Izin
Penelitian
Robert Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS,
05 Maret
2018
Ekosistem penelitian di negeri ini telah lama
diganggu aneka hambatan sistemik. Salah satunya yang memantik polemik terbaru
datang dari sisi negara: surat
keterangan (izin) yang wajib diurus lembaga penelitian sebagaimana diatur
sebagai penegasan ulang dalam Permendagri No 3/2018.
Kemunculan beleid ini menyimpan kontradiksi
dalam dirinya. Selain proses penyusunan tak melibatkan para peneliti yang
hendak diatur (problem moral kebijakan), regulasi ini muncul di tengah
kehendak kuat Presiden Jokowi agar program-program yang dibuat pemerintah
mesti mencerminkan kondisi empiris dan kebutuhan masyarakat. Penelitian
sebagai jalan metodis mendapatkan bukti-bukti di lapangan bagi pembuatan
kebijakan publik (evidence-based policy making) justru dipersulit.
Namun, lebih mendasar lagi, regulasi dan
birokrasi izin penelitian itu sendiri merupakan raut kasar intervensi negara
untuk mengendalikan dunia akademik. Pengalaman berbagai lembaga
riset—terutama yang berbasis kampus, asosiasi usaha/swasta dan masyarakat
sipil—menunjukkan izin yang merupakan warisan negara otoritarian Orde Baru
(sejak 1972 berupa surat kawat, diperkuat lewat Permendagri No 64/2011,
Permendagri No 7/2014 dan terakhir Permendagri No 3/2018) berdampak atas
teknis manajemen dan substansi desain penelitian.
Larangan penelitian
Dalam penelusuran lebih jauh, studi terbaru
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di Provinsi Yogyakarta,
Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Propinsi Jawa Timur, Kota Surabaya dan
Kabupaten Malang yang diumumkan belum lama ini menunjukkan sejumlah tipologi
kebermasalahan krusial.
Dalam ruang terbatas ini hanya disampaikan dua
ikhtisar perihal manfaat keberadaan dan tata kelola birokrasi terkait
efektivitas pelaksanaan dan implikasi praktis di lapangan. Pertama, sebagaimana lazim dalam izin usaha
dan aneka izin lain di republik ini, pertanyaan “siapa butuh apa” mengarah ke
jawaban klasik: alih-alih peneliti, sesungguhnya negara yang membutuhkan
keberadaan izin penelitian itu.
Proposisi negara: penelitian adalah barang
terlarang; agar bisa dilakukan, peneliti harus mengantongi izin negara lebih
dulu. Sikap ini erat terkait apa yang oleh Permendagri No 3/2018 dirumuskan
sebagai “dampak-dampak negatif penelitian” atau secara vulgar dituding
berpengarauh terhadap risiko keamanan dan keutuhan NKRI, harmoni sosial,
hingga menyelamatkan wajah pejabat.
Pada sisi lain, narasumber dari kalangan
peneliti sendiri justru bingung merumuskan manfaat bersih apa yang mereka
peroleh, kecuali bahwa jika sudah mengantongi izin maka—meski bukan
jaminan—berpeluang meraih data dan narasumber pemerintah. Namun, ini tentu hanya
bisa dibilang sebagai manfaat jika cara lihatnya juga berada dalam optik
negara tadi: data dan narasumber adalah obyek terlarang; para peneliti harus
membeli “karcis masuk” untuk bisa akses keduanya.
Harapan lebih jauh agar nomor registrasi izin
itu sekurangnya menjadi kode pencarian dalam pangkalan data yang kelak
menjadi lumbung informasi/pengetahuan bagi publik (repositori) dan bahan
dasar bagi pembuat kebijakan (knowledge to policy) bagai menggantang asap.
Izin jelas gagal menjadi semacam sistem insentif bagi peneliti untuk berharap
adanya “manfaat lebih” dari repot-repot mengurusnya ke birokrasi.
Kedua, sindrom birokratisasi seperti lazimnya
berurusan dengan instansi pemerintah/pemda di negeri ini memengaruhi arus
manajemen penelitian. Untuk studi skala nasional, lembaga penelitian mengurus
izin bertingkat: di ousat (Ditjen Polpum), di provinsi (Kesbangpol), berakhir
di kabupaten/kota (Kesbangpol atau PTSP).
Bahkan dalam Pasal 8 Ayat (2) Permendagri No
3/2018 ditambah satu mata rantai baru: surat permohonan yang “direstui”
lurah/kades yang dalam praktiknya niscaya melahirkan “restu” lain di level
RT/RW. Tak ada kepastian waktu untuk bisa merampungkan semua tahapan, namun
hitungan argo normal tercepat adalah 8 hari meski realisasinya secara umum bisa
3 minggu. Model birokrasi bertingkat demikian berimplikasi kepada izin yang
saling mensyaratkan dan saling mengunci. Peneliti tak akan pernah memperoleh
izin di provinsi jika belum mengantongi izin dari pusat, demikian selanjutnya
provinsi terhadap kabupaten/kota.
Ketiadaan standar operasi hingga problem
teknis di street level bureuacracy semacam kelurahan atau desa hingga
nasional membuat urusan izin gampang berubah jadi pasar gelap yang rentan
perburuan rente. Variasi lokal yang tajam, bahkan antar daerah di Jawa, tak
kalah bikin pusing peneliti sejak identifikasi instansi yang hendak ditemui
hingga tahapan prosedur dan kelengkapan dokumen.
Parsial
Merespons protes publik, Mendagri Tjahjo
Kumolo telah menangguhkan pemberlakuan permendagri No 3/2018 dan itu berarti
kembali Permendagri No 7/2014. Keputusan yang disambut baik sebagian pihak,
namun respons ini boleh jadi beralas pemahaman parsial. Jika kita hanya
memiliki satu pilihan di antara kedua beleid , saya memilih Permendagri No
3/2018 yang sedikit lebih rendah dosis mudaratnya. Jika Permendagri No 7/2014
mengatur masa berlaku izin lebih singkat (6 bulan dan setelah itu urus
perpanjangan), Permendagri No 3/2018 mengatur tempo lebih lama (setahun).
Bagi para antropolog yang menghabiskan waktu bertahun-tahun di lapangan,
misalnya, tempo lebih lama tentu agak melegakan.
Opsi fundamental yang semestinya diambil
adalah mencabut berbagai regulasi yang ada. Alasan keberadaan dan keharusan
mengurus izin tidak saja janggal, tapi bahkan sepihak. Izin sebagai
“kompensasi atas larangan” adalah resonansi dari karakter rezim
pengendalian/keamanan (ranah Kemendagri) dan mengangkangi kaidah kebebasan
akademik (ranah Kemenristek).
Fenomena ini juga semakin menegaskan lemahnya
tradisi keilmuan (sikap budaya) dalam birokrasi dan pranata politik kita
untuk menjadikan hasil riset sebagai basis pembuatan kebijakan. Banyak
perencanaan program di instansi pemerintah disusun berdasarkan portofolio
(tupoksi) yang amat parsial dan cekak, nyaris tanpa terobosan besar dengan relevansi
sosial yang teruji.
Negeri ini tak boleh jadi aneh sendiri, larut
melawan semangat zaman. China yang amat liat sentralitas politiknya saja
sedemikian kuat mendorong kebebasan akademik bagi puluhan ribu tangki pemikir
kelas dunianya, menghargai tinggi ilmu sosial (Chinese Academy of Social
Sciences/CASS yang hebat dengan aneka jurnal bergengsi), bahkan meyakini
partai berkuasa hanya bisa terus eksis jika kebijakan negara tetap dirasakan
relevan oleh rakyat di mana relevansi kebijakan secara linear berarti
diadopsinya hasil riset berbasis bukti empirik di lapangan.
Alih-alih izin penelitian, negeri ini butuh
iklim dan ekosistem kondusif bagi lahirnya kompetisi dan inovasi, serta
lembaga penelitian yang tak lagi terus didera perkara kualitas riset, pendanaan
riset, adopsi hasil, dan seterusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar