Menjadi
Betina, Itu Saja
Yuanita Maya ; Penulis
Lepas; Ibu Rumah Tangga
|
KOMPAS, 23 Mei 2015
Pengusung
gerakan women's lib aliran keras
berkukuh bahwa yang membedakan perempuan dan laki-laki hanyalah kemampuan
menghamili dan dihamili. Syukurlah keberadaan lelaki dan perempuan tak
sesederhana itu sebab alam punya cara kerja yang berbeda, tak peduli sekeras
apa kaum di atas berteriak. Sejak lahir, secara umum perempuan dan laki-laki
punya pembawaan alamiah yang berbeda (tentu saja dengan mengesampingkan
mereka yang punya kelainan kromosom).
Rumusan
alam itu dicatat oleh Margarete Mitscherlich dalam bukunya Die Zukunft ist Weiblich (Masa Depan adalah Betina). Bukan buku
baru, melainkan alam itu sendiri jauh lebih lama dari penulis zaman kapan
pun. Di sini Mitscherlich dengan jeli merumuskan dua kutub betina dan jantan.
Pola berpikir betina, weiblich,
ditandai sikap penuh tepa selira
(tenggang rasa), toleran kepada pihak lemah, bersikap merawat, dan memikirkan
penderitaan orang lain yang kontras merupakan lawan dari berpikir jantan, maennlich.
Maennlich
memuat hasrat laki-laki menguasai, nafsu agresif, serta kepemilikan jiwa
paranoid (simtom penyakit jiwa, merasa terus diuber-uber lawan). Implikasinya
adalah ciri-ciri khas maennlich
yang sulit mawas diri, curiga pada sesama, suka menyalahkan orang lain, tak
mau mengakui kesalahan, dan penuh semangat balas dendam. Singkatnya,
megalomania dalam berbagai derajat dan cara.
Itu
sebabnya profesi tertentu seperti perawat, guru TK, dan pengasuh bayi
'dikuasai' perempuan sebab natural memang terlahir mengemong dan merawat
dunia yang terdekat dengannya. Namun, tentu saja profesi yang dilibati para
perempuan bukan hanya terbatas pada yang tersebut di atas saja. Semua profesi
sudah dimasuki perempuan.
Yang
menjadi masalah, benarkah perempuan sama sekali tidak menghadapi kesulitan
memasuki apa yang beberapa dekade sebelumnya disebut 'dunia laki-laki'?
Benarkah segalanya jadi mudah bagi perempuan, bahkan setelah menjadi pemimpin
revolusi dan kepala negara bukan lagi hal mustahil? Fakta mencatat bahwa
perempuan banyak mengalami kesulitan dalam 'dunia laki-laki'. Jika tidak,
KUHP tentu tak akan mencantumkan pasal yang mengatur ketentuan perbuatan
cabul di tempat kerja, terutama jika dilakukan atasan. Itu baru perkara
pelecehan seksual. Belum terhitung kerasnya persaingan di dunia kerja,
kesenjangan gaji antara karyawan perempuan dan laki-laki sekalipun kualitas
dan kapasitas mereka sama.
Mudah
disimpulkan bahwa terbukanya keran berekspresi dan aktualisasi diri tak
otomatis membuat perempuan bebas membawa, terlebih mengembangkan, sifat natur
betinanya. Bahkan, ada banyak kasus ketika justru perempuan seperti melempar
bumerang kepada weiblich-nya sendiri. Ingat kasus Angelina Sondakh dan Ratu
Atut, berikut angka fantastis uang negara yang mereka curi demi kepentingan
pribadi? Natur weiblich tidak akan membiarkan mereka merampok uang rakyat
(yang banyak di antaranya masih makan nasi aking dan tinggal di kolong
jembatan) untuk tas atau sepatu berharga ratusan juta.
Natur weiblich sebaliknya adalah semacam
suara hati yang mendorong seseorang bersimpati pada penderitaan orang lain.
Peribahasa Jawa mengatakan simbok (ibu) kudu
wani nombok. Ibu adalah seseorang yang harus berani berkorban, berani
memberi lebih. Sayang sekali para perempuan ini dengan segenap kesadaran
justru membunuh weiblich mereka dan
mengangkat tinggi maennlich sebagai
ganti. Penampilan megah sebagai salah satu ukuran utama keberhasilan adalah
bagian dari maennlich yang haus
pengakuan sebagai bagian dari kekuasaan dan-untuk kepentingan itu-mereka
merampok milik rakyat tanpa kira dan minus rasa.
Megawati dan Sonia
Drama
keperkasaan maennlich turut
dipertontonkan pula oleh Megawati Soekarnoputri. Dalam Kongres PDI terakhir
Megawati meradang mengungkapkan amarahnya kepada Jokowi yang dianggap mbalela dan tak lagi manis turut
segala kehendak Sang Matron. Itulah
dorongan maennlich: agresif,
curiga, ingin menguasai, dan penuh hasrat balas dendam. Bukan hanya itu,
peristiwa ini pun dirilis media internasional, di antaranya The Wall Street Journal (11 April
2015) dengan kutipan: "Former
President Megawati Sukarnoputri this week delivered an unveiled message to
President Joko Widodo: You're a product of the party, and you remain at its
service." Sedikit saja dorongan maennlich dan Megawati dengan gemilang berhasil mempermalukan
Sang Presiden bukan hanya di hadapan ratusan juta rakyatnya, melainkan juga
di dunia internasional.
Bandingkan
dengan yang dilakukan Sonia Gandhi yang menolak jabatan luar biasa strategis
sebagai perdana menteri meskipun partainya memenangi Pemilu India 2004.
Keputusan ini diambil Sonia setelah muncul oposisi nasionalis Hindu yang
menganggap ia bukan keturunan India asli. Naluri weiblich Sonia mengatakan bahwa mengambil posisi PM yang
sesungguhnya merupakan haknya sama artinya dengan menoreh pisau perpecahan
bangsa yang berimplikasi pada biaya sosial nan besar. Nyatanya, keputusan
Sonia justru menuai gelombang simpati bangsa India. Kelak ia tetap kukuh
dalam eksistensinya sebagai politisi kaliber atas di negara dengan sejarah
politik yang kuyup darah dan air mata itu.
Sonia
dengan perkasa telah menunjukkan bahwa semangat menjatuhkan lawan serta
paranoia oposannya yang mayoritas laki-laki bisa ia patahkan dengan weiblich. Lebih tepatnya, dengan weiblich ia tetap bisa meraih dan
mempertahankan kekuasaan selama yang ia inginkan.
Karena
itu, perempuan tak perlu jadi laki-laki manakala ia hidup dalam dunia laki-laki
yang sesungguhnya sudah luar biasa acakadut
ini. Keperempuanan bisa dijadikan senjata mematahkan ruh dominasi dan
arogansi yang kuat dalam dunia laki-laki dan jika weiblich bisa dijadikan alat perlawanan dalam dunia politik yang
begitu keras dan kejam, terlebih dalam bidang lain yang lebih lembut dan
manusiawi.
Weiblich, seperti yang telah
didemonstrasikan Sonia Gandhi, berhasil meredam kericuhan bangsa dan negara.
Jadi, sekarang isunya bukan bagaimana peran perempuan dapat merambah ke
berbagai bidang, melainkan bagaimana perempuan tetap bisa menjadi perempuan
agar bisa memenuhi kodratnya sebagai sang empu. Menjadi eksis dan mengungguli
lawan dengan membunuh weiblich dan
jadi maennlich, sesuatu yang bukan
dirinya, sama sekali tak patut dibanggakan. Di mana pun perempuan, ia mesti
tetap perempuan. Dan menjadi betina adalah apa yang diperlukan perempuan
menyempurnakan kekuatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar