Perdagangan Karbon Sukarela Khairul Anam : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 4
September 2023
WARGA lima desa di sekitar
hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), Jambi, harap-harap
cemas. Mereka sedang menunggu status karbon hutan yang mereka daftarkan
bersama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi ke Sistem Registri
Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang dikelola Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Tahap 1 dan 2 sudah, sekarang tahap 3,
menunggu verifikasi Kementerian," kata Penasihat KKI Warsi Rudi Syaf
pada Jumat, 1 September lalu. Hutan Bujang Raba adalah
satu dari 9.382 proyek perubahan iklim yang sedang antre masuk ke SRN PPI.
Hingga Sabtu, 2 September lalu, baru 238 proyek yang terdaftar dan 183 yang
terverifikasi. Pemerintah mewajibkan semua kegiatan yang berhubungan dengan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta nilai ekonomi karbon terdaftar
dan terverifikasi dalam SRN PPI. Termasuk proyek penyimpan karbon yang
sebelumnya sudah terdaftar dan terverifikasi oleh lembaga internasional
seperti Bujang Raba. Bujang Raba sebetulnya
bukan pedagang karbon. Pada 2013, KKI Warsi mendampingi warga di lima desa
Kabupaten Bungo, Jambi, dalam pengelolaan 7.000 hektare hutan desa dengan
skema perhutanan sosial. Lima tahun kemudian, KKI Warsi mendaftarkan 5.339
dari 7.000 hektare hutan Bujang Raba ke Plan Vivo sebagai hutan penyimpan
karbon. Plan Vivo adalah lembaga internasional yang mensertifikasi hutan
karbon sekaligus menghubungkan pengelola hutan dengan pembeli karbon atau
pemberi kompensasi untuk menjaga hutan. Tidak semua area diajukan
menjadi hutan karbon. Yang diajukan hanya area yang benar-benar terancam atau
pernah terkena program pembukaan hutan atau deforestasi. Menurut hitungan KKI
Warsi dan warga desa serta hasil verifikasi Plan Vivo, cadangan karbon hutan
Bujang Raba yang terancam adalah 400 ribu ton selama 10 tahun atau 40 ribu
ton per tahun. Lewat Plan Vivo, TUI
Airways, perusahaan asal Inggris, bersedia menyokong penjagaan hutan Bujang
Raba. TUI bersedia memberi US$ 6 per ton karbon dioksida yang disimpan hutan
tersebut. "Tapi mereka bukan beli karbon. Ini semacam tanggung jawab
sosial mereka. TUI tidak mengklaim karbon ini sebagai pengurang emisi
mereka," ucap Rudi Syaf. Yang jelas, dana dari TUI
Airways digunakan warga desa untuk membeli bibit durian dan duku hingga
membiayai patroli pelindungan hutan. Setiap desa mendapat Rp 32 juta untuk
pemberdayaan masyarakat agar mereka bisa ikut menjaga rimba. Kendati bukan pedagang
karbon, Bujang Raba tetap menghentikan aktivitas kompensasi karbon ketika
pemerintah memberlakukan moratorium perdagangan karbon sejak 2021. Moratorium
ini berhubungan dengan upaya memasukkan setiap unit karbon yang dihasilkan
hutan Indonesia ke SRN PPI. "Kami melihat pemerintah sedang menyusun
sistem yang lebih baik. Kami pun secara mandiri menghentikan transaksi,"
ujar Rudi. Ketika pemerintah
memberlakukan moratorium perdagangan karbon, pasar sukarela sebetulnya sudah
cukup mapan. Beberapa pedagang karbon komersial telah beroperasi di beberapa
wilayah dengan konsesi hak pengusahaan hutan yang mereka peroleh dari
pemerintah. Salah satunya Katingan Mentaya Project milik PT Rimba Makmur
Utama (RMU). Pada 2013, RMU mengantongi
konsesi restorasi ekosistem (KRE) 108.225 hektare dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. KRE adalah izin usaha perhutanan yang berfokus pada
pemulihan deforestasi di hutan produksi. Kini luas area konsesi Katingan
Mentaya Project mencapai 157,875 hektare. Dari hutan yang mereka lindungi,
RMU mengklaim bisa menjamin 7,5 juta ton karbon per tahun atau setara dengan
emisi 2 juta mobil per tahun. Lantaran sifatnya bisnis,
harga jual karbon yang didapatkan RMU lebih tinggi dibanding perolehan Bujang
Raba. Maklum, pembeli karbon Katingan Mentaya Project adalah perusahaan
energi global yang mencari unit karbon untuk meng-offset emisi mereka.
Pembelinya antara lain Shell, Total, dan BP. Namun karbon yang
diperjualbelikan itu tidak diklaim oleh negara asal perusahaan sebagai bagian
dari pengurang emisi dalam kontribusi nasional atau nationally determined
contribution (NDC) masing-masing. Perkara pengurang emisi
ini yang menjadi salah satu alasan pemberlakuan moratorium perdagangan karbon
pada 2021. Pemerintah khawatir, jika perdagangan karbon tidak disetop, stok
karbon lokal sudah diborong oleh pembeli luar negeri dan diklaim sebagai NDC
oleh negara asalnya. Padahal pemerintah juga membutuhkan karbon tersebut
untuk memenuhi target NDC di sektor kehutanan berupa penurunan emisi gas
rumah kaca hingga 140 juta ton setara karbon dioksida pada 2030. Pada 21 September 2022,
pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Aturan itu
menyebutkan karbon baru bisa diperdagangkan ke luar negeri jika target NDC
tercapai, mendapat otorisasi pemerintah, terdaftar dalam SRN PPI, serta tidak
dikaitkan dengan penurunan emisi negara pembeli. Meski ada celah untuk
menjual karbon ke luar negeri, pelaku perdagangan karbon merasa ada kendala.
Hambatan itu ada dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Regulasi
ini membatasi perdagangan karbon ke luar negeri. Padahal selama ini
permintaan pasar internasional menjadi pendorong bisnis karbon. Hal ini
terjadi karena pemerintah belum mewajibkan entitas lokal melakukan offset
emisi karbon. Chief Executive Officer
Landscape Indonesia Agus P. Sari mengatakan kebijakan pemerintah dalam pasar
karbon ini terbalik. Menurut dia, semestinya pemerintah mematok kewajiban
penurunan emisi bagi para pelaku usaha, setelah itu disediakan opsi apakah
harus membeli karbon, membayar pajak, atau menjual hak emisi yang tak
terpakai kepada entitas lain yang melewati batas. "Kalau pasarnya ada
tapi pembatasan emisi belum ada, buat apa jual-beli karbon kredit,"
katanya pada Kamis, 31 Agustus lalu. Pemerintah baru
merencanakan kewajiban itu melalui pajak karbon. Awalnya pajak karbon akan
berlaku mulai 1 April 2022, tapi kemudian dimundurkan hingga 2025. Dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, tarif pajak
karbon minimal sama atau lebih tinggi dari harga pasar, dengan tarif terendah
Rp 30 per kilogram karbon dioksida atau US$ 2 per ton. Kendati memakai batas
bawah, nilai tersebut jauh dari harga karbon di pasar sukarela. Sebagai
contoh, Bujang Raba menetapkan harga karbon US$ 6 per ton. Menurut Agus,
tanpa kewajiban menurunkan emisi atau membuat pasar mandatory (wajib), bisnis
karbon tak akan menarik jika hanya mengandalkan pembeli dalam negeri. Kini ada ratusan pemegang
konsesi hutan yang mengajukan permohonan perubahan status usaha menjadi
penyedia jasa lingkungan perdagangan karbon atau restorasi ekosistem. Jika
pasar karbon internasional dibatasi dan permintaan dalam negeri tidak
terbentuk, hutan-hutan ini akan terus terancam deforestasi. Direktur Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruanda
Agung Sugardiman tidak menjawab saat ditanyai tentang pembukaan kembali
perdagangan karbon di pasar sukarela. Bujang Raba pun sudah dua
tahun tak mendapat kompensasi. Menurut Rudi Syaf, warga desa masih bisa
menjaga hutan dan mempertahankan program konservasi dengan dana yang tersisa.
"Kami berharap regulasi perdagangan karbon bisa cepat keluar, apakah
Bujang Raba ini masuk ke pasar komersial atau tetap sukarela." ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169642/perdagangan-karbon-sukarela |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar