Negeri
Heboh ”Online”
Said Aqil Siradj ; Ketua
Umum PBNU
|
KOMPAS, 23 Mei 2015
Negeri
kita tampaknya terus dilanda wabah heboh. Dari heboh soal politik, hukum,
ekonomi, hingga radikalisme dan prostitusi. Semua pertunjukan itu tak lagi
heboh dalam ranah ’manual’, tetapi makin menghebohkan di wilayah online.
Sesuatu
yang bersosok online, kini terasa lebih menghebohkan benak masyarakat. Tak
heran, bermunculan semisal ’radikalisme online’ atau ’prostitusi online’.
Apalagi pada kasus ’prostitusi online’ yang melibatkan artis, gaungnya lebih
menggelegar. Apa pun yang dilakukan artis, akan menjadi trending topic yang hangat-hangat sedap.
Bermula
dari kasus terbunuhnya Tata Chubby, seorang pekerja seks komersial (PSK) di
Jakarta, tiba-tiba semua tersentak. Lalu secara masif terjadilah penertiban
terhadap rumah kos-kosan dan apartemen. Belum usai hiruk pikuk itu, kita
lagi-lagi digegerkan oleh prostitusi short
time kaliber artis bertarif Rp 80 juta hingga Rp 200 juta yang dijajakan
secara online alias daring (dalam jaringan). Bagi kalangan umum, tarif
sebesar itu sangat fantastis, terlebih di tengah situasi ekonomi kita yang
sedang malaise.
Maka,
’pengawasan moral’ pun digiatkan kembali. Seolah siuman dari tidur panjang
soal moral, kini kita saksikan gerakan menumpas amoralitas. Bahkan, ada
permintaan agar Presiden menaruh perhatian khusus soal maraknya prostitusi.
Tuntutan juga dibidikkan untuk mengusut para pemakai jasa prostitusi elite
yang, konon, melibatkan kalangan papan atas.
Produk Industrialisasi
Inikah
wajah negeri kita saat ini? Di satu fakta, negeri kita sedang dilanda heboh
wabah radikalisme yang mengkhawatirkan. Di sisi lain, wabah heboh prostitusi
online semakin menggemaskan. Cukupkah pemblokiran situs porno ataupun situs
radikal? Ternyata masih banyak ’jalan tikus’ lewat perkakas teknologi yang
bisa dimanfaatkan untuk melampiaskan tujuan.
Mengapa
pelacuran terus bertumbuh, tak ada matinya? Banyak pendapat bahwa prositusi
seusia munculnya manusia. Sejak masa penguasa purba telah berupaya menghardik
pelacuran baik dengan hard power melalui
sanksi hukum ataupun soft power
melalui sanksi sosial. Kendati ada efek yang membuat setidaknya pelacuran
tunggang langgang, tetapi pelacuran terus mengendap-endap, mengular, dan
membesar.
Di
Yunani pada awal abad ke-6 SM merupakan periode ketika prostitusi tidak dapat
dikontrol keberadaannya, terutama ketika Solon (639-559 SM) mendirikan
lokalisasi pertama kalinya di Athena. Namun, tujuan pembangunan lokalisasi
berbeda dengan sekarang, karena masa itu bertujuan menolong membebaskan anak
remaja (laki-laki) yang telah mencapai usia reproduksi dan menjaga agar
mereka tidak melakukan perselingkuhan dengan perempuan terhormat (Nikolaos A Vrissimtzis, 2006;86).
Perkembangan
zaman makin menumbuhkembangkan pelacuran sehingga berbagai modus pelacuran
pun kian beragam. Di saat modernisasi menguat, pelacuran justru membiak. Apa
lacur, pelacuran lalu jadi industri yang menggiurkan untuk menangguk uang. Di
negeri-negeri Barat, pelacuran bahkan telah mendapatkan legalitas, semisal di
Belanda.
Di
negeri kita, tentu saja tidak bisa disamakan dengan negeri Barat yang
permisif, fakta pelacuran menunjukkan dinamikanya. Sebagai penanda, ketika
industrialisasi dipancangkan, dengan menyulap kota sebagai pusat ekonomi
sehingga menjadi tumpuan perburuan nafkah, tak kecil akibat yang ditimbulkan.
Lahan desa yang makin hari makin sempit, menyempitkan mata pencarian, lalu
urbanisasi terjadi besar-besaran. Hingga kini, pembangunan yang masih
menempatkan kota sebagai pusat segalanya, urbanisasi tak pernah surut.
Ada
fakta yang mempertontonkan betapa gadis-gadis desa yang tadinya lugu nan
polos datang ke kota-kota besar dengan menggenggam mimpi indah menggapai
sejahtera ekonomi, sering kali dilaluinya dengan memasuki industri pelacuran.
Runyamnya lagi, bermunculan pialang-pialang yang menjanjikan mimpi indah. Tak
aneh, sampai hari ini cerita tentang perdagangan manusia masih terus memanas.
Gaya hidup dan kesenjangan
Kita
hidup dalam jagat informasi yang berdampak besar dalam komunikasi antarorang.
Masyarakat mudah menampilkan diri secara daring di internet, berkomunikasi,
berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi serta membangun jaringan
tanpa batas. Internet memiliki peranan yang sangat signifikan demi meningkatkan
marketing dan propaganda apa pun, termasuk memanjakan pelacuran. Doktrin
”saat ini, jika Anda tidak eksis di internet, Anda tidak eksis”, telah
menjadi ’gizi’ baru yang ’mencerdaskan’ bagi siapa pun.
Selama
ini kita terfokus pada ancaman radikalisme. Tentu beralasan karena
radikalisme di negeri kini tengah mengalami peak season. Globalisasi—tulis
Gary R Bunt—turut membidani lahirnya terorisme (2005:21). Pun globalisasi
turut membidani ’panen raya’ pelacuran.
Oleh
karena itu, mestinya kita juga harus waspada sekaligus bertindak terhadap
ancaman prostitusi yang telah menjerat banyak lapisan masyarakat, baik di
lapis bawah maupun di lapis mapan, terutama di kalangan anak-anak muda.
Ancaman maraknya prostitusi ini akan merusak mentalitas bangsa, terutama
mental suka menerabas.
Pandangan
bahwa pelacuran terjadi melulu akibat impitan ekonomi sudah tidak sepenuhnya
tepat. Pelacuran terus bermetamorfosa dan kian canggih. Para pelakunya sudah
’naik pangkat’ dengan sokongan peranti teknologi.
Artinya,
pelacuran telah menjasad dalam syahwat hedonisme dan gaya hidup di
masyarakat. Tuntutan gaya hidup yang tinggi seperti di kalangan selebritas
akan mudah menjerat hasrat meraup uang dengan jalan mudah. Bandingkan,
seorang PSK cukup satu atau dua jam bisa menangguk uang yang hasilnya bisa
jauh melebihi sebulan gaji anggota staf kantoran atau malahan buruh pabrik.
Inilah yang kian memicu kesenjangan di masyarakat. Wajah sadis kapitalisme
ini perlu diredam dengan ketegasan hukum.
Dalam
masyarakat yang permisif—menyitir Nikolaos A Vrissimtzis—kehadiran prostitusi
makin tak terlelakkan. Negeri kita jelas bukan penganut permisivisme. Di
negeri ini banyak terpendam khazanah spiritual, moral, dan keagamaan yang
bisa menjadi modalitas membangun peradaban keindonesiaan. Ini bukan sekadar
jargon, melainkan perlu diwujudkan dalam kebijakan negara.
Nah,
saatnya memperkuat peran pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap rakyatnya dalam membendung pelacuran. Kita tahu, Pemerintah
Indonesia saat ini sedang berjuang keras mewujudkan ’revolusi mental’.
Berseiring dengan usaha memberantas korupsi yang sudah digolongkan sebagai
kejahatan luar, seperti halnya narkoba dan terorisme,perilaku amoral tentu
akan membuat degradasi mentalitas anak bangsa. Ia juga akan membahayakan
peradaban adiluhung bangsa, serta mempertajam kesenjangan ekonomi. Oleh
karena itu, semestinya tidak perlu lagi menunggu laporan keberatan dari pihak
lain untuk ditindak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar