Sabdatama
Sultan HB X dan Suksesi Kekuasaan
Sri Margana ; Dosen Pascasarjana Sejarah FIB UGM
|
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2015
BARU-BARU ini masyarakat di Yogyakarta
dikejutkan dengan serangkaian sabdatama Sultan Hamengku Buwono X. Sabdatama dimaknai
sebagai titah utama raja, yang dalam konsep kekuasaan raja memiliki kekuatan
besar dan harus dipatuhi rakyat.
Sabdatama Sultan HB X yang pertama ialah
rakyat diminta untuk tidak lagi membicarakan suksesi kerajaan karena suksesi
kerajaan ialah mutlak menjadi kekuasaan raja. Sabdatama kedua ialah
penggantian nama kebesaran raja dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono,
serta penghilangan atribut yang menyertai gelar raja sayidin panatagama
khalifatullah. Sabdatama terakhir ialah pemberian gelar putri tertuanya, GKR
Pembayun, dengan gelar GKR Mangkubumi. Sabdatama terakhir itu dapat dimaknai
sebagai pengangkatan GKR Pembayu sebagai putri mahkota atau calon pengganti
raja.
Tentu ketiga sabdatama HB X itu mengundang pro
dan kontra di dalam masyarakat karena belum pernah terjadi sebelumnya raja
Jawa dari keturunan Mataram Islam memberi gelar mangkubumi kepada seorang
putri perempuan. Juga belum pernah terjadi dalam sejarah kerajaan Islam di
Yogyakarta itu dipimpin seorang raja perempuan atau ratu karena menurut
Islam, seorang perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin negara.
Perubahan nama bukan
gelar
Dari perspektif sejarah, perubahan gelar oleh
raja-raja di Mataram memang telah terjadi berulang kali sejak kerajaan itu
didirikan pada akhir abad ke-16. Gelar-gelar yang pernah disandang raja-raja
Mataram ialah panembahan, susuhunan,
dan sultan. Gelar itu disusul namanama raja (dinasti) dan atribut lain yang
menyertai gelar itu untuk menunjukkan fungsi dan kedudukannya.
Namun, sejak Perjanjian Giyanti (1755) Sultan
HB I hingga HB X menyandang gelar yang sama saat dinobatkan menjadi raja.Hal
yang sama juga terjadi pada tiga swapraja lain di Surakarta dan Yogyakarta,
yaitu Kesunanan, Mangkunegaran (1757), dan Pakualaman (1813).
Sebenarnya yang dilakukan oleh Sultan Hamengku
Buwono X bukanlah mengubah gelar raja, melainkan mengubah nama raja dan
atribut yang menyertai gelar raja. Gelar raja sultan tetap dipertahankan,
sedangkan namanya diubah dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono.
Desakralisasi fungsi
dan kedudukan raja
Perubahan nama raja dari Hamengku Buwono
menjadi Hamengku Bawono sebenarnya tidak memiliki implikasi besar dalam hal
makna karena buwono dan bawono dalam kamus bahasa Jawa memiliki makna yang
sama, yaitu `Bumi'. Namun, penghilangan atribut yang menyertai gelar raja sayidin panatagama kalifatullah
memiliki implikasi budaya yang penting, khususnya tentang kedudukan dan
fungsi simbolis raja.
Dalam konsep kekuasaan Jawa raja tidak hanya
dianggap sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi juga pemimpin agama,
anutan dan pelindung umat dalam menjalankan kehidupan rohani. Dengan
penghilangan ketiga kata itu dalam rangkaian gelar raja, berarti HB X telah
mereduksi fungsi dan kekuasaan raja sebatas sebagai pemimpin dunia profan. Penghilangan
ketiga kata itu juga dapat dianggap sebagai desakralisasi fungsi dan
kedudukan raja.
Implikasi politik
Dari perspektif politik memang tindakan Sultan
HB X itu dianggap sebagai langkah politik untuk mengantisipasi suksesi
kerajaan yang cepat atau lambat akan terjadi di Yogyakarta. Ada yang
mengatakan sebuah tindakan untuk mengamankan dan menjamin bahwa takhta
kerajaan jatuh di tangan putrinya sendiri.Bagaimanapun juga tindakan Sultan
itu dijamin hak-hak tradisionalnya sebagai raja.
Soal takhta kerajaan memang hak tradisional
Sultan HB X, tetapi sejak pemerintah pusat mengakui secara legal dan formal
keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, suksesi takhta kerajaan
juga berkait langsung dengan suksesi Gubernur dan Kepala Daerah Provinsi DIY.
Menurut UU Keistimewaan yang baru, gubernur dan kepala daerah di Provinsi DIY
secara otomatis akan dijabat Sultan Yogyakarta.
Sekalipun benar bahwa tindakan Sultan HB X ini
sebagai upaya double counter untuk
mengamankan takhta dan kepemimpinan daerah, lagi-lagi tindakan itu dijamin
hak tradisionalnya yang kemudian diakui atau dikukuhkan secara legal formal
dalam undang-undang negara.
Tantangan bagi
masyarakat Yogyakarta
Sabdatama Sultan HB X ini
memang merupakan sebuah langkah yang berani karena ia telah membuat sebuah
keputusan politik untuk mengubah tradisi budaya yang telah lama mapan. Namun,
kemapanan itu sendiri tentu sangat bersifat subjektif, khususnya jika
dihadapkan pada tuntutan modern tentang kehidupan yang emansipatif berupa
pengakuan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tampaknya Sultan
menyadari pula kehidupan dan tata nilai yang berubah dalam bermasyarakat dan
bernegara itu sehingga ia berani memulai tradisi baru itu.
Gelar raja dan gelar-gelar lainnya dalam
lingkungan Keraton Yogyakarta ialah hak mutlak Sultan. Sebagai raja, Sultan
berhak memilih gelar, nama, dan atribut-atribut politik dan budaya lainnya
yang menyertainya. Seperti halnya yang dilakukan rajaraja Mataram sebelum
Perjanjian Giyanti.
Tampaknya
Sultan HB X juga hendak menantang sikap konsisten masyarakat dalam mendukung
keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta seharusnya
sejak awal harus menyadari dan memahami `keistimewaan' itu berarti bahwa
kepemimpinan daerah ialah monopoli sultan. Jika masyarakat Yogyakarta tidak
bisa menerima pemimpin perempuan di wilayahnya, mengapa sejak awal ngotot
mendukung keistimewaan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar