Rabu, 13 Juli 2022

 

Catatan Pinggir

Sensor Karya Taring Padi di Pameran Documenta Jerman

Goenawan Mohamad  :  Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 2 Juli 2022

 

 

                                                           

DI manakah berakhirnya sebuah kartun, Bruno?

 

Coba kita lihat lagi Pengadilan Rakyat, banner seluas 8 x 12 meter yang pernah dipasang di Kassel tapi segera diturunkan karena sensor—sebuah skandal tersendiri dalam pameran besar seni rupa Documenta 15, 2022.

 

Isi banner karya kelompok perupa Yogya itu sesak, berimpitan, memikat dan dinamis dalam aneka bentuk, seperti lukisan tradisional Bali. Tapi ada nada marah—nada protes kartun politik dan satire. Manusia tampil grotesk: ganjil, lucu, menyedihkan, menakutkan.

 

Di sudut kiri atas, kau lihat singgasana. Di situ duduk seorang lelaki berparas kaku (dan kelabu). Ia mengenakan mahkota Mataraman, berjas dan berdasi merah hindi. Di dekatnya sebuah kemudi besar dan pelbagai mesin. Di satu pojok berjubel sosok orang-orang “resmi”—dan lebih mencolok lagi: barisan pasukan bersenjata yang berderap. Bersama mereka sebuah truk bertulisan “TNI”. Wajah mereka topeng yang bengis.

 

Di bawah mereka unggunan tengkorak. Juga sebuah gubuk. Di sana sejumlah orang memegangi mayat yang baru dikafani. Ada huruf Arab. Ada tanda salib.

 

Hiruk-pikuk yang apokaliptik.

 

Semua bertambah seram dengan sebongkah tengkorak besar yang melotot kejam, mengenakan baret merah bertulisan kalimat Inggris: “The expansion of multicultural state hegemony”. Tak jelas maksudnya. Yang jelas: di sekitarnya dunia kalang kabut seperti dalam lukisan Hieronymus Bosch.

 

Kita simak lebih jauh. Di sayap kanan banner itu ada orang-orang yang berdiri. Berlain-lainan. Di dekatnya mungkin serombongan sirkus keliling—pertunjukan yang dibayar agar kita asyik saja. Tapi juga ada sesosok makhluk berwajah babi, bertaring, berpakaian seragam militer, berdiri di atas sederet kuburan dan tengkorak manusia.

 

Di dekatnya kita temukan orang itu: figur yang dalam keributan di pameran Documenta di Kassel bulan lalu jadi penting: seorang lelaki berkacamata, berhidung tegas, mengisap lisong di antara gigi yang jarang tapi ganas. Jasnya mewah dengan saputangan di saku dada. Topinya wol hitam Heisenberg—konon penanda orang Yahudi dalam karikatur kebencian Nazi. Meskipun anehnya topi bertulisan “SS”....

 

Saya tak tahu kenapa sosok ini di sana. Mulut dan sorot matanya tampak gembira. Ada apa? Di seberangnya berderap gagah barisan besar, dengan tetabuhan. Seseorang membawa obor perkasa, juga sebuah poster bertulisan “Dead You, Tirani!”.

 

Tampaknya ini barisan pembebasan rakyat, dengan bahasa Inggris yang kacau tapi dengan optimisme....

 

•••

 

BAGAIMANA kita menafsirkan kartun, Bruno? Kau bilang, sejak karya William Hogarth, di Inggris abad ke-17, tiap kartun mengandung distorsi, menyampaikan pesan yang hiperbolik, dan meringkas sebuah narasi konfrontasi hitam lawan putih. Tak ada gambaran yang cantik realistis. Antagonisme ditampilkan dalam lambang dan kiasan; tak jarang dengan cemooh dan humor.

 

Kartun Pengadilan Rakyat memang sebuah melodrama—mirip teater rakyat. Di pentasnya hadir “sang gelap”, sebuah kekuasaan yang rakus dan bengis, dihadapi “sang terang”, rakyat yang teguh membangkang. “Pesan” yang disampaikan dibungkus dalam klise. Kita tahu, klise sering diulangi dan sebab itu mudah dikenali.

 

Tapi klise terbentuk dari pengalaman sejarah. Klise tak disalin dari formula yang selalu siap. Kau, dengan pengalaman Jerman-mu, mungkin melihat sosok bertopi wol dalam lukisan Taring Padi itu klise karikatur Nazi. Tapi, Bruno, aku tak kenal itu.

 

Antisemitisme tak pernah tunggal, baik asal-usul maupun ekspresinya. Terkadang nol, terkadang tipis, terkadang mengerikan.

 

Dalam sejarah Nusantara, antisemitisme (kalaupun pernah jelas dinyatakan) hanya berkutat di percakapan sehari-hari; atau di ceramah agama; atau dalam statemen politik yang tak jelas dampaknya. Tapi tak ada sikap yang menganggap orang Yahudi sebagai “cosmic evil”.

 

Sejarawan Bernard Lewis menegaskan, sikap terhadap orang Yahudi yang seperti itulah ciri sebenarnya antisemitisme. Berabad-abad lamanya, kata Lewis dalam “The New Anti-Semitism” (The American Scholar 75, Winter 2006), hukum Islam memperlakukan orang Yahudi lebih rendah ketimbang muslim, tapi mereka tetap diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai kekejian dalam alam semesta, bukan cosmic evil. Kata Lewis, dunia Islam hanya jadi antisemitis setelah datang narasi dunia Kristen yang mempersetankan orang Yahudi dan setelah perang yang makin membuat Israel dominan.

 

Dengan sejarah seperti itu, di Nusantara, dan juga masyarakat nonmuslim di Asia Timur, tak ada perlakuan seperti yang tercatat di Eropa dari masa ke masa. Perlakuan yang bengis: di abad ke-9, misalnya, tiap Paskah di sejumlah kota Prancis orang Kristen melempari orang Yahudi dengan batu. Ketika mereka difitnah jadi penyebab wabah pes di abad ke-14, mereka dibakar hidup-hidup.

 

Puncaknya die Endlösung, solusi “terakhir” yang diusahakan Hitler buat menghabisi orang Yahudi dari muka bumi. Ini didahului dengan kampanye yang tak putus-putusnya tentang betapa busuknya fiil dan sosok manusia jenis ini. Dari sinilah citra visual Yahudi beredar: hidung besar, rambut tebal hitam dipilin—tanda sikap bakhil tanpa belas.

 

Tapi saya tak menemukan sosok itu hadir di banner Taring Padi.

 

Maka ajaib, orang di Kassel—di antaranya orang Jerman yang pintar—bisa menunjuk dengan pasti tanda “antisemit” itu sebagai sesuatu yang di pusat karya Taring Padi, sementara gambar, tubuh, dan kepala bertopi “SS” itu tak lebih besar ketimbang sosok lain. Apalagi jika dibandingkan dengan gambar korban-korban kekerasan militer dan kapitalisme, fokus banner yang sarat protes sosial ini.

 

Tak jelas pula bagi saya bagaimana gambar laki-laki itu disebut sebagai bukti penghinaan Taring Padi terhadap orang Yahudi, sementara ada huruf “SS” tertera di topinya—yang saya duga akronim bagi Schutzstaffel, pasukan spesial di bawah Hitler.

 

Saya merasa ada yang tak jujur diakui orang-orang pintar di Kassel itu.

 

Saya ingat John Berger dalam The Way of Seeing: “Hubungan antara kita dan yang kita lihat dan yang kita ketahui tak pernah selesai dengan beres.” Kita tak pernah melihat hanya satu hal, kata Berger pula. “Kita selalu melihat hubungan antara hal ihwal dan kita.”

 

Sejarah negerimu yang dibebani rasa bersalah, Bruno, membuat orang-orang di Kassel, juga Kanselir Scholz, abai bahwa perspektif mereka menyempit. Pada saat yang sama, sejarah penganiayaan Yahudi Jerman membuat mereka nyaris lupa bahwa dalam demokrasi dan kemerdekaan berekspresi kini “orang harus siap bertahan menghadapi hinaan, ejekan, dan cemooh”.

 

Itu bukan pesan baru. Itu pesan Flemming Rose, jurnalis Denmark, ketika pada 2005 surat kabarnya, juga negerinya, didesak untuk memberlakukan sensor di tengah heboh karena “kartun Nabi Muhammad”.

 

Tapi kita tahu, ketika sensor dapat alasan, kartun pun berakhir. Juga perbedaan pendapat, Bruno. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166339/sensor-karya-taring-padi-di-pameran-documenta-jerman

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar