Menuju
Kampus Transaksional
Ainna Amalia FN ; Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 08
Juni 2017
MENDAGRI Tjahjo Kumolo di depan para rektor perguruan
tinggi negeri dan swasta mengatakan bahwa pemilihan rektor PTN akan melalui
pertimbangan presiden. Bahkan, diusulkan pula pelantikan rektor dilangsungkan
di Istana Negara.
Alasan Mendagri melontarkan wacana ini adalah untuk
mewaspadai ajaran radikal yang mulai marak di dunia kampus. Mendagri
menguatkan alasannya dengan penemuan kasus calon rektor di sebuah perguruan
tinggi yang merupakan simpatisan ISIS. Hal ini diketahui ketika sang calon
rektor akan dilantik.
Bergulirnya wacana ini akhirnya menuai pro dan kontra.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pe ri ode 2003– 2008 Prof Jim ly Asshiddiqie
cenderung mendukung wacana pelibatan presiden dalam pemilihan rektor PTN.
Dia beralasan, pemilihan rektor awalnya memang ditentukan
oleh presiden. Namun, sekitar tahun 1994, karena jumlah PTN makin banyak dan
presiden mengurusi banyak hal, mekanismenya diserahkan ke menteri pendidikan.
Politik Intervensi Bergulirnya wacana pelibatan presiden dalam pemilihan
rektor PTN ini banyak juga yang tidak setuju.
Pihak kontra menganggap
pelibatan presiden sebagai bentuk intervensi yang bertentangan dengan
semangat otonomi kampus (JP, 3/6/2017). Di negara mana pun, tidak pernah ada
seorang rektor yang dipilih oleh kepala negaranya.
Di samping itu, apabila rektor dipilih oleh presiden,
muncul kekhawatiran adanya kepentingan politik dalam prosesnya. Karena
presiden merupakan jabatan politis yang diajukan oleh parpol. Sehingga,
posisi rektor bisa disalahgunakan untuk urusan dukung-mendukung kepentingan
politik.
Jika wacana ini benar akan diterapkan, kampus yang
seharusnya menjadi tempat bersemainya beragam ilmu dan pengetahuan akan
berubah menjadi kampus yang bergulat dengan transaksitransaksi politik.
Rektor akan tersandera oleh kepentingan politik praktis. Sehingga, semangat
awal untuk memberantas paham radikal bisa jadi tak tercapai.
Lagi pula, dalam aturan baru yang tertuang dalam
Permenristekdikti 19/2017, tidak ada klausul yang menyebutkan bahwa penetapan
rektor perlu pertimbangan presiden. Hanya disebutkan bahwa Menristekdikti
memiliki 35 persen suara dalam proses pemilihan rektor.
Karena itu, jika memang niat awal pemerintah ingin
membendung ajaran radikal masuk ke dunia kampus, seharusnya pemerintah, dalam
hal ini presiden, tidak terjebak pada hal-hal yang sifatnya prosedural, namun
mengabaikan yang sifatnya subtantif, yaitu penyebarluasan gagasan demokrasi
inklusif.
Pembumian gagasan ajaran Islam yang inklusif jauh lebih
penting dan strategis untuk membatasi berkembangnya paham radikal di kampus.
Bisa dengan cara masuk ke dalam kurikulum perkuliahan maupun dalam
kegiatan-kegiatan mahasiswa, baik ekstra maupun intra kampus.
Gerakan penyebarluasan gagasan Islam inklusif ini mendesak
untuk segera dilakukan karena kalangan mahasiswa, sebagaimana disebut oleh
Quintan Wiktorowicz (2005), cenderung mengalami cognitive opening (pembukaan
kognitif), yaitu sebuah proses mikrososiologis yang mendekatkan mereka pada
penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal.
Suasana batin kalangan mahasiswa yang selalu merasa tidak
puas, mudah marah, dan frustrasi terhadap kondisi lingkungan sosialnya sering
kali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dengan memengaruhi mereka.
Caranya menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran,
solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan.
Indoktrinasi paham radikal ini dilakukan dengan beberapa
cara, di antaranya, pertama, menggunakan narasi politik. Menghadirkan
ketidakadilan yang dialami umat Islam. Hingga membuat mereka terpanggil untuk
melakukan ’’jihad’’. Kedua, menggunakan narasi historis.
Kesejarahan yang
diajarkan bukan untuk melahirkan wisdom, tetapi untuk membangkitkan dendam.
Ketiga, narasi psikologis. Mempersepsikan tokoh-tokoh
kekerasan sebagai pahlawan agar terjadi proses imitasi perilakunya. Keempat,
instrumental narration atau menganggap kekerasan sebagai solusi pemacahan.
Kelima, narasi keagamaan atau penggunaan ayat-ayat untuk merekrut anggota
kelompok baru. Ayat yang dipakai cuma sepenggal sehingga pemahamannya sangat
bias.
Saat ini proses indoktrinasi yang dilakukan kelompok radikal
makin masif. Tidak hanya menyasar kepada mahasiswanya, kalangan dosen juga
banyak yang dijadikan target. Dengan cara-cara yang sudah disampaikan di
atas. Karena itu, upaya pencegahan yang dilakukan tidak bisa lagi secara
parsial, namun harus dilakukan secara holistik.
Pelibatan presiden dalam pemilihan rektor PTN bisa jadi
bukan cara yang efektif bagi solusi maraknya radikalisme di kampus. Karena
itu hanya bersifat prosedural yang tidak menyentuh akar masalahnya.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang bersama untuk
merefleksikan keindonesiaan dan kebangsaan bisa berubah menjadi kampus
transaksional. Sarang bertransaksi kepentingan-kepentingan politik praktis.
Sehingga, paham radikal makin leluasa berkembang di kampus. Pada saat itulah
kampus akan berada dalam kondisi darurat paham radikal. Tentu kita tidak
mengharapkannya, bukan. Wallahu a’lam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar