Mereka
yang Menyalakan Lilin
dan
Memberikan Harapan
Khaerudin ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 25 Mei 2015
Lepas
dari citra DPR saat ini yang sering dipandang miring terkait agenda
pemberantasan korupsi, bangsa ini semestinya tak melupakan jasa para wakil
rakyat ketika mereka punya ide membentuk lembaga independen yang khusus
menangani tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski tentu
rasa terima kasih ini lebih patut diucapkan terutama untuk anggota DPR
periode 1999-2004.
Ide pembentukan
KPK ini muncul saat membahas Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Lebih
khusus lagi, terima kasih pantas disampaikan kepada dua anggota Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan, Zein Bedjeber dan Ali Marwan Hanan. Pasalnya, mereka
yang mengusulkan menambah bab tentang KPK saat DPR membahas RUU Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN serta merevisi UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Tindak Pidana Korupsi.
Menukil
buku Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan yang diterbitkan bersamaan dengan
ulang tahun ke-4 KPK, Zein dan Ali bahkan menulis usulan membentuk lembaga
khusus yang independen untuk memberantas korupsi ini dari ketikan manual,
bukan komputer. Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki yang dikutip
di buku itu menuturkan, usulan tersebut sempat ditolak Fraksi ABRI. Saat itu,
Ruki adalah juru bicara Fraksi ABRI DPR. Menurut Ruki, untuk membentuk
lembaga atau komisi khusus yang diberi kewenangan besar, tak mungkin dirancang
dengan pemikiran sesaat.
Namun,
dalam pembahasan itu akhirnya disepakati pembentukan KPK dimuat dalam aturan
peralihan UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dari sana, akhirnya
DPR mengesahkan UU No 30/2002 tentang KPK pada 27 Desember 2002.
KPK
sudah harus terbentuk satu tahun sejak disahkannya UU No 30/2002. Ketentuan
tersebut membuat pemerintah di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri bergerak
cepat membentuk panitia seleksi (pansel) untuk memilih calon komisioner
pertama KPK. Pansel pimpinan KPK pertama ini diketuai Guru Besar Universitas
Padjadjaran Romli Atmasasmita. Saat itu, tercatat ada 513 orang yang
mendaftar menjadi komisioner KPK.
Pendaftar
dalam seleksi pimpinan KPK periode pertama ini paling banyak berasal dari
dunia hukum. Mereka antara lain advokat Bambang Widjojanto, Iskandar
Sonhadji, dan Abdul Fickar Hadjar yang ketika itu dikenal sebagai pengacara
Indonesia Corruption Watch (ICW). Ada juga Petrus Bala Paytonna, Ahmad
Wirawan Adnan, dan Faisal Tadjuddin.
Para
pendaftar itu ada juga jaksa, mantan jaksa, dan pensiunan hakim. Ada Chairul
Umam yang saat itu menjadi Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejagung dan juga
anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Anggota
KPKPN, Momo Kelana, juga ikut mendaftar.
Pansel
akhirnya memilih 10 nama yang diloloskan menjadi calon komisioner KPK jilid
I, yakni Mohammad Yamin, Ruki, Tumpak Hatorangan Panggabean, Marsilam
Simanjuntak, Iskandar, Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Chairul, Erry
Riyana Hardjapamekas, dan Momo. Dari ke-10 nama itu, DPR memilih Ruki,
Tumpak, Amien, Sjahruddin, dan Erry menjadi komisioner pertama KPK.
Ruki
merupakan pensiunan polisi yang ketika terpilih merupakan Deputi Menko
Polhukam Susilo Bambang Yudhoyono. Erry adalah mantan Direktur Utama PT Timah.
Tumpak adalah jaksa karier yang sempat menjadi Sekretaris Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus. Amien dan Sjahruddin sebelumnya menjabat auditor senior
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dari awal
KPK
memulai semua kiprahnya dari nol. Pegawai mereka tak punya. Sebagian
komisioner malah mempekerjakan pegawai dari instansi asal sebelumnya. Ruki
mengajak sopirnya, Nurdin, dan sekretarisnya saat menjadi anggota DPR,
Ariston Rantetana, untuk bergabung. Ruki menggaji sekretarisnya dari uang sakunya
sendiri. Bahkan, Ruki membeli sendiri komputer untuk sekretarisnya di Glodok
dengan uang pribadi. Sementara Erry sempat mengajak mantan sekretarisnya di
PT Timah.
Sjahruddin
mengajak bekas anak buahnya di Deputi Akuntabilitas BPKP. Kebetulan ketika
itu deputi yang dipimpin Sjahruddin di BPKP dibubarkan sehingga bekas anak
buahnya bisa diajak bergabung.
Oleh
karena belum punya kantor, komisioner KPK jilid I ini sempat membahas
pemenuhan kebutuhan sumber daya lembaga di sebuah kafe. Pemerintah lalu memberikan
bekas kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jalan Juanda sebagai
kantor pertama KPK. Di kantor inilah anggota polisi yang menjadi generasi
pertama penyidik dan jaksa yang menjadi penuntut di KPK diterima. Mereka
sempat kaget saat diterima pimpinan KPK di ruangan yang penuh dengan kursi
bertumpuk tak beraturan.
Seminggu
setelah diterima, mereka kembali ke kantor KPK dan hanya ada perlengkapan
seadanya. Meja, kursi, dan komputer untuk para penyidik bekerja tak lebih
dari 10 unit. Padahal, sudah ada 15 penyidik pertama dari kepolisian.
Para
penyidik dan jaksa generasi pertama ini gamang bukan main. Fasilitas masih
kurang, kemampuan juga terbatas, sementara ekspektasi masyarakat sangat
tinggi. Enam bulan sejak KPK berdiri, tak satu kasus korupsi pun yang mereka
tangani. Bahkan, salah seorang komisioner sempat mengeluh frustrasi.
Sjahruddin, seperti dikutip dalam buku Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan,
kepada Tumpak yang saat itu membawahi penindakan KPK mengeluh, "Pak
Panggabean, kalau tahun ini tidak ada perkara yang ditangani KPK, aku mau
mundur."
Setelah
setengah tahun berdiri, KPK akhirnya menyidik perkara yang cukup besar, yaitu
korupsi pengadaan helikopter M1-2 buatan Rostov Rusia dengan tersangka
Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Puteh akhirnya divonis 10 tahun penjara.
Sementara
itu, anggota Komisi Pemilihan Umum (saat itu) Mulyana W Kusumah menjadi
tersangka korupsi yang pertama kali ditangkap tangan oleh KPK. Mulyana
ditangkap 3 April 2005 di Hotel Ibis, Slipi, saat coba menyuap auditor BPK,
Khairiansyah Salman.
Setelah
penangkapan ini, untuk pertama kalinya KPK melakukan penggeledahan. Ada yang
lucu ketika penyidik KPK menggeledah KPU. Sesuai dengan prosedur operasi
standar, ketika menggeledah, para penyidik harus menggunakan sarung tangan.
Namun, rupanya mereka lupa sehingga terpaksa mencari sarung tangan seadanya,
sampai dapatlah sarung tangan yang biasa dipakai petugas pengibar bendera.
Waktu
kemudian mencatat, KPK menjamah mereka yang sebelumnya tak terjamah penegak
hukum lain. Menteri, kerabat presiden, kepala daerah, hingga anggota DPR yang
dulu melahirkan mereka. Kepercayaan rakyat pun terus diraih sejak lembaga ini
berdiri hingga sekarang.
Inilah
generasi pertama, pegawai dan pimpinan KPK, yang telah menyalakan lilin.
Memberikan harapan kepada bangsa ini bahwa kelak Indonesia bisa bebas dari
korupsi. Siapa pun yang mematikan lilin dan membunuh harapan itu bakal
berhadapan dengan rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar