Hukum
dan Kepentingan Publik
Masdar Hilmy ; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS, 25 Mei 2015
Sudah
jamak dimaklumi, Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Di negara semacam ini, semua tindakan individu dan
institusi tidak bisa dilepaskan dari kerangka aturan dan hukum yang mengikat
semua warga negara.
Namun,
kita tidak boleh lupa bahwa sebuah negara hukum adalah hasil dari proses
konstruksi. Legalitas dan konstitusionalisme yang berlaku di dalamnya tidak
dapat ditegakkan tanpa kesadaran dari individu dan institusi terkait tentang
pentingnya hukum dan peraturan perundangan di ruang publik.
Di
sebuah negara hukum yang ideal, setiap pasal dan butir-butir peraturan
perundangan semestinya merefleksikan irisan kepentingan yang kuat bagi
kepentingan setiap warga negara, tanpa kecuali. Dengan hukum dan konstitusi,
hak-hak warga terjaga dari ancaman pihak-pihak tertentu yang dapat menggerus
eksistensi individu warga dan kepentingan publik. Memang sebuah konstitusi
tidak mungkin bisa memuaskan semua orang, tetapi target utamanya adalah
melindungi kepentingan sebanyak mungkin warga negara.
Batu sandungan
Namun,
mengonstruksi negara hukum yang ideal bukan soal mudah. Selalu ada banyak
batu sandungan yang akan mereduksi, bahkan menggagalkan terciptanya negara
hukum yang ideal itu. Batu sandungan pertama adalah "proseduralisme
hukum" yang banal, positivistik, dan mengabaikan rasa keadilan.
Penegakan hukum semacam ini hanya memperhatikan aspek legal-formal sebuah
diksi hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan dan kepentingan publik.
Proseduralisme
hukum tergambar dari penegakan hukum terhadap para pelanggar hukum
"kecil" (petty crimes)
yang "benar" menurut kategori positivisme hukum, tetapi mengabaikan
rasa keadilan publik. Kasus Asyani, seorang nenek yang mencuri kayu jati; dan
Minah, nenek yang mencuri tiga biji kakao, adalah contohnya. Memang kejahatan
tidak mengenal ukuran. Besar atau kecil tetaplah kejahatan yang harus
dihukum. Tapi, bukankah menghukum pencuri kecil, tetapi membiarkan pencuri
besar justru merupakan kejahatan lebih besar?
Batu
sandungan kedua adalah "pemelintiran" atau pembelokan hukum oleh
sejumlah elite hukum dari moral yang sebenarnya dengan cara memanipulasi
pasal-pasal hukum hanya mengakomodasi kepentingan segelintir orang. Memang
diksi hukum bersifat literal, tidak multitafsir. Namun, pengonstruksiannya
adalah proses subyektif yang tak kebal terhadap manipulasi dan rekayasa.
Dalam kondisi semacam ini, bisa saja sebuah penegakan hukum diintervensi oleh
"pesan sponsor" yang membawa kepentingan partikular. Akibatnya,
pembelokan dimensi teleologis hukum bukanlah hal yang tak mungkin terjadi di
republik ini.
Bagi
kalangan awam, pemelintiran atau pembelokan diksi hukum barangkali terdengar
mustahil. Tetapi, bagi kalangan yang "melek hukum" hal semacam ini
bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Hal ini karena proses-proses hukum
yang dijalani oleh siapa pun selalu merupakan proses subyektif yang
melibatkan dimensi psikologis-emosional manusia. Dalam hal penegakan hukum tercerai
dari aspek moralitas keadilan, pembelokan diksi hukum merupakan kejahatan
yang tak terperikan.
Ketiga,
penegakan hukum yang tendensius (lihat tulisan saya, Kompas, 9/4/2015), yakni
hanya ditegakkan ketika ada maksud-maksud tertentu dan hanya menyasar
orang-orang tertentu. Sebuah penegakan hukum dapat dikatakan tidak memiliki
irisan kepentingan publik jika kejahatan yang dilakukannya tidak berdampak
sistemik dalam kehidupan sosial masyarakat. Semakin sistemik dampak sebuah
kejahatan, penegakan hukum terhadapnya semakin memiliki relevansi yang tinggi
dengan kepentingan publik.
Lalu,
bagaimana potret penegakan hukum kita terkait kepentingan publik? Jika mau
jujur, penegakan hukum yang dilakukan Polri dan lembaga peradilan lainnya
belum sepenuhnya mencerminkan aspirasi atau kepentingan publik. Yang dimaksud
kepentingan publik di sini bukanlah akumulasi kepentingan perseorangan yang
membentuk kepentingan mayoritas warga. Lebih dari itu, kepentingan publik
adalah manifestasi dari kepentingan bersama yang dapat dirasakan dan
dinikmati setiap warga negara, apa pun latar belakang sosial-budaya dan
agamanya.
Kerangka obyektif
Jika
kita merujuk pada kerangka obyektif negara hukum yang demokratik, akan kita
jumpai fakta penegakan hukum kita yang masih elitis, menjadi
"bisnis" segelintir orang yang acap kali tidak menyentuh hajat
hidup orang banyak. Bahkan, ada potensi sebaliknya: penegakan hukum yang
memiliki dampak perbaikan sistemik (seperti pemberantasan korupsi) justru
dikebiri oleh otoritas hukum. Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan
menyangkut sejumlah aktivis pemberantasan korupsi justru kasus-kasus
kejahatan individual yang relevansi publiknya kurang begitu sistemik.
Menurut
J Witteveen (2000: 203), konsep-konsep kunci yang terkait dengan kerangka rechtsstaat demokratik adalah
representasi, kepentingan publik, tanggung jawab, pembagian kekuasaan dan checks and balances, kewarganegaraan,
moralitas publik, responsiveness,
dan mediasi antara ormas publik dan warga masyarakat. Selain konsep-konsep
itu, sejumlah ilmuwan menambahkan perlindungan hak- hak dan proteksi terhadap
kelompok minoritas. Prinsip-prinsip semacam inilah yang mestinya diperhatikan
sekaligus jadi rujukan bagi aparat hukum dalam menjalankan tugasnya.
Konsep
supremasi dan penegakan hukum awalnya memang dikembangkan untuk membatasi
kekuasaan penguasa dan melindungi kepentingan kelas pengusaha. Jean-Jacques
Rousseau melihat penegakan hukum sebagai cara orang kaya mengonsolidasikan
kepentingan privat mereka dan berusaha mengisolasikan otoritas publik dari
"keinginan partikular" pribadi dan kelompok privat, dengan cara
merekomendasikan model tata kelola negara-kota (city-state) yang demokratis.
Adam
Smith juga mengkhawatirkan kepentingan privat yang menguasai otoritas publik,
tetapi lebih menyukai intervensi negara (misalnya dalam bentuk dukungan
terhadap pendidikan) sepanjang ia tidak membangun kenyamanan dan monopoli
artifisial, sebagaimana pernah dinikmati kaum bangsawan dan militer pada masa
lalu. Namun, Kant dan Hegel meyakini, universalitas akal sehat sebagaimana
terkandung dalam aparatus negara dan birokrasi diyakini dapat menetralisasi
kepentingan-kepentingan partikular tertentu secara efektif (Edmund W Byrne, 1998:196).
Dalam
ungkapan yang hampir sama, David Easton (1971) mengatribusikan perangkat
negara (termasuk aparat penegak hukum) sebagai pihak yang melakukan the authoritative allocation of values in
and on behalf of a society, yakni sebagai pihak yang melakukan distribusi
otoritatif terhadap nilai-nilai yang selaras dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Nilai-nilai masyarakat di sini tak lain dan tak bukan adalah
kepentingan publik lebih luas, bukan kepentingan segelintir elite atau
kelompok tertentu yang berdaya secara sosial, ekonomi, dan budaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar