NU,
Pilkada Serentak, dan Politik Tingkat Tinggi
Muhammadun ; Analis Studi Politik;
Peneliti pada Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) PWNU
DI Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2015
KEMARIN, 16 Rajab 1436 H bertepatan dengan 5
Mei 2015, Nahdlatul Ulama (NU) berusia 92 tahun. Usia NU menjelang seabad,
peran sosial kebangsaannya sudah terbukti memberikan kontribusi penting bagi
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai organisasi yang
dipimpin para ulama, mulai KH M Hasyim Asy'ari, KH A Wahab Hasbullah, KH
Bisri Syansuri, KH Ali Maksum, KH Ahmad Siddiq, KH Ilyas Ruhiyat, KH MA Sahal
Mahfudh, dan sekarang KH A Mustofa Bisri, NU selalu berpijak kepada keputusan
ulama. Keputusan para ulama bu kan sekadar kebijakan organisasi, melainkan
kebajikan yang lahir dari nilai-nilai luhur agama dan budaya.
Ulang tahun ke-92 ini mungkin terasa berbeda,
karena baru saja NU ditinggal pemimpin tertinggi Rais Aam, KH MA Sahal
Mahfudh, pada 2014. Di tengah NU yang sedang diha dapkan beragam problem, termasuk
godaan politik lokal dalam Pilkada serentak 2015, sosok Kiai Sahal men jadi
orangtua, guru, dan panutan bagi warga NU. Tidak ada yang abadi kecuali
Allah. KH Said Aqil Siradj se bagai Ketua Umum PBNU menegas kan bahwa NU akan
tetap solid dan teguh menjaga warisan para kiai dan semua program kegiatan NU
akan terus berjalan seperti biasanya. Wakil Rais Aam, KH A Mustofa Bisri,
sebagaimana dalam AD/ART, telah menggantikan posisi Kiai Sahal sebagai Rais
Aam, sehingga kepemimpinan ulama akan terus berlangsung untuk melanjutkan
perjuangan.
Salah satu warisan penting Kiai Sahal terkait
dengan NU dan godaan politik kekuasaan ialah tausiah yang disampaikan dalam
rapat pleno PBNU, September 2013, di Wonosobo. Dalam khotbah iftitah-nya,
Kiai Sahal menegaskan bahwa NU merupakan organisasi keagamaan yang bersifat
sosial. Tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan, dan
melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman ahlussunnah wal jama'ah di bumi
Nu santara pada khususnya dan seluruh bumi Allah pada umumnya.
Dalam konteks ini, apalagi menje lang pilkada
serentak 2015, Kiai Sahal menegaskan bahwa politik yang dijalankan NU adalah
politik tingkat tinggi (high
politics/siyasah `aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, politik
kerakyatan, dan etika politik. Politik kebangsaan berarti NU harus konsisten
dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa
Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan
penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi, dan membela
rakyat dari perlakuan sewenang wenang dari pihak manapun. Etika politik harus
selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat
serta bangsa pada umumnya, agar ada kehidupan politik yang santun dan
bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.
Tiga traktat politik tingkat tinggi yang
ditegaskan Kiai Sahal ini lahir dari kejernihan batin dan kedalaman pemikiran
ihwal kondisi bangsa dan NU menghadapi percaturan politik yang
serbapragmatis. Kiai Sahal ti dak d k menginginkan i i k NU tterjerumus j
dalam politik rendah (low politics/ siyasah safilah) yang hanya berburu kursi
kekuasaan. Inilah komitmen Kiai Sahal agar NU bersih dan peduli dalam rangka
menjaga martabat bangsa. Politik yang menghalalkan segala cara yang menjangkiti
bangsa ini harus diluruskan dengan tiga trak tat politik tingkat untuk
membangun bangsa yang berkeadaban.
Menegakkan
persaudaraan
Bangsa Indonesia ialah bangsa yang bersaudara
lintas suku, agama, ras, dan lainnya. Tanpa ada persau daraan yang kuat,
Indonesia tak bisa lahir. Sejarah menegakkan Indonesia ialah sejarah
persaudaraan. Itu juga yang dilakukan NU. Dengan semangat persaudaraan, NU
ikut serta membangun bangsa dengan tulus. Kiai Sahal memahami itu semua,
sehingga tiga traktat politik tingkat tinggi yang disampaikan itu dalam
rangka menjalin persaudaraan di lingkungan warga NU (ukhuwah nahdliyyah).
Kalau persaudaraan antarwarga NU sudah
terwujud, NU baru bisa menjalin persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah), persaudaraan antarbangsa (ukhuwah basyariyyah), dan persaudaraan
sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
Di titik persaudaraan inilah, bangsa yang bermartabat dan berdaulat bisa
berdiri tegak.
Semangat persaudaraan yang diteguhkan Kiai
Sahal ini juga wujud keberpihakannya dalam membangun dan mengayomi persatuan
umat. Di sini, beliau ialah Ketua Umum MUI Pusat, yang terbukti mampu memandu
para ulama dari berbagai organisasi. Sikap beliau antara di MUI dan NU kadang
kala berbeda, tetapi bukan berarti Kiai Sahal tidak tegas. Beliau berada
dalam sikap moderat yang menjaga keutuhan dan persatuan umat demi tegaknya
Indonesia. Tak salah kalau KH Hasyim Muzadi menyebut Kiai Sahal sebagai ulama
negarawan yang memperjuangkan Indonesia secara substantif.
Warisan politik tingkat tinggi yang ditegaskan
dan dijalankan Kiai Sahal ini harus direalisasikan seluruh pimpinan NU, mulai
pusat sampai ranting. Tentu saja, KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) yang nanti
dikukuhkan menjadi Rais Aam, berperan sangat penting untuk menguatkan
keteladanan Kiai Sahal dalam konteks keorganisasian dan kejemaahan di NU. Gus
Mus yang juga budayawan akan menjadi orangtua dan guru yang ditunggu gerak
keteladanannya dalam memandu para ulama dan mengayomi umat.
Di tangan Gus Mus ini, politik tingkat tinggi
NU harus semakin kuat memperteguh persaudaraan, sehingga NU mampu terus
konsisten menegakkan NKRI. Pilkada serentak 2015 harus dibangun dengan basis
etik politik, sehingga Indonesia mampu tegak berdiri mengawal peradaban
Indonesia. Ini seirama dengan tema Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus
2015, bahwa NU akan terus berjuang keras membangun karakter dan basis
peradaban Indonesia dan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar