AA
= 80 Juta
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN JAKARTA, 23 Mei 2015
Gegara
awalnya ada gosip, artis dengan inisial AA melakukan prostitusi, konon dengan
tarif Rp80 juta untuk short time.
Ini istilah waktu kencan sekitar 3-4 jam, yang dibedakan dengan long time, atau semalam suntuk.
Dunia
kencan esekesek selalu memiliki istilah tersendiri yang hanya dimengerti
mereka yang terkait di dalamnya, walau kenyataannya menyebar menjadi rahasia
yang diumumkan. Dari inisial itu Butet K. melalui Twitter-nya mempertanyakan
apakah AA itu adalah saya. Lalu ramailah komentar dan komentar beruntun.
Follower , pengikut Butet mencapai ratusan ribu, yang jika setengah persen
memberi komentar bisa menjadi ramai.
Butet
komedian handal sedang melucu. Dan ditanggapi secara lucu oleh yang lain,
jadilah guyonan bak berbalas pantun. Namun kabar AA yang gosip diterima
dengan serius. Termasuk daftar inisial lain yang mudah ditebak siapa
orangnya, dan harga booking-nya. Menurut sumber, data itu muncul dari RA,
yang adalah mucikari, yang dulunya pernah menjadi penata rias. Sejak awal
pun, ketika dimintai pendapat dalam wawancara, saya mengatakan kabar itu
sangat pantas diragukan.
Banyak
kejangalan, dan ketidak-masuk akalan. Yang utama sumbernya hanya satu orang,
dalam hal ini RA. Sungguh tidak layak jika sumber berita hanya berasal dari
satu orang/sumber lalu diangkat secara besar-besaran. Tanpa upaya pihak lain
untuk membenarkan dan atau menolak. Sehingga berimbang. Kali ini hanya dari
satu sumber, dan disambar begitu saja. Memang berita “artis nyambi perek”,
merupakan berita yang seksi—pun andai tidak disertai data dan fakta. Keraguan
kedua adalah RA sebagai mucikari, yang konon mempunyai anak buah belasan atau
bahkan sampai 200 artis. Rasanya menjadi lebih janggal lagi kalau masing-
masing artis berbeda tipis tarifnya.
Rasanya
selama ini bayaran profesional artis terbagi dalam kategori atas, menengah
atau kelas figuran. Dan bukan seperti harga cabe yang dibedakan keriting,
atau rawit. Dan lebih tidak mungkin lagi sang artis menitipkan harga yang
lumayan gede begitu saja. Apalagi si mucikari mendapatkan bagian 30 persen.
Namun demikian sungguh menyenangkan. Kesigapan polisi layak mendapat pujian.
Para ahli hukum juga melihat dari sudut hukum dan menemukan banyak
ketimpangan dalam menangani pelacuran. Mucikari bisa kena sanksi hukum,
sementara pelaku atau pengguna malah lolos. Itu pun hukuman yang tak begitu
berat. Dan seperti banyak kasus lain, kasus ini pun melenggang begitu saja.
Segala riuh rendah tak meletakkan dalam penyelesaian, atau ada realisasi
bagaimana mengatasi atau mempersoalkan.
Saya
tergoda dengan mengemukakan bahwa persoalan yang lebih mendasar adalah bahwa
segala sesuatu yang menyangkut perempuan, selalu berada dalam situasi : yang
belum selesai. Sesuatu yang masih terus mengambang—atau sengaja diambangkan.
Dalam hal ini paling jelas bagaimana perempuan selalu disalahkan, dan pria
tak dipersoalkan.
Padahal
transaksi hanya terjadi dari kedua pihak. Dari sisi yang lain, pihak
perempuan bahkan masih harus menghadapai masalah psikologis dan sosial kalau
ingin menjadi anggota TNI, harus memenuhi syarat keperawanan. Perawan atau
tidak dikaitkan dengan tata nilai, dengan moral. Seperti kisah Sinta yang
diragukan keperawanannya oleh Rama, ribuan tahun lalu dalam wayang Ramayana.
Posisi yang kurang menguntungkan, misalnya sebagai pengusaha,dan harus
berhubungan dengan pihak bank untuk memperoleh kredit, harus ada persetujuan
atau izin dari suami.
Perempuan
dijadikan tidak mandiri, tidak berdaulat atas dirinya sendiri, atas nasibnya.
Kasus AA=80 juta, mudah-mudahan juga sekaligus membuka lebih luas dan
mendasar bahwa sesungguhnya kita semua masih membebani kaum perempuan dengan
mitos, dengan realitas bikinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar