36.000
Kaki
Samuel Mulia ; Penulis
kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 10 Mei 2015
Di atas ketinggian
itu, ketika berada di dalam pesawat, saya dan Anda bisa melihat dengan jelas
siapa diri kita sesungguhnya. Dari mana saya bisa mengetahui itu semua?
Indikator
Sudah pasti bukan dari
kelas yang tersedia. Kelas ekonomi, kelas bisnis, atau kelas utama yang mampu
menguras kocek sampai ratusan juta rupiah, sama sekali tak bisa digunakan
sebagai tolok ukur.
Ada satu indikator
yang saya gunakan untuk menilai. Dan indikator itu bukan perilaku manusianya.
Kalau itu sudah terlalu basi digunakan sebagai bahan penilai. Anda dan saya
sudah tahu pasti, bagaimana dan perilaku macam apa yang pernah dilihat,
bahkan dari saat masih di depan check-in
counter.
Dari soal pegawai yang
diskriminatif sampai penumpang yang arogan. Dari crew yang galaknya seperti
sipir penjara sampai penumpang yang mengumpat dan mampu melakukan kegiatan
esek-esek di ruang yang bahkan tak tertutup itu.
Nah, indikator yang
saya gunakan adalah buah yang dihasilkan dari perilaku yang dilakukan setelah
sampai di tempat tujuan. Begini. Coba Anda perhatikan ketika pesawat sudah
berhenti dengan benar di tempatnya, dan para penumpang dipersilakan turun. Perhatikan
apa yang terjadi di setiap kursi dan kondisi di sekitar tempat duduk itu.
Yaa... benar. Anda dan
saya bisa melihat dengan nyata dan kemudian mengerti apa yang dimaksud dengan
kapal pecah. Apalagi kalau Anda duduk di kelas ekonomi dan mendapat tempat
duduk yang sudah dekat ekor pesawat, perjalanan Anda ke pintu keluar akan
melewati jalan panjang. Bahkan tak jarang, Anda dan saya diperintahkan untuk
keluar melalui kabin kelas bisnis dan utama.
Pemandangan yang
didapat akan sama, mau itu kabin kelas ekonomi atau kelas utama. Berantakan
adalah benang merahnya. Anda bisa melihat ada selimut yang tertata rapi
setelah digunakan, ada selimut yang berantakan dan dibiarkan begitu saja.
Ada koran yang
terlipat secara acak-acakan dimasukkan ke dalam kantong kursi, bahkan gelas
minum plastik juga masuk ke dalam kantung kursi, dan atau tergeletak di
sekitar tempat duduk. Bantal untuk kepala, bisa tergeletak di lantai.
Ada yang mengembalikan
fasilitas hiburan ke tempatnya dengan benar, ada penumpang yang membiarkan
begitu saja. Belum lagi yang membawa anak kecil. Makanan, bekas permen dan
kacang, tersebar di lantai sehingga bisa seperti keadaan yang Anda lihat di
bak sampah. Tiba-tiba badan pesawat yang modern dan canggih itu berubah
menjadi bak sampah terbesar di dunia. Saya sendiri juga tak tahu karena belum
pernah bertanya kepada para penumpang, bagaimana kok bisa sampai seberantakan
itu.
Penumpang terbaik di dunia
Maka setiap kali saya
melihat keadaan seperti kapal pecah itu, saya melihat kembali kepada diri
sendiri. Melihat bagaimana saya menata hidup, menata rencana masa depan,
menata rumah, menata sebuah hubungan asmara, keluarga, sosial dan
profesional.
Saya selalu kesetrum
saat melihat kapal pecah itu. Setrum itu mengantar saya berpikir, apakah karena
seseorang sudah membayar, maka ini adalah waktunya seseorang menerapkan
konsep pembeli itu raja secara utuh? Sungguh saya tak tahu. Dan saya tak
sedang mempermasalahkan itu.
Saya lebih berpikir
setelah melihat kondisi acakadut itu, bagaimana saya bisa dipercaya oleh
orang lain dalam mengelola kehidupan profesional, sosial, familial dan
asmara, kalau hanya dalam penerbangan saja, yang sekian jam itu, saya bisa
begitu joroknya dan begitu sembarangannya.
Bagaimana saya sebagai
orangtua tak bisa mengelola kenakalan anak saya sehingga ia bisa berlari-lari
di sepanjang penerbangan dan mengganggu sejuta umat lainnya, bagaimana saya
bisa membuang kertas pembersih di lantai toilet sementara tempat sampah telah
tersedia.
Bagaimana saya bisa
begitu egoisnya, membuang air yang katanya seni itu tidak pada tempatnya
sehingga tercecer di pinggir toilet, di lantai, dan tak berminat
membersihkan, padahal sayalah yang memiliki air yang seni itu.
Bagaimana saya bisa
mencuci tangan dan berludah, kemudian dengan tenang membiarkan orang lain
melihat wastafel dengan genangan air kotor dan bekas sabun, padahal genangan
kotor itu sejujurnya sangat mudah sekali dibuang hanya dengan menarik tombol
yang telah tersedia.
Setiap kali saya
keluar dari badan pesawat setelah melihat kondisi kapal pecah itu, saya
melihat diri saya yang sesungguhnya. Kelas sosial akan membuat saya
dikelompokkan. Kelas yang ditawarkan maskapai penerbangan akan memberi
predikat kepada saya.
Saya mungkin senang
dengan predikat dan pengelompokan itu. Tetapi apalah artinya sebuah predikat
dan status sosial kalau perilaku saya saja seperti kapal pecah? Berarti kalau
saya bisa begitu jorok dan berantakan di ruang publik, apakah yang akan
dibayangkan orang lain yang terjadi di dalam rumah saya yang tertutup untuk
umum?
La wong di tempat umum
saja, saya bisa dengan tidak malu menunjukkan betapa joroknya saya, bayangkan
di dalam rumah sendiri.
Mungkin predikat
terbaik di dunia tak hanya untuk sebuah maskapai penerbangan semata, tetapi
untuk penumpangnya. Dan predikat terbaik untuk penumpang tak perlu dinilai
badan penilai khusus atau berdasarkan hasil angket, tetapi nuraninya sendiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar