Momentum
Emas Politik Perempuan
Meutya Hafid ; Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dapil Sumut 1
|
DETIKNEWS,
08 Maret
2018
Beberapa
hari yang lalu saya melaksanakan tugas kunjungan kerja ke Argentina,
mengingatkan saya akan kisah Las Madres de Plaza de Mayo. Mereka adalah
sekelompok ibu-ibu yang telah mengukir sejarah besar tentang perjuangan kaum
perempuan dalam menentang pemerintahan kediktatoran junta militer Argentina
di bawah kepemimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla. Videla yang merebut
kekuasaan Argentna dari Presiden Isabel Peron dalam satu kudeta militer telah
melakukan teror politik berkepanjangan (1976-1983) yang menelan 8.960 jiwa
orang (CONADEP, 1983) melalui praktik penghilangan paksa secara sistematis
dengan instrumen represi pasukan maut (death squads).
Diawali
pada tahun 1977 oleh 14 orang ibu-ibu yang marah sekaligus sedih karena
anak-anak mereka telah 'menghilang', para ibu tersebut dengan mengenakan syal
berwarna putih bertuliskan nama keluarga mereka yang hilang melakukan sebuah
protes damai dengan berbaris dan melakukan kampanye damai yang inovatif
melalui cara berjalan berdua-dua mengelilingi alun-alun (Plaza de Mayo),
persis di depan pusat kekuasaan junta militer di Istana Casa Rosada, setiap
Kamis sore.
Dengan
strategi politik yang bisa dikatakan unik, ibu-ibu rumah tangga 'biasa' tanpa
pengalaman dan kemampuan politik yang memadai ini justru berhasil menyuarakan
jeritan hati mereka, menggedor simpati dan empati publik luas yang pada
akhirnya mengusik eksistensi penguasa tiran di Argentina saat itu. Akhirnya
gerakan yang mereka lakukan terus meluas dan mendapat perhatian serta
dukungan dari banyak pihak termasuk dunia internasional. Las Madres de Plaza
de Mayo kemudian menjadi ikon perjuangan masyarakat sipil di Argentina selama
hampir 40 tahun. Kisah ini merupakan fakta sejarah bagaimana para perempuan,
khususnya ibu-ibu rumah tangga mampu dengan apik mentransformasi peran
tradisional (domestik) menjadi figur publik untuk kepentingan yang lebih
luas, bahkan pada level negara sekalipun.
Peran Sentral Perempuan
Menilik
cerita Las Madres de Plaza de Mayo, kita bisa merasakan bahwa sebetulnya para
ibu tersebut berkomitmen pada politik yang berpusat di anak dan keluarga mereka.
Syal putih yang awalnya adalah popok telah melambangkan anak-anak serta
harapan dan perawatan ibu. Sebuah penghormatan akan sistem kehidupan manusia
dan pelestariannya. Demonstrasi mereka dibingkai dengan "perasaan
wanita" dan "perasaan keibuan" yang mana itu sesungguhnya
adalah sebuah kekuatan yang sangat besar. Ini sebetulnya semakin memperjelas
kondisi bahwa perempuan adalah tokoh sentral dalam keluarga.
Sebagai
seorang istri maupun ibu, perempuan memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap arah perkembangan karakter keluarga. Dengan peranannya yang sangat
signifikan dalam memberikan kasih sayang maupun dukungan emosional. Begitu
juga dengan urusan pemenuhan kebutuhan anggota keluarga baik itu sandang,
pangan dan papan, seorang perempuan tak dapat dipungkiri menjadi role model
bagi tumbuh kembang keluarga, termasuk tapi tidak terbatas pada urusan karir
suami dan pendidikan anak. Itulah mengapa lingkungan keluarga menjadi sangat
strategis sebagai tempat awal dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan. Tak
berlebihan rasanya jika maqolah ulama menyebutkan, Annisa 'imadul bilad,
idzasholuhat sholuhal bilad, perempuan itu tiang negara, bila perempuannya
baik maka negaranya juga akan baik.
Representasi Politik Perempuan
Meski
gerakan perempuan telah melampaui perjalanannya yang panjang di negara
Argentina, tak dapat dipungkiri bahwa Las Madres de Plaza de Mayo telah turut
menjadi salah satu faktor penentu politik formal Argentina hari ini. Data
menunjukkan bahwa Argentina merupakan negara di Amerika Latin dengan
representasi perempuan paling tinggi dalam politik formalnya. Dengan tingkat
keterwakilan di Majelis Rendah (Unicameral Parliament) mencapai 100 orang,
maka Argentina memiliki presentase perwakilan perempuan sebesar 38,9% (IPU,
Januari 2018), hanya selisih sebesar 4,7% dari Swedia yang seringkali
dianggap sebagai negara dengan sistem politik paling ramah perempuan dan
dengan sistem kesejahteraan (welfare system) terbaik di dunia.
Sedangkan
Indonesia sendiri, dengan presentase masih di bawah 20% harus menerima
kenyataan bahwa representasi politik perempuannya bahkan lebih rendah dari 5
negara di ASEAN termasuk Kamboja dan Laos.
Melihat
angka-angka tersebut, memang kita tak mungkin menggeneralisasi karena sudah
tentu pengalaman Argentina dan Swedia berbeda dengan Indonesia. Namun begitu,
kita selayaknya dapat mengambil pelajaran positif dari pengalaman-pengalaman
kedua negara tersebut. Tindakan affirmative 30% yang kita terapkan sudah
semestinya dioptimalkan agar semakin membuka peluang bagi perempuan (sebagai
kelompok marjinal) mempercepat integrasinya dalam kehidupan publik yang adil
dan bermartabat.
Masih
banyak dari kita yang berprinsip bahwa demokrasi adalah soal berkompetisi bebas
(free fair competition), hal ini memang tidak keliru, tetapi jangan lupa
bahwa berkompetisi bebas saja tidak cukup. Demokrasi juga mengandung prinsip
keterwakilan (representative). Manakala kita mengandaikan bahwa semua warga
negara harus diperlakukan secara sama (equal treatment), maka mereka yang
selama ini tidak berdaya (powerlessness) dan termarjinalkan akan terus
mengalami kesulitan untuk mengejar ketertinggalannya.
Momentum Emas
Kebijakan
affirmative 30% bukanlah sebuah tujuan akhir, ini hanyalah sarana untuk
mencapai misi yang lebih besar yaitu masyarakat yang demokratis. Tindakan ini
bagaimanapun masih sangat diperlukan dan ditingkatkan dalam rangka memulihkan
hak-hak politik perempuan sebagai bagian dari transformasi sosial yang
merupakan komponen penting dalam transformasi demokrasi itu sendiri. Politik,
jelas merupakan alat sosial yang paling logis dalam menciptakan ruang
kesempatan dan wewenang. Dengan mendorong perempuan memasuki wilayah
pengambilan kebijakan, maka konstitusi dan legislasi kita akan semakin adil,
setara dan ramah terhadap kepentingan-kepentingan perempuan.
Kita
tidak boleh pesimis, faktanya sejarah perempuan dan politik di Indonesia
selalu diwarnai oleh kejutan. Pasca kemerdekaan perempuan Indonesia telah
mencapai tingkatan-tingkatan politik yang lebih maju dibanding banyak negara
lain. Hak pilih perempuan sudah diakui sejak tahun 1945 dan bahkan pada masa
revolusi kita sudah memiliki menteri perempuan. Kondisi fluktuatif politik
perempuan di Indonesia tak dapat dilepaskan dari proses demokrasinya yang
tidak melalui cara-cara bertahap (gradual) melainkan melalui
lompatan-lompatan (leaps) yang terkadang juga dramatis (Blackburn, 2004).
Tahun
ini kita memasuki tahun politik, partai-partai politik akan mengajukan bakal
caleg DPR, DPD dan DPRD yang akan bertarung dalam pemilu mendatang. Pada
kesempatan ini saya ingin mengajak sekaligus mendorong kepada para perempuan
yang memiliki gagasan dan kompetensi agar jangan ragu dan takut untuk
memasuki politik formal (yang maskulin ini).
Kedua,
partai politik sebagai instrumen kaderisasi juga harus berkomitmen dalam
menerapkan tindakan affirmative yang tidak hanya menjadi tindakan prosedural
sekedar mengejar angka 30%. Dibutuhkan juga perlindungan lebih serta
peningkatan kualitas calon-calon legislatifnya agar dapat memperbesar peluang
keterpilihan caleg-caleg perempuannya.
Terakhir,
saya juga berharap agar pemerintah dapat melakukan terobosan agar isu
perempuan tidak melulu dilihat pada persoalan kesejahteraan (welfare) . Perlu
dilakukan upaya-upaya yang signifikan terhadap pemberdayaan politik perempuan
serta perwujudan keadilan bagi perempuan sebagai arus utama program
pemberdayaan perempuan. Kehadiran negara dalam penyelenggaraan pendidikan
politik bagi perempuan adalah sebuah keniscayaan.
Kita
tak lagi berhadapan dengan rezim yang otoriter sebagaimana dilakukan gerakan
Las Madres de Plaza de Mayo. Tetapi bukan berarti tantangan kita menjadi
lebih mudah. Para perempuan harus bekerja dua kali lipat karena isu
perempuan, politik dan pengambilan keputusan belum menjadi arus utama dari
fokus gerakan perempuan. Jalan masih akan panjang, tetapi sebagai tahun
politik, sekarang adalah momentum emas bagi politik perempuan di republik
ini.
Selamat
Hari Perempuan! Maju terus perempuan Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar