Catatan Pinggir
Sensor Karya Taring
Padi di Pameran Documenta Jerman Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 2
Juli
2022
DI manakah berakhirnya
sebuah kartun, Bruno? Coba kita lihat lagi
Pengadilan Rakyat, banner seluas 8 x 12 meter yang pernah dipasang di Kassel
tapi segera diturunkan karena sensor—sebuah skandal tersendiri dalam pameran
besar seni rupa Documenta 15, 2022. Isi banner karya kelompok
perupa Yogya itu sesak, berimpitan, memikat dan dinamis dalam aneka bentuk,
seperti lukisan tradisional Bali. Tapi ada nada marah—nada protes kartun
politik dan satire. Manusia tampil grotesk: ganjil, lucu, menyedihkan,
menakutkan. Di sudut kiri atas, kau lihat
singgasana. Di situ duduk seorang lelaki berparas kaku (dan kelabu). Ia
mengenakan mahkota Mataraman, berjas dan berdasi merah hindi. Di dekatnya
sebuah kemudi besar dan pelbagai mesin. Di satu pojok berjubel sosok
orang-orang “resmi”—dan lebih mencolok lagi: barisan pasukan bersenjata yang
berderap. Bersama mereka sebuah truk bertulisan “TNI”. Wajah mereka topeng
yang bengis. Di bawah mereka unggunan
tengkorak. Juga sebuah gubuk. Di sana sejumlah orang memegangi mayat yang
baru dikafani. Ada huruf Arab. Ada tanda salib. Hiruk-pikuk yang
apokaliptik. Semua bertambah seram
dengan sebongkah tengkorak besar yang melotot kejam, mengenakan baret merah
bertulisan kalimat Inggris: “The expansion of multicultural state hegemony”.
Tak jelas maksudnya. Yang jelas: di sekitarnya dunia kalang kabut seperti
dalam lukisan Hieronymus Bosch. Kita simak lebih jauh. Di
sayap kanan banner itu ada orang-orang yang berdiri. Berlain-lainan. Di
dekatnya mungkin serombongan sirkus keliling—pertunjukan yang dibayar agar
kita asyik saja. Tapi juga ada sesosok makhluk berwajah babi, bertaring,
berpakaian seragam militer, berdiri di atas sederet kuburan dan tengkorak
manusia. Di dekatnya kita temukan
orang itu: figur yang dalam keributan di pameran Documenta di Kassel bulan
lalu jadi penting: seorang lelaki berkacamata, berhidung tegas, mengisap
lisong di antara gigi yang jarang tapi ganas. Jasnya mewah dengan saputangan
di saku dada. Topinya wol hitam Heisenberg—konon penanda orang Yahudi dalam
karikatur kebencian Nazi. Meskipun anehnya topi bertulisan “SS”.... Saya tak tahu kenapa sosok
ini di sana. Mulut dan sorot matanya tampak gembira. Ada apa? Di seberangnya
berderap gagah barisan besar, dengan tetabuhan. Seseorang membawa obor
perkasa, juga sebuah poster bertulisan “Dead You, Tirani!”. Tampaknya ini barisan
pembebasan rakyat, dengan bahasa Inggris yang kacau tapi dengan optimisme.... ••• BAGAIMANA kita menafsirkan
kartun, Bruno? Kau bilang, sejak karya William Hogarth, di Inggris abad
ke-17, tiap kartun mengandung distorsi, menyampaikan pesan yang hiperbolik,
dan meringkas sebuah narasi konfrontasi hitam lawan putih. Tak ada gambaran
yang cantik realistis. Antagonisme ditampilkan dalam lambang dan kiasan; tak
jarang dengan cemooh dan humor. Kartun Pengadilan Rakyat
memang sebuah melodrama—mirip teater rakyat. Di pentasnya hadir “sang gelap”,
sebuah kekuasaan yang rakus dan bengis, dihadapi “sang terang”, rakyat yang
teguh membangkang. “Pesan” yang disampaikan dibungkus dalam klise. Kita tahu,
klise sering diulangi dan sebab itu mudah dikenali. Tapi klise terbentuk dari
pengalaman sejarah. Klise tak disalin dari formula yang selalu siap. Kau,
dengan pengalaman Jerman-mu, mungkin melihat sosok bertopi wol dalam lukisan
Taring Padi itu klise karikatur Nazi. Tapi, Bruno, aku tak kenal itu. Antisemitisme tak pernah
tunggal, baik asal-usul maupun ekspresinya. Terkadang nol, terkadang tipis,
terkadang mengerikan. Dalam sejarah Nusantara,
antisemitisme (kalaupun pernah jelas dinyatakan) hanya berkutat di percakapan
sehari-hari; atau di ceramah agama; atau dalam statemen politik yang tak
jelas dampaknya. Tapi tak ada sikap yang menganggap orang Yahudi sebagai
“cosmic evil”. Sejarawan Bernard Lewis
menegaskan, sikap terhadap orang Yahudi yang seperti itulah ciri sebenarnya
antisemitisme. Berabad-abad lamanya, kata Lewis dalam “The New Anti-Semitism”
(The American Scholar 75, Winter 2006), hukum Islam memperlakukan orang
Yahudi lebih rendah ketimbang muslim, tapi mereka tetap diperlakukan sebagai
manusia, bukan sebagai kekejian dalam alam semesta, bukan cosmic evil. Kata
Lewis, dunia Islam hanya jadi antisemitis setelah datang narasi dunia Kristen
yang mempersetankan orang Yahudi dan setelah perang yang makin membuat Israel
dominan. Dengan sejarah seperti
itu, di Nusantara, dan juga masyarakat nonmuslim di Asia Timur, tak ada
perlakuan seperti yang tercatat di Eropa dari masa ke masa. Perlakuan yang
bengis: di abad ke-9, misalnya, tiap Paskah di sejumlah kota Prancis orang
Kristen melempari orang Yahudi dengan batu. Ketika mereka difitnah jadi
penyebab wabah pes di abad ke-14, mereka dibakar hidup-hidup. Puncaknya die Endlösung,
solusi “terakhir” yang diusahakan Hitler buat menghabisi orang Yahudi dari
muka bumi. Ini didahului dengan kampanye yang tak putus-putusnya tentang
betapa busuknya fiil dan sosok manusia jenis ini. Dari sinilah citra visual
Yahudi beredar: hidung besar, rambut tebal hitam dipilin—tanda sikap bakhil
tanpa belas. Tapi saya tak menemukan
sosok itu hadir di banner Taring Padi. Maka ajaib, orang di
Kassel—di antaranya orang Jerman yang pintar—bisa menunjuk dengan pasti tanda
“antisemit” itu sebagai sesuatu yang di pusat karya Taring Padi, sementara
gambar, tubuh, dan kepala bertopi “SS” itu tak lebih besar ketimbang sosok
lain. Apalagi jika dibandingkan dengan gambar korban-korban kekerasan militer
dan kapitalisme, fokus banner yang sarat protes sosial ini. Tak jelas pula bagi saya
bagaimana gambar laki-laki itu disebut sebagai bukti penghinaan Taring Padi
terhadap orang Yahudi, sementara ada huruf “SS” tertera di topinya—yang saya
duga akronim bagi Schutzstaffel, pasukan spesial di bawah Hitler. Saya merasa ada yang tak
jujur diakui orang-orang pintar di Kassel itu. Saya ingat John Berger
dalam The Way of Seeing: “Hubungan antara kita dan yang kita lihat dan yang
kita ketahui tak pernah selesai dengan beres.” Kita tak pernah melihat hanya
satu hal, kata Berger pula. “Kita selalu melihat hubungan antara hal ihwal
dan kita.” Sejarah negerimu yang
dibebani rasa bersalah, Bruno, membuat orang-orang di Kassel, juga Kanselir
Scholz, abai bahwa perspektif mereka menyempit. Pada saat yang sama, sejarah
penganiayaan Yahudi Jerman membuat mereka nyaris lupa bahwa dalam demokrasi
dan kemerdekaan berekspresi kini “orang harus siap bertahan menghadapi
hinaan, ejekan, dan cemooh”. Itu bukan pesan baru. Itu
pesan Flemming Rose, jurnalis Denmark, ketika pada 2005 surat kabarnya, juga
negerinya, didesak untuk memberlakukan sensor di tengah heboh karena “kartun
Nabi Muhammad”. Tapi kita tahu, ketika
sensor dapat alasan, kartun pun berakhir. Juga perbedaan pendapat, Bruno. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar