mana lebih bersifat umum daripada pasal sebelumnya.

 

Ketiga, Bab IX mengenai Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Pada Pasal 353 RKUHP diatur mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.

 

Pada dasarnya tidak dijelaskan perbedaan mendasar antara pemerintah yang sah dan kekuasaan umum. Namun, Penjelasan Pasal 353 RKUHP memberikan definisi mengenai kekuasaan umum di mana meliputi ”Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/wali kota”.

 

Namun, penjelasan tersebut tidak memberikan penjelasan apakah bisa diperluas, misalnya dalam hal ini tidak menyebut Dewan Perwakilan Daerah yang juga disebut dalam UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, penegak hukum seperti kepolisian dan jaksa disebut.

 

Penjelasan Pasal 353 ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah berarti pemerintah yang sah tidak termasuk di dalam kekuasaan umum dan apakah kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) tetap dapat dihina?

 

Untuk mengurangi kontroversi tersebut, sangat penting untuk mengambil intisari pada Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang telah mencabut kekuatan hukum pasal penghinaan presiden. Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden.

 

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Indonesia sebagai satu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Karena itu, menjadi tidak relevan lagi jika dalam KUHP-nya masih memuat pasal-pasal, seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum.

 

Multitafsir

 

Berdasarkan putusan MK tersebut, sebenarnya sudah digarisbawahi bahwa untuk menjamin demokrasi dan HAM, pasal penghinaan presiden yang berpotensi multitafsir sudah seharusnya dicabut. MK berpandangan bahwa jika presiden dihina personalitas individunya, dalam melakukan aduan berdasarkan delik penghinaan umum, dan jika presiden dihina kelembagaannya, dapat menggunakan Pasal 207 KUHP mengenai penghinaan pemerintah. Namun, MK memberikan anjuran agar delik tersebut bersifat aduan.

 

Pada dasarnya, RKUHP telah berusaha semaksimal mungkin mengambil intisari dari putusan MK tersebut. Pertama, delik dalam RKUHP pada penghinaan kepada presiden dan kekuasaan umum sudah menggunakan tipe delik aduan absolut, di mana obyek penghinaan saja yang dapat melakukan aduan secara tertulis.

 

Kedua, dalam penjelasan Pasal 218 RKUHP sudah ditegaskan bahwa pasal tersebut tidak dapat menjerat kritik sebagaimana ditegaskan, ”Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah”. Pasal ini pada dasarnya membatasi kebebasan berpendapat agar tetap sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

 

Secara internasional, pengaturan mengenai penghinaan presiden dan/atau wakil presiden diatur di banyak negara untuk melindungi harkat dan martabat kepala negara (Ruth Walden, 2000). Namun, perlu dipahami bahwa dalam perkembangan HAM di Eropa, terdapat landmark decision dari European Human Right Court pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa pemidanaan terhadap Jose Guttierez sebagai seorang jurnalis yang menulis mengenai Raja Hasan dari Maroko telah melanggar kebebasan pers yang dimiliki jurnalis (Patti McCracken, 2012). Dengan demikian, untuk kebebasan berpendapat, kemudian banyak yang menghapus pasal tersebut. Sekalipun di banyak negara, penghinaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan negara lain justru masih dipertahankan. Dengan perkembangan HAM ini, penting RKUHP disusun dengan mempertimbangkan hal ini.

 

Untuk memperkuat delik ini, sebaiknya ketentuan dalam Pasal 218, 240, dan 353 diseragamkan. Pertama, delik-delik penghinaan tersebut harus bersifat aduan. Pasal 240 dan 354 belum diatur mengenai bentuk delik aduan. Ketika bersifat delik aduan, akan terbentuk dialog dan sangat mungkin permasalahan ini bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif. Delik aduan dibentuk untuk memberikan kewenangan kepada korban mempertimbangkan kerugian yang telah dialami untuk kemudian mengadukan perbuatan tersebut ke pihak berwajib (E Utrecht, 1987).

 

Kedua, sebaiknya delik tersebut bersifat delik materiil yang mensyaratkan akibat sehingga bersifat lebih obyektif di mana penghinaan kepala negara atau kepala pemerintah pada sejarahnya dibentuk karena konsep scandalum magnatum. Scandalum magnatum dibentuk dengan tujuan memulihkan korban-korban penghinaan pada saat itu, di mana penghinaan menimbulkan akibat-akibat yang dirasakan oleh publik, seperti perang, konflik, dan lain sebagainya (Anggara, 2012, ICJR).

 

Karena itu pada dasarnya, awal ada kriminalisasi terhadap perbuatan penghinaan adalah mencegah adanya potensi dampak terhadap publik karena penghinaan tersebut. Seperti Pasal 240 dan 353, terdapat syarat ”kerusuhan” di mana dalam penjelasan diartikan adanya tindakan kekerasan akibat dari penghinaan tersebut. Unsur ini bisa kemudian diletakkan juga pada Pasal 218 RKUHP sehingga akan bersifat lebih obyektif. Dengan masukan ini, bisa tetap menjaga martabat presiden dengan mempertahankan pasal dan juga mengurangi perdebatan di masyarakat

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/12/fitur-penghinaan-rkuhp

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar