Menanti
Lahirnya UU Perbukuan
Maman Suryaman ; Dosen
pada Universitas Negeri Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2015
DUA puluh tahun lalu, tepatnya
saat Kongres Nasional I 1995 tentang perbukuan, telah diluncurkan rekomendasi
akan pentingnya pengaturan sistem perbukuan nasional. Kini, kita dihadapkan
betapa negeri ini masih rabun dan buta. Gejolak politik, sosial, ekonomi,
birokrasi, kelautan, pertanian, pertahanan, kemanusiaan, hukum, dan entah apa
lagi, menjadi penyakit yang akut menimpa bangsa. Semua elemen bangsa seakan
menghadapi masa suram dengan menafsirkan sendirisendiri kata dan wacana tanpa
landasan yang benar.
Kita masih tidak yakin bahwa
buku merupakan landasan itu. Buku dipandang sebagai salah satu komponen
penting bagi terciptanya kecerdasan bangsa. Keberaksaraan, budaya baca-tulis,
kompetensi berpikir, dan kecerdasan rohani akan tumbuh melalui buku.
Pertanyaannya ialah ”Apakah buku sudah diintegrasikan ke
sistem nilai budaya berbagai kelompok di Indonesia, atau barangkali masih menjadi
unsur asing yang sekadar ditimpakan ke atas kebudayaan-kebudayaan di
Indonesia?”
Tentulah hal demikian harus diciptakan agar buku secara
sosial kemasyarakatan dapat menjadi produksi budaya, tingkah laku budaya, dan
proses produksi budaya dengan menumbuhkan budaya keberaksaraan.
Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia
Indonesia merupakan negara yang
dipersiapkan menjadi bangsa cerdas. Amanat itu sangat penting
diimplementasikan sehingga masyarakat dapat belajar sepanjang hayat dan
keberaksaraan dapat diwujudkan. Syaratnya, buku harus menjadi kebutuhan
masyarakat. Bangsa-bangsa di dunia telah menyadarinya sepenuh hati sehingga
lahir kesepakatan Dakar (Global
Monitoring Report 2006) tentang literacy
for life, yaitu keberaksaraan dan belajar sepanjang hayat merupakan hak
seluruh umat manusia, tidak hanya karena alasan moral, tetapi juga untuk
menghindari hilangnya potensi manusia dan kapasitas ekonomi.
Sejalan dengan pemikiran
tersebut, peran dan kedudukan buku akan menjadi landasan yang kuat bagi
terealisasinya visi Indonesia 2030 (lima besar ekonomi dunia, sedikitnya 30
perusahaan Indonesia akan masuk daftar 500 perusahaan besar dunia,
pengelolaan alam yang berkelanjutan, dan terwujudnya kualitas hidup modern
yang merata).
Visi Indonesia 2030 tanpa
didukung sumber daya manusia yang tangguh serta sarana dan prasarana yang
memadai amatlah sulit. Menurut prediksi IMF, pada 2040 Indonesia belum dapat
masuk ke dalam 10 besar ekonomi dunia. Penyebabnya ialah sistem pendidikan
kita yang tanpa buku.
Sistem pendidikan yang demikian
tidak dapat diharapkan menunjang pembangunan bangsa, tetapi hanya akan
melahirkan masalah-masalah baru, seperti unprepared
and unskilled educated young. Bahkan, pada 1965, F. Harbinson dan C.A.
Myers, melalui bukunya Manpower and
Education, menyimpulkan bahwa “Bila
suatu negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya, negara itu
tidak akan dapat mengembangkan apapun, baik sistem politik yang modern, rasa
kesatuan bangsa, maupun kemakmuran.”
Hal tersebut benar adanya. Para
pemimpin negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan,
India, dan Tiongkok betul-betul meletakkan fondasi pendidikan (dengan buku
sebagai komponen utama) sebagai dasar pembangunan di abad ke-21 ini.
Pada kenyataannya, sering kali
buku hanya dipandang sebelah mata. Sebagai ilustrasi, UNESCO menetapkan
parameter, yaitu menyangkut jumlah buku yang diterbitkan per 1 juta orang
penduduk suatu negara jika dibandingkan dengan keseluruhan jumlah penduduk.
Angka rata-rata judul buku baru per 1 juta orang ialah 55 judul untuk negara
berkembang dan 513 judul untuk negara maju. Jika dikaitkan dengan jumlah
penduduk Indonesia yang telah mencapai kurang-lebih 250 juta jiwa, seharusnya
telah tersedia buku baru sebanyak 9.250. Indonesia baru mencapai 6.000 judul.
Artinya, hanya ada 19 judul buku baru per 1 juta penduduk.
Produksi buku kita belum seperti
yang diharapkan meskipun telah lahir jutaan sarjana dalam berbagai bidang.
Kualitas dan kuantitas buku kita masih menduduki ranking bawah bila
dibandingkan dengan produksi buku-buku di ASEAN. Apalagi, bila dibandingkan
dengan negara-negara maju.
Mari kita lihat pengalaman India
di dalam mengelola perbukuannya. India merupakan salah satu negara di Asia
yang diprediksi akan menjadi raksasa baru Asia dan calon pemain utama dunia.
Dalam berbagai laporan global, India diprediksi akan menempati urutan ke-3
besar ekonomi dunia pada 2040. Salah satu fokus yang telah dikembangkan India
ialah industri perbukuan. Upaya itu mendapatkan pengakuan dunia internasional
terhadap industri perbukuan India.
Berawal dari reformasi di negeri
ini, masalah perbukuan juga menjadi bagian yang harus diregulasi. Implikasi
yang dapat dirumuskan agar buku dapat ditempatkan pada posisinya yang sangat
penting di dalam kebijakan perbukuan nasional ialah diperlukannya dorongan
bagi para penulis, pengarang, penerjemah, penyadur, pengusaha industri
perbukuan, pengusaha toko buku, masyarakat pengguna buku, dan sebagainya,
untuk mengembangkan buku sebanyak-banyaknya dan sebagus-bagusnya. Kemudian,
didirikannya penerbitan yang kuat dengan tenaga penyunting yang kompeten dan
dikembangkannya sistem distribusi yang cepat melalui toko buku konvensional
atau toko buku internet. Di samping itu, ditumbuhkan dan dikembangkan minat
baca-tulis, daya beli, dan perpustakaan.
Untuk mencapai cita-cita dan
pikiran-pikiran sehingga dapat diwujudkan secara nyata di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, diperlukan pengembangan sistem perbukuan yang
tangguh. Sistem itu akan menjadi acuan di dalam pengembangan berpikir, sosial,
politik, pertanian, hukum, birokrasi, dan industri perbukuan. Mari kita
tunggu keseriusan pemerintah dan DPR untuk segera melahirkan UU sistem
perbukuan karena sudah 20 tahun harapan itu diamanatkan kepada para
penyelenggara negeri ini. Hal itu bertujuan agar kita tidak menjadi bangsa
yang buta dan rabun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar